Jumat, 09 Oktober 2009

Bangkitkan Kekuatan Mereka

Kita terlalu manja. Telah Allah limpahkan kekayaan yang sangat besar atas bumi tempat kita berpijak, tetapi kita asyik dengan angan-angan kita. Kita membiarkan tangan kita diam tak bergerak, di saat ribuan manusia berteriak-teriak mencari tempat yang memberi kesegaran. Kita tidak mengerahkan kekuatan dan membangkitkan kemauan untuk memeras keringat menggenggam kehidupan. Atas bumi tempat kita tinggal yang begitu indah, kita tidak mensyukurinya dengan kerja yang sungguh-sungguh. Atas tanah kita yang aman, kita tidak mensyukurinya dengan menajamkan otak kita, menguatkan pikir kita, menghidupkan jiwa dan melembutkan hati kita, sehingga kita akhirnya terpuruk di kampung sendiri.


Harus kita gerakkan jiwa mereka; anak-anak kita dan para orangtuanya. Harus kita bangkitkan kehendak mereka untuk meraih hidup yang baik dan kematian yang mulia. Kita tidak punya waktu untuk meratapi. Kita tak bisa mengubah masa lalu, sementara masa depan tidak mungkin kita ciptakan kalau kita menyibukkan diri berandai-andai dengan apa yang terjadi. Kita tidak memiliki masa depan kalau hari ini kita tidak bersedia memeras kita keringat untuk menggenggam dunia di tangan kita dan memasukkan akhirat di hati kita!

Ingatlah pada sabda Nabi saw., “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Maka, tak ada tempat bagi kita untuk berandai-andai. Yang harus kita lakukan adalah belajar dari Umar bin Khaththab ra. untuk mampu memandang setiap kejadian dan bencana, sejauh bukan bencana agama, sebagai rahmat yang membawa kebaikan apabila kita mengambil pe¬lajaran darinya. Ketika suatu hari Umar bin Khaththab ditimpa musibah, sahabat Nabi saw. yang terkenal ketegasannya ini berkata, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dalam segala keadaan.”

Bencana yang terjadi di tempat kita, jauh lebih ringan daripada yang pernah dialami oleh Jepang, Iran, Irak atau Lebanon yang hari ini anak-anaknya sedang disiksa oleh Israel. Tetapi Jepang bangkit menjadi negara yang sangat kuat, justru belajar dari bencana yang dialaminya. Sama seperti negara Singapore bisa sangat makmur, padahal tanah yang mereka miliki tidak memberi harapan untuk bercocok tanam. Andaikata seluruh lapangan sepak bola yang ada di sana diubah menjadi sawah –ketika itu—niscaya tidak mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk Singapore. Tetapi kita melihat, mereka mencapai kemajuan besar. Mereka bergerak dengan semangat yang ada di dalam jiwa mereka.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat. Kitalah yang memiliki perkebunan coklat sangat besar di dunia. Tetapi Swiss adalah negara pembuat coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11% wilayah Swiss yang bisa ditanami. Swiss juga mengelola susu dengan jangkauan pema¬saran seluruh dunia dan dikenal sebagai tempat berdirinya bank-bank paling aman di dunia. Padahal Swiss tidak memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.

Ada banyak contoh lain bagaimana negeri-negeri lain di dunia meraih kejayaan, sementara kondisi alamnya sangat tidak memadai. Jepang misalnya, sebagian besar wilayahnya pegu¬nungan. Delapan puluh persen wilayahnya adalah gunung, sehingga secara alamiah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan peternakan. Tetapi pertanian Jepang sangat maju.

Betapa pun demikian, negeri-negeri itu tidak dapat memberikan jaminan kebahagiaan bagi penduduknya. Mereka belajar dari bencana, tetapi tetap tidak sanggup melawan bencana. Negeri mana pun, betapa pun majunya, dapat terkena bencana yang sama besarnya. Hanya saja, mereka dapat meminimalkan bencana yang bersumber pada perilaku dan kecerobohan manusia.

Atas bencana-bencana yang terjadi, kita perlu menilik lebih jauh sebabnya. Di antara bencana-bencana yang ada, sebagian merupakan akibat kesalahan kita; sebagiannya lagi merupakan ujian; dan sebagian lainnya merupakan azab. Inilah perkara pertama yang perlu dipahami oleh anak-anak agar mereka tidak salah memahami Allah.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?”
(QS. Al-A’raaf, 7: 96-100).

Demikianlah. Ada yang perlu kita renungkan. Dan yang pasti, ada yang perlu kita persiapkan agar anak-anak kita kelak sanggup menegakkan kepala merebut masa depan. Insya-Allah.
Selengkapnya...

Jumat, 11 September 2009

Selamat Datang Bencana

Bencana yang baru saja datang mengguncang sehingga membuat kita lari tunggang-langgang, mungkin bukan yang terakhir. Tangis yang menyayat-nyayat di setiap ujung-ujung jalan karena perginya orang tersayang tanpa pernah bisa diharapkan kembali lagi, mungkin masih akan terulang lagi. Bisa lebih kecil, bisa lebih besar. Kalau kesempatan yang Allah berikan kepada kita saat ini tidak kita pergunakan, boleh jadi kita akan melihat datangnya bencana-bencana berikutnya yang lebih menakutkan.

Ada 351 ayat tentang adzab dalam Al-Qur’an dan puluhan lagi tentang bencana. Semua mewartakan kepada kita tentang apa yang harus kita benahi dalam diri kita. Sebab semua yang ada di langit dan di bumi; dari gunung yang Allah perintahkan menjadi pasak bagi bumi ini hingga laut, semua bertasbih memuji Allah. Maka apabila kemaksiatan dibiarkan merajalela, dan orang-orang yang baik tidak menganggap buruk orang-orang yang melakukan kekejian, para ulamanya diperkaya oleh penguasa, sungguh inilah saat ketika bencana akan datang susul menyusul. Awalnya ia adalah peringatan, meski tetap ada korban yang harus berjatuhan. Tetapi akan datang bencana yang lebih mengerikan dan lebih menghancurkan, apabila kita tidak segera mengambil pelajaran.
Sebagian dari kita Allah beri kesempatan untuk selamat, bukan karena kita lebih baik daripada mereka yang hari ini telah Allah panggil pulang. Tetapi karena Allah masih memberi kita kesempatan untuk berbenah. Allah beri kita kesempatan untuk memperbaiki al-wala’ wa al-bara’ kita. Sungguh, apabila sudah tidak ada lagi pada diri kita kehormatan sebagai seorang mukmin, sehingga tidak merah muka kita karena marah ketika agama ini direndahkan dan maksiat diagungkan, maka do’a orang-orang yang shaleh pun tak lagi dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadis.
Dan hari ini, majalah yang telah menginjak-injak agama ini telah diizinkan kembali untuk terbit dan mengagungkan kemaksiatan. Majalah Playboy telah datang menjumpai para suami untuk melihat aurat perempuan lain. Maka apakah engkau masih berharap bumi ini damai tanpa bencana, sedangkan mukamu tidak merah karena marah oleh kemaksiatan? Maka apakah engkau akan menyalahkan tuhanmu ketika bumi mengering, panasnya membakar dan dinginnya mematikan? Padahal engkau biarkan orang-orang fajir melecehkan kebenaran dan kebaikan.
Ingatlah sejenak ketika Allah berfirman:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.” (QS. Al-Mulk, 67: 16-18).
Sesungguhnya, bencana itu tidak di utara tidak di selatan, tetapi di tempat yang telah Allah takdirkan atau bagi manusia yang telah Allah tetapkan keadaan itu baginya. Maka jika engkau berlari ke selatan karena menghindari bahaya dari utara, boleh jadi kematian itu menyambutmu di tempat engkau mencari perlindungan.
Mari kita simak kembali firman Allah di bagian lain Al-Qur’an:
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) -Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS. Luqman, 31: 31-32).
Jika ombak setinggi gunung yang datang menerjang, maka hanya Allah tempat berlindung paling sempurna. Jika engkau mencari keselamatan dengan berlari ke atas bukit, bukankah putra Nabi Nuh as. ditenggelamkan oleh Allah pada saat dia mencari perlindungan di puncak gunung?
Selengkapnya...

Selasa, 11 Agustus 2009

Motivasi Intrinsik

Seorang ibu bertanya tentang anaknya. Sejak kecil selalu memperoleh ranking bagus di kelasnya. Prestasi akademik selalu cemerlang. Tetapi belakangan minat belajarnya merosot drastis. Tak ada gairah belajar. Tak ada minat untuk mengerjakan PR. Ketika ibunya mengingatkan untuk belajar lebih giat agar rankingnya tidak jeblok, ia berkata, “Aku bosan sama ranking.”

Pertanyaan ibu ini mengingatkan saya pada teori motivasi. Ada motivasi ekstrinsik, ada motivasi intrinsik. Anak kita menyapu lantai agar mendapat sebiji permen dari orangtua, tekun belajar agar dapat ranking satu (karena nanti kita belikan ia sebuah sepeda mungil), atau bersemangat memberesi kamar agar diajak jalan-jalan, adalah contoh motivasi ekstrinsik. Anak melakukan aktivitas apa pun, termasuk shalat dan mengaji, karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan kepadanya merupakan bentuk motivasi ekstrinsik. Kita rajin puasa Senin-Kamis karena ingin lulus ujian, bukan karena berserah diri kepada Allah Yang Maha Tinggi.
Motivasi ekstrinsik cepat pudar. Anak mudah kehilangan semangat karena hadiah yang dijanjikan –termasuk hadiah berupa “ranking”—tidak lagi memiliki daya tarik. Semangatnya melemah (less zeal) karena imbalan yang diberikan meaningless (kehilangan makna), sehingga tak ada lagi alasan untuk mengejar. Seperti anak ibu tadi, mereka bisa bosan dapat ranking yang bagus.
Kapan anak merasa bosan? Ketika anak merasa hadiah itu tak memberi manfaat apa-apa. Anak-anak tidak membutuhkan. Kalau dulu anak bersemangat menyapu untuk memperoleh permen, sekarang permen sudah tidak menarik lagi. Anak butuh rangsangan lebih besar untuk bertindak.
Cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi sekurangnya oleh dua hal. Pertama, nilai imbalan atau hadiah yang dijanjikan kepada anak. Setiap hadiah akan mengalami penyusutan nilai bagi anak. Saat anak belum pernah memegang, sebuah mobil mainan sangat menggiurkan bagi anak. Tetapi ketika berbagai jenis mainan sudah sering ia pegang, mobil-mobilan yang bagus lengkap dengan remote controlnya pun sudah tidak menarik lagi.
Melemahnya daya tarik imbalan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang memberi daya tarik lebih besar. Video-game, misalnya. Semakin kuat keasyikan yang diperoleh anak saat bermain play-station, semakin lemah daya tarik imbalan yang kita janjikan agar anak mau belajar yang rajin. Lebih-lebih jika aktivitas lain yang mengasyikkan itu pada saat yang sama juga menyerap seluruh energi psikis anak sekaligus membuat anak pasif. Berbagai jenis game –juga tayangan TV—membuat anak terpaku secara pasif. Mereka dibombardir dengan gambar-gambar kekerasan yang berganti dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga memaksa mereka untuk terus memperhatikan tanpa berkedip.
Aktivitas semacam ini membuat anak mengalami kelelahan secara psikis. Ibarat truk, bebannya berlebih. Ibarat komputer, sistemnya hang. Macet. Meskipun kemampuannya sangat besar dan kecepatan prosesor sangat tinggi, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik. Anak-anak yang sedang hang, tidak mampu memusatkan perhatian saat belajar dan sulit mencerna buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang permainan yang ia pelototi di video-game. Dalam bahasa komputer, anak ini mengalami registry error. Badannya ada di kelas, telinganya mendengar suara guru, tetapi pikirannya ada di play-station.
Ketika anak mengalami hang, ia kehilangan rasa ingin tahu. Kreativitasnya tumpul. Ia tidak betah berpikir, mencari tahu dan menekuni kegiatan yang menuntutnya berpikir aktif. Ia kehilangan gagasan dan kecemerlangan berpikir, kecuali pikiran untuk kembali menyibukkan diri dengan video-game atau tayangan TV. Pada tingkat yang parah, anak mengalami kecanduan.
Anak yang terlalu banyak memelototi video-game sampai pada tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.
Bisa juga terjadi anak pasif sekaligus impulsif. Secara sosial, mereka terputus dari lingkungan. Pada anak-anak yang tingkat kecanduannya sudah sangat akut, boleh dikata mereka tidak mempunyai kontak dengan orang lain, termasuk orangtua. Interaksinya cuma dengan benda bernama TV, play-station atau layar komputer yang menyajikan game. Mereka tidak betah berinteraksi dengan orang lain. Di saat yang sama, adegan kekerasan yang bertubi-tubi –khususnya dalam video-game—memberi efek desensitisasi. Perasaan mereka tumpul. Hati mereka keras.
Berapa jam waktu menonton yang sehat bagi anak? Sekitar 8 sampai 10 jam seminggu. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat. Dalam The Smart Parent’s Guide to KIDS’ TV, Milton Chen menunjukkan bahwa durasi 4 jam sehari (28 jam seminggu) sudah termasuk kategori yang sangat menakutkan. Benar-benar membahayakan mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.
Alhasil, tak ada yang perlu kita salahkan kecuali diri sendiri kalau anak-anak kita kehilangan motivasi belajar, sementara setiap hari mereka memelototi TV enam jam sehari! Agaknya, ada benarnya ketika Fred Rogers berkata, “Barangkali televisi adalah satu-satunya peralatan elektronik yang lebih bermanfaat justru setelah dimatikan.”
Kedua, cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi oleh tekanan yang mereka terima. Anak yang sering dibebani untuk mendapatkan ranking, cenderung cepat kehilangan minat. Ia belajar di bawah tekanan karena tidak ingin orangtuanya cemberut. Selebihnya, tak ada alasan yang menggerakkan jiwa untuk tekun membaca.
Motivasi ekstrinsik terbagi menjadi dua, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya permen yang kita berikan begitu anak menyapu, jangka panjang misalnya iming-iming pada anak kelas 4 SD kalau lulus UASBN dengan nilai tinggi akan dibelikan laptop baru. Semakin pendek dan nyata iming-iming yang kita berikan, semakin cepat kelihatan reaksinya, sekaligus semakin mudah hilang kekuatannya. Anak-anak yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik jangka pendek, ibaratnya sama dengan mobil mewah tanpa bensin. Kalau lagi didorong, jalan. Tapi kalau tak ada yang mendorong, mogok. Mobil tak bisa berjalan lagi.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, sebaliknya, merasa asyik dengan apa yang dikerjakan, menemukan kegembiraan saat menghadapi tantangan, bahagia ketika mengerjakan tugas-tugas sehingga ia terlibat penuh secara emosional. Mereka berpartisipasi melakukan kegiatan karena menemukan kegembiraan, kebahagiaan, keasyikan atau makna dari apa yang dilakukannya. Bukan demi memperoleh hadiah. Dalam tindakan itu sendiri, ada yang ia dapatkan sebagaimana pendaki gunung memperoleh kepuasan. Kebahagiaannya terletak pada kemampuannya mengatasi rintangan. Bukan pada decak kagum orang yang memandang.
Dalam bukunya berjudul Adolescence (2001), John W. Santrock menulis bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Anak-anak yang motivasi intrinsiknya kuat cenderung lebih kreatif, kaya gagasan, senantiasa menemukan ide-ide segar –pada tahap awal adalah ide-ide permainan—serta ketertarikan yang kuat dalam melakukan berbagai aktivitas. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas dan cenderung memiliki semangat belajar mandiri yang kuat.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, betah membaca berjam-jam meskipun tidak ditunggui orangtua. Mereka merasa membaca sebagai kebutuhan. Bukan tuntutan orangtua dan sekolah.
Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk suatu bidang, tetapi tidak untuk bidang yang lain. Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk hampir semua bidang. Kapan saja, dimana saja dan mengerjakan apa saja, ia bersemangat. Bersungguh-sungguh ia belajar, meskipun tidak begitu menguasai.
Kuatnya motivasi intrinsik mampu membuat seseorang berani menghadapi kesulitan. Kisah tentang Imam Bukhari adalah kisah tentang manusia yang memiliki motivasi intrinsik luar biasa. Ia menempuh perjalanan beratus-ratus kilo, memenuhi kakinya dengan kepenatan, dan membiarkan tubuhnya disengat oleh panasnya matahari demi mendapatkan sebuah hadis. Kalau ia menginginkan harta dari penguasa, tak perlu ia menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang belum tentu ia ambil (karena hadis itu ternyata dha’if, misalnya). Tetapi ada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Ada kecintaan pada agama yang membuatnya tak pernah berhenti mencari ilmu.
Kalau motivasi intrinsiknya sudah kuat, tanpa fasilitas yang memadai pun mereka bisa tumbuh menjadi manusia cerdas luar biasa. Nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal atau –apalagi—Abu Hurairah, bukanlah orang yang memiliki cukup sarana untuk belajar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jiwa menakjubkan. Dahsyatnya motivasi mereka untuk menolong agama membuat daya ingat mereka sangat hebat dan pikiran mereka amat jernih.
Kisah para penemu juga merupakan kisah tentang motivasi intrinsik yang kuat. Bukan kisah tentang banyaknya fasilitas yang mereka miliki. Orang-orang super kreatif bukanlah mereka yang memperoleh latihan gerak dengan iringan musik yang –kadang tanpa disadari guru—sensual. Pernah, saya merasa amat sedih ketika menghadiri acara tutup tahun sebuah lembaga pendidikan. Atas nama kreativitas, anak-anak disuruh lenggak-lenggok memutar badan รก la peragawati, diiringi dengan alunan musik menggoda. Seorang guru berdiri di samping, di seberang panggung, untuk mengawasi sekaligus mengarahkan dengan gerak mulut dan mata.
Mereka lupa –atau tidak tahu—bahwa ketika seorang anak menggerakkan dadanya, lalu memperoleh tepuk tangan meriah, yang menari-nari di benaknya bukanlah “isyhadu bi anna muslimun”, melainkan sensualitas. Bukan kreativitas.
Selengkapnya...

Jumat, 07 Agustus 2009

Menakar Manfaat Training

Suatu ketika sebuah sekolah meminta kesediaan saya memberi training untuk para guru dari jenjang TK sampai SLTP. Ceritanya, salah satu guru di sekolah tersebut pernah mengikuti seminar saya, lalu menceritakan pengalamannya kepada rekan sejawat dan atasan. Dari cerita inilah lembaga tersebut tergerak untuk meminta saya memberi training. Training tentang apa? Pokoknya yang bagus untuk guru. Lalu disebutkan beberapa “kebutuhan mendesak” yang ingin diatasi melalui training. Persoalannya, apakah betul masalah tersebut merupakan masalah sesungguhnya? Dan apakah betul training yang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang sedang meruyak lembaga pendidikan tersebut?

Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, ketepatan memetakan masalah. Kerapkali yang hendak diselesaikan bukan akar masalah, melainkan gejala penyakitnya atau bahkan sekedar masalah ikutan yang kesekian. Jika gegabah memetakan masalah, puluhan kali training tidak akan memberi manfaat apa pun bagi para peserta dan khususnya lembaga (sekolah) yang mengundang, kecuali sekedar menambah wawasan. Bisa terjadi, tingginya frekuensi training hanya sekedar menambah pengalaman menikmati training sehingga bisa membandingkan mana trainer yang lebih menarik. Bukan meningkatkan keterlibatan emosi peserta untuk memperoleh manfaat training bagi kemajuan sekolah.
Kedua, ketepatan memilih bentuk training, termasuk menetapkan skala prioritas training mana yang perlu didahulukan. Kerap terjadi, sebuah lembaga mempunyai sejumlah masalah dan mediator menawarkan sejumlah paket tanpa melakukan asesmen kebutuhan terlebih dulu. Dalam hal ini mediator bisa manajer dari seorang trainer, broker training, atau training center. Berdasarkan tawaran ini, sekolah mengambil paket yang menarik. Umumnya yang diambil adalah paket training yang memperoleh reaksi paling antusias dari peserta di berbagai tempat atau kedekatan materi acara dengan masalah yang terjadi. Sekali lagi, dasar pengambilan keputusan adalah tingkat daya tarik acara. Bukan kesesuaian training dengan kebutuhan riil sekolah. Itu sebabnya sebuah training yang paling baik sekalipun bisa tidak membawa pengaruh apa-apa bagi sekolah, meskipun training dilaksanakan setiap minggu.
Sebelum menentukan jenis, bentuk dan materi training, sekolah perlu melakukan asesmen terlebih dulu untuk menentukan secara tepat kebutuhannya apa; peningkatan kinerja (improving current performance) atau penanganan defisiensi (correcting deficiency). Sekolah yang kinerjanya tidak sehat, potensial konflik dan secara organisasi bermasalah kerapkali menemui hambatan dalam menentukan kebutuhan organisasi karena terlanjur tidak mengenali standar kinerja atau bahkan tidak memilikinya lagi. Standar kinerja dirancukan dengan target yang hendak dicapai atau bahkan visi sekolah maupun yayasan sebagai organisasi induk. Letak kekeliruan itu adalah, training yang seharusnya dimaksudkan untuk menangani defisiensi, tetapi dirumuskan sebagai peningkatan kinerja. Padahal jika masih terjadi defisiensi, maka training peningkatan kinerja tidak akan efektif. Sesering apa pun dilakukan, training tetap saja cuma menjadi hiburan yang menyedot banyak biaya.
Training untuk memperbaiki defisiensi apabila kinerja sekolah tidak sesuai dengan standar yang ada saat ini. Jika sebuah sekolah belum memiliki standar, maka ini sudah menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki masalah serius dalam defisiensi kinerja, sehingga apa pun trainingnya harus bertujuan mengoreksi defisiensi. Bukan meningkatkan kinerja. Sebab training yang dirancang untuk meningkatkan kinerja tidak akan membawa hasil yang sesuai. Bahkan boleh jadi tidak membawa perubahan apa pun selain pengalaman menikmati kegiatan ice breaking berupa game yang menarik.
Jika training yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan lembaga (sekolah), berikutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi pasca training. Apa saja itu? Pertama, reaksi peserta begitu training usai sampai beberapa saat berikutnya. Kedua, pembelajaran apa yang telah terjadi. Ini meliputi pengetahuan apa yang telah dipelajari, keterampilan apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, serta sikap apa saja yang berhasil diubah melalui training. Ketiga, evaluasi terhadap perilaku pasca training. Evaluasi perilaku ini menitikberatkan pada perubahan perilaku yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah training sampai pada kurun waktu tertentu. Apakah perubahan perilaku tersebut bersifat sesaat (immediate effect), jangka pendek (short term effect) ataukah membawa perubahan perilaku yang berkelanjutan. Keempat, evaluasi hasil. Ini berkait dengan peningkatan kualitas apa yang terjadi akibat training, seberapa besar produktivitas meningkat, apa keuntungan teraba (tangible benefits) dari training serta berbagai pertanyaan penting lainnya.
Satu hal lagi. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa training yang dilaksanakan sekolah hanya memberi efek sesaat atau bahkan hiburan semata, maka ini merupakan peringatan agar Anda menghentikan atau meninjau kembali training yang Anda pilih. Tetapi jika hasilnya sangat positif, sebuah PR menanti Anda. Hasil yang bagus itu dalam waktu yang tidak lama akan hilang bekasnya jika tidak dikelola dengan baik. Perlu ada tindak-lanjut yang kongkret, positif dan berkelanjutan. Tidak lanjut ini bukan berarti menyelenggarakan training berikutnya, tetapi merumuskan langkah yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Boleh jadi, hasil dari salah satu rumusan itu adalah menyelenggarakan training lagi. Hanya saja, training yang seperti apa? Kembali lagi, Anda perlu melakukan asesmen kebutuhan training.
Nah, bagaimana dengan training Anda?
Selengkapnya...

Sabtu, 06 Juni 2009

11 Faktor Keberhasilan Siswa

Baik,mari kita buka What Works in Schools: Translating Research into Action yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.

Lalu apa yang bisa kita petik dari What Works in Schools? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.
Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:
Sekolah. Faktor pertama yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukan drilling. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.
Kedua, tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif (challenging goals and effective feedback). Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.
Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.
Ketiga, keterlibatan orangtua dan komunitas. Ini bagian yang sangat penting. Keberhasilan program pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya. Keselarasan antara sekolah dan orangtua berperan besar dalam mempersiapkan anak meraih sukses. Itu sebabnya, sekolah perlu memiliki program yang secara khusus dirancang untuk membekali orangtua agar memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh anak serta keselarasan komunikasi dengan sekolah. Pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh bisa diberikan oleh sekolah melalui kegiatan-kegiatan seperti parenting skill class, in house workshop atau berbagai bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan keselarasan komunikasi bisa dibangun melalui kegiatan family gathering, breakfast with headmaster, atau blog dan milis orangtua yang dikelola oleh sekolah bersama komite sekolah.
Kegiatan breakfast with headmaster (sarapan bersama kepala sekolah) misalnya, bisa menjadi forum dimana orangtua dapat menyampaikan masukan dan protes secara terbuka. Sebaliknya sekolah bisa menyampaikan harapan maupun kebijakan kepada orangtua secara akrab. Melalui forum semacam ini, ganjalan bisa ditiadakan, komplain bisa segera ditangani dan orangtua tidak perlu melontarkan kritik di depan anaknya. Yang terakhir ini, selain tidak produktif, juga menyebabkan kepercayaan (trust) siswa kepada guru bisa melemah. Padahal kepercayaan merupakan kunci sangat penting bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Keempat, lingkungan yang aman dan teratur. Lingkungan yang aman memberi ketenangan bagi staf, guru dan siswa. Sedangkan keteraturan memudahkan siswa beradaptasi dengan peraturan sekolah, peraturan kelas, harapan guru serta keragaman teman. Sedangkan bagi guru, keteraturan memudahkan proses memunculkan perilaku yang diharapkan (expected behavior) dari siswa. Keteraturan juga memudahkan guru membentuk pola belajar.
Kelima, kolegialitas dan profesionalisme (collegiality & proffesionalism). Hubungan yang bersifat kolegial antara guru dengan guru lain, guru dengan kepala sekolah, staf maupun manajemen berperan besar menciptakan komunitas yang bersahabat, akrab, saling menghormati dan saling mendukung. Pada gilirannya, ini sangat menunjang keberhasilan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, terutama dalam menciptakan iklim sekolah (school climate) yang hangat dan saling mendukung.
Tentu saja hangatnya hubungan antar guru dan unsur lain di sekolah tidak boleh mengabaikan tugas pokok mereka masing-masing. Itu sebabnya, kolegialitas harus berjalan seiring dengan profesionalisme.
Nah.
***

Guru. Ini merupakan aspek yang paling menentukan. Studi yang dilakukan oleh Marzano menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun sekolahnya di bawah rata-rata, bahkan sangat tidak efektif. Lebih-lebih jika guru maupun sekolah sama-sama efektif, pengaruhnya akan lebih dahsyat. Sebaliknya, meskipun sekolah terbilang bermutu, prestasi siswa akan merosot jika guru tidak efektif. Artinya, peran guru dalam menciptakan keberhasilan siswa betul-betul sangat menentukan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dari aspek guru. Pertama, strategi instruksional. Ini berkait dengan kecakapan guru menyampaikan materi di depan kelas. Ada 9 aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan menyampaikan materi. Tetapi kita belum bisa mendiskusikannya saat ini.
Kedua, kecakapan mengelola kelas (classroom management). Ada empat aspek yang terkait dengan manajemen kelas, yakni penerapan dan penegakan aturan di kelas, strategi pendisiplinan siswa, menjaga dan memperkuat hubungan yang baik antara guru dengan siswa, serta merawat dan menguatkan sikap mental siswa.
Faktor kedua ini sebenarnya perlu pembahasan yang sangat panjang, tetapi kali ini rasanya cukup sampai di sini mengingat kesempatan yang sangat terbatas. InsyaAllah pada lain kesempatan bisa kita perbincangkan secara lebih serius, termasuk terkait dengan bagaimana mengelola anak-anak dengan perilaku bermasalah agar mereka bisa belajar dengan normal sebagaimana yang lain dan tidak mengganggu teman sekelasnya tatkala mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
Ketiga, desain kurikulum kelas. Ini berkait dengan bagaimana guru merancang kegiatan di kelas secara terstruktur agar tujuan pembelajaran di kelas secara keseluruhan dapat tercapai.
***

Siswa. Ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni lingkungan rumah, kecerdasan yang dipelajari atau pengetahuan yang melatarbelakangi serta motivasi. Saya berharap kita bisa berbincang tentang motivasi siswa secara lebih serius pada lain kesempatan.
Semoga bermanfaat.
Selengkapnya...

Sabtu, 28 Maret 2009

Bekerja untuk Berbagi

Inilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi.
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”
Abu Bakar menjawab, “Aku.”
Maka Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).
Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.
Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.
Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.
Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.
Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.
Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.
Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.
Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.
Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!
Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Sukses Ujian!

Fantastis! Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional. Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.

Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, Exam Success (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.
Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:

Positive Frame of Mind

“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang diperlukan untuk sukses menghadapi ujian, dengan mengabaikan adanya bimbingan belajar dan proses latihan mengerjakan soal yang bersifat terus-menerus, terlebih dulu kita harus memastikan bahwa anak-anak kita –juga guru dan orangtua—memiliki kerangka berpikir yang positif terhadap ujian. Sama realitas yang dihadapi, beda cara pandangnya, akan beda pula dampaknya bagi anak dalam menghadapi ujian nasional.
Berkenaan kerangka berpikir positif ini, ada empat masalah yang perlu kita diskusikan. Pertama, kecemasan menghadapi ujian (test anxiety). Ini masalah pertama yang kerap menyebabkan anak-anak cerdas tak berdaya menghadapi soal ujian yang paling mudah sekalipun. Ibarat kaki, kecemasan menghadapi ujian membuat anak-anak lumpuh tak berdaya. Tetapi pada kadar tertentu, kecemasan bermanfaat meningkatkan gairah dan kesungguhan belajar anak sehingga ujian terasa begitu menantang. Bukan menakutkan. Kecemasan pada tingkat ini justru meningkatkan prestasi siswa (Hembree, 1988).
Ini berarti, guru maupun orangtua bertugas menjaga kadar kecemasan anak agar tidak melebihi ambang batas.
Tetapi bagaimana mungkin guru dan orangtua mampu menjalankan tugas tersebut jika mereka memandang ujian nasional terlalu penting? Sebegitu pentingnya, sampai-sampai mereka sendiri menghadapi kecemasan yang jauh lebih menakutkan dibanding anak-anak.
Kedua, kendali emosi pasca ujian. Setelah ujian usai, atau dalam istilah McIlroy after the horse has bolted, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali dan mengoreksi kekeliruan yang terjadi selama ujian. Kita juga tidak bisa memperbaiki dan meminta orang lain menambahkan jawaban yang baru teringat sekarang jawabannya, meskipun 100% kita tidak nyotek. Situasi ini jika tidak terkendali akan menimbulkan kekhawatiran dan menjadi pemicu bagi patah semangatnya anak. Lemahnya kendali emosi pasca ujian juga bisa menyebabkan anak kehilangan gairah belajar, mengalami kecemasan yang sangat tinggi atau anjlok sikap optimisnya menghadapi ujian sehingga kehilangan kemampuan puncaknya dalam menghadapi ujian yang tersisa.
Ketiga, umpan balik dari ujian. Masalah ketiga ini umumnya bersumber dari guru!! Sangat sering terjadi, guru tidak memberi umpan balik sama sekali terhadap ulangan harian maupun ujian semester. Paling-paling guru hanya membahas soal yang diujikan. Atau yang sedikit lebih baik, guru memberi umpan balik secara umum. Tetapi tidak memberi umpan balik yang bersifat personal.
Apa pengaruhnya? Tidak adanya umpan balik menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk:
1. Mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering terjadi pada dirinya ketika menghadapi ujian.
2. Mengembangkan ujian diagnosis untuk melacak kelemahan anak.
3. Memberi perhatian pada strategi ujian yang efektif untuk membantu mengambil tindakan yang tepat sebelum ujian.
4. Guru dan orangtua kehilangan kesempatan menyiapkan latihan (exercises) yang merangsang anak belajar lebih cerdas dan lebih serius, sehingga kita tidak perlu lagi memberikan latihan yang bersifat drilling.
Keempat, merasa terisolasi. Ketika anak sedang menghadapi ujian, kerapkali mereka merasa sendiri dan terisolasi. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.
Merupakan tugas guru maupun orangtua untuk menyiapkan mental anak agar mereka merasa nyaman dengan ujian. Meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri, ada orangtua yang mendukung mereka secara tulus dan menerima apa adanya, ada sekian banyak teman yang mengharapkan kesuksesannya, dan ada masa depan yang menanti untuk sebuah kesempatan belajar yang lebih baik, serta berbagai aspek mental lain sangat bermanfaat bagi anak dalam meraih sukses. Dan ini sebaiknya kita berikan jauh sebelum mereka ujian. Jika persiapan mental kita berikan secara terpadu dengan proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun, maka ujian nasional seharusnya merupakan pesta kecil yang dinanti. Bukan bencana besar yang mengerikan.

***

Kalau kita perhatikan, empat masalah tersebut semuanya berkait dengan sikap mental. Ini berarti bahwa penyiapan mental anak menghadapi ujian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka. Kesiapan mental juga mempengaruhi gairah belajar dan tingkat kesungguhan dalam berusaha.
Secara sederhana, kita bisa memacu munculnya sikap mental positif secara cepat melalui berbagai program instant. Tetapi ini cukup melelahkan dan beresiko. Sikap mental positif yang melejit secara cepat akan beresiko menyebabkan mereka secara mental juga akan terhempas sampai pada titik nadir tatkala mereka gagal meraih target yang diimpikan. Selain itu, mereka juga cenderung kurang siap menghadapi situasi yang mengejutkan. Ini sangat berbeda dengan pembentukan sikap mental positif melalui proses edukasi yang bersifat jangka panjang, terstruktur dan terencana.
Nah, mana yang Anda pilih? (Mohammad Fauzil Adhim, SchoolMarketing).
Selengkapnya...

Minggu, 11 Januari 2009

Nyanyian untuk Anak Kita

Anak-anak yang keras itu, dengan apakah kita melembutkan hatinya?
Dulu saya percaya seni bisa melunakkannya. Tetapi tak ada satu pun jaminan ilmiah, tidak juga jaminan dari Allah Ta’ala bahwa seni akan melembutkan jiwa, menghaluskan budi, mengasah kepekaan anak-anak maupun orang dewasa untuk lebih hidup empatinya kepada sesama. Tak ada satu pun bukti ilmiah bahwa musik dengan sendirinya, secara pasti akan membuat anak-anak lebih cerdas, perkembangan emosinya lebih baik dan jiwanya lebih hidup. Sebagaimana bukan seni yang bisa membahagiakan manusia.

Musik memang bisa menghibur, tetapi bukan membahagiakan. Sejumlah riset memang menunjukkan bahwa rangsangan musik klasik merangsang kecerdasan anak, terutama yang masih bayi. Tetapi tidak dengan sendirinya setiap musik klasik mencerdaskan. Musik klasik yang variasi ritmenya dinamis memberi rangsang otak yang lebih kaya dibanding musik klasik yang tenang. Ini senada dengan riset Bradley & Caldwell bahwa ibu yang “ramai”, banyak mengajak bayinya bicara, akan mampu meningkatkan kecerdasan si bayi secara mengesankan. Paul Madaule, penulis buku Earobics, memperkuat hal ini. Ia menunjukkan bahwa suara ibu merupakan gizi terbaik untuk jiwa dan pikiran bayi.
Merujuk catatan Bradley & Caldwell, sering-seringlah mengajak bayi Anda ngobrol, dan berbicaralah kepadanya dengan “meriah” jika Anda ingin punya anak cerdas. Banyak-banyaklah menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang, ceritakan kepadanya apa yang sedang Anda lakukan dan tunjukkanlah apa yang ada di sekelilingnya agar otaknya berkembang pesat. Sampaikan kepadanya pesan-pesan Anda karena masa komunikasi pra-simbolik (sebelum anak bisa berbicara) sangat mempengaruhi perkembangan pikiran dan emosi anak di waktu-waktu berikutnya.
Jika ini Anda lakukan, manfaatnya akan jauh lebih besar dibanding musik klasik yang Anda perdengarkan kepadanya. Apalagi yang sekedar senandung tanpa makna, meskipun itu lagu anak-anak. Sebab banyak lagu anak-anak yang tidak bergizi bagi jiwa anak.
Saya bukan mengatakan bahwa seni tidak bisa memberi manfaat. Tetapi harus kita perhatikan bahwa tidak dengan sendirinya setiap seni, setiap musik dan bahkan setiap lagu anak-anak bermanfaat untuk memberi rangsangan kecerdasan yang memadai serta sentuhan emosi yang positif. Sebagian lagu anak-anak justru merusak kemampuan berpikir logis matematis mereka. Lagu berikut ini contohnya:

“Anak monyet di atas pohon. Anak kelinci di bawah tanah.
Anak burung di dalam sangkar. Anak pintar di meja belajar.
Panjang leher namanya Zebra. Panjang hidung namanya gajah.
Panjang tangan itu pencuri. Panjang sabar, kekasih Ilahi.”

Ini berarti bahwa kita selaku orangtua maupun guru harus memperhatikan apa yang kita berikan pada anak-anak kita. Perlu ilmu untuk menjadi orangtua, sebagaimana untuk menjadi seorang guru kita juga harus memiliki ilmu yang memadai agar tidak cuma mengaminkan apa yang dikatakan orang tentang bagaimana harus mendidik anak. Atas pendapat yang tampaknya benar, kita perlu tahu dasar ilmunya agar tidak bertindak gegabah.
Hari ini saya merasakan hal itu!
Kita merasa “keliru” hanya karena tidak mengikuti apa yang “umum” dan yang “umumnya dianggap benar”. Padahal tak ada ilmu yang kita miliki. Salah satu contohnya ya tentang seni tadi. Banyak dari kita mengangguk-anggukkan kepala begitu saja, menganggap benar bahwa menyanyi dengan sendirinya akan melembutkan jiwa, menghaluskan perasaan dan membaguskan budi. Padahal sudah banyak pelajaran di sekeliling kita tentang bagaimana seorang penyanyi harus mengakhiri hidupnya karena tak kuat menahan beban mental. Stress.
Banyak pula yang terlalu menyederhanakan persoalan bahwa gejolak remaja akan terselesaikan apabila mereka menyalurkan energinya dengan olah raga. Padahal sebagian jenis olah raga justru memperkuat syahwat.
Tampaknya kita perlu lebih cerdas menjadi orangtua. Tentu saja bukan dengan menolak apa saja tanpa ilmu, sebab ini sama buruknya dengan menerima apa saja karena ikut-ikutan. Di antara bentuk kesenian, juga ada yang bermanfaat untuk melembutkan jiwa. Sebagaimana olahraga juga banyak manfaatnya. Bukankah Rasulullah saw. menganjurkan kita untuk mengajari anak-anak kita berenang, memanah dan berkuda?
Selengkapnya...

Jumat, 09 Januari 2009

Awalnya Pikiran Kita

Ada benarnya nasehat Frank Outlaw. Ya, hati-hati dengan pikiranmu karena akan menjelma menjadi kata. Hati-hati dengan kata-kata yang kau ucapkan karena akan melahirkan tindakan. Hati-hati dengan tindakan-tindakanmu karena akan membentuk kebiasaan. Hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan menentukan karaktermu. Dan, awas, perhatikan karaktermu karena akan menentukan nasibmu.

Mari kita ingat ungkapan terkenal Frank Outlaw sebelum kita lanjutkan perbincangan ini. Kata Outlaw, “Watch your thoughts; they become words. Watch your words; they become actions. Watch your actions; they become habits. Watch your habits; they become character. Watch your character; it becomes your destiny.”
Sesungguhnya, tak pedang yang tajamnya melebihi ucapan kita. Ia mampu membelah dada anak-anak kita, atau membangkitkan kekuatan jiwanya sehingga tak ada yang ia takuti kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ucapan kita dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan anak-anak kepada kita dan kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Baiknya buruknya kehidupan anak-anak kita, lisan kitalah yang menentukan. Sebab dari kata akan lahir tindakan, dan tindakan yang terus menerus akan melahirkan kebiasaan. Jika kata itu keluar melalui pemikiran yang jernih dan matang, ia akan mampu melahirkan karakter pribadi anak yang sangat kuat; menghunjam dalam dada, mewujud dalam sikap yang jelas dan tindakan yang mengesankan.
Maka, marilah kita memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas ucapan-ucapan kita yang tidak dibimbing kebenaran. Semoga atas kesalahan kita dalam berbicara, Allah ‘Azza wa Jalla berikan ampunan. Semoga pula Allah meluruskan ucapan-ucapan kita yang salah kepada anak-anak kita. Sungguh, kalau Allah tidak memberikan ampunan dan pertolongan-Nya, maka tak ada yang bisa kita harapkan atas diri kita dan anak-anak kita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).
Mari kita lihat, betapa dekat kaitannya antara menguatkan generasi dengan menjaga ucapan. Allah Ta’ala berikan dua kunci saja agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita; yakni bertakwa (fal yattaqullah) dan berbicara dengan perkataan yang benar (wal yaquulu qaulan sadiida).
Hanya dua ini? Ya. Hanya dua inilah kunci pokok menyiapkan generasi agar mereka tak hanya cerdas otaknya, lebih penting dari itu bangkit jiwanya; Agar mereka tak hanya cerdas emosinya, lebih mendasar lagi kuat imannya kokoh jiwanya.
Hanya dua ini. Tetapi dari dua ini, jika kita mampu melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, akan lahir kebaikan-kebaikan berikutnya. Allah ‘Azza wa Jalla akan baguskan amal-amal kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Sungguh, terhapusnya dosa pada diri kita dan orang-orang yang ada di rumah kita akan memancarkan keteduhan, ketenangan, kebaikan dan semangat untuk terus-menerus memperbaiki diri meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Rasa saling percaya dan merasa tenteram dengan kehadiran masing-masing anggota keluarga, akan lebih kuat terasa dalam diri kita. Dan inilah jalan membangun kekompakan. Ini pula jalan untuk membangun kekuatan ruhiyah kita, sebab ruh itu seperti pasukan tentara. Ia akan segera menyatu dengan ruh kawannya (ruh yang sama).
Kesenjangan komunikasi antar generasi –antara orangtua dengan anaknya yang mulai beranjak remaja, misalnya—kerapkali bukan soal kesenjangan wawasan, tetapi karena jauhnya perbedaan ruhiyah antar mereka.
Belajar tentang teknik berkomunikasi dengan anak memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah penggerak komunikasi yang ada dalam hati kita. Harus kita bedakan antara yang pokok (taqaddum) dan yang bersifat turunan atau derivat (ta-akhkhur); antara teknik berkomunikasi dengan prinsip utama komunikasi antara orangtua dan anak.
Ingin sekali saya berbincang tentang masalah penting ini: berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadiida) dan yang menjadi pijakan sangat menentukan, yakni bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi saya dapati diri saya belum termasuk orang-orang yang bertakwa. Saya hanyalah orangtua dari lima orang anak –setidaknya sampai hari ini—yang sedang memancang keinginan untuk bertakwa dengan sebenar-benar takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadiida) kepada anak-anak saya.
Hampir tak ada yang bisa saya uraikan kepada Anda tentang bagaimana berbicara yang benar pada anak akan membangkitkan kepercayaan mereka kepada kita, sehingga ucapan-ucapan kita akan mereka dengarkan dengan sepenuh hati. Karna itu, izinkan saya menutup perbincangan ini dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (qaulan sadiida), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).
Begitu. Awalnya dari pikiran kita; pikiran yang mempengaruhi ucapan. Penjaganya adalah hati kita; fujur (menyimpang dari kebenaran) atau takwa.
Wallahu a’lam bishawab.
Selengkapnya...

Kamis, 08 Januari 2009

Solilokui Pagi Hari

Astaghfirullahal ‘adzim.
Telah terjaga tubuh ini, ya Allah di pagi yang matahari bersinar cerah mengikuti perintah-Mu. Telah terbangun badan ini dari pembaringan membuai mimpi. Telah terbelalak pula mata ini menyaksikan irama alam yang Engkau ciptakan. Tetapi jiwa ini, ya Allah, rasanya masih lelap dengan tidurnya. Di luar sana, di negeri tempat cucu nabi-Mu Engkau wafatkan, ratusan saudara kami meneteskan darah dari matanya. Tapi tak sedikit pun dada kami terguncang.

Telah terbentang lebar mata ini menikmati pagi yang burung-burung Engkau jadikan berkicau merdu, indah terdengar di telinga. Di pagi ini, ya Allah, kami duduk menikmati berita tentang saudara-saudara kami yang dicungkil matanya oleh tentara Amerika. Bagai sebuah pesta, kami asyik memandangi foto-foto saudara kami yang ditelanjangi tubuhnya, disengat listrik kemaluannya, dikuliti tubuhnya seperti jagal yang menguliti seekor kambing yang hendak diperdagangkan dagingnya, sembari pada saat yang sama kami belajar demokrasi ke negeri para penyiksa itu. Kepada kaum barbar itu, kami belajar hak asasi dan kemanusiaan, sambil mengutuk setiap anak kecil Palestina yang melempari tentara Israel dengan batu kecil, semata demi mengharapkan berhentinya sebuah tank besar yang kemarin telah membunuh bapaknya.
Alangkah segar pagi ini, ya Allah. Engkau ciptakan kesempurnaan alam yang indah. Sinar matahari menyemburat di cela-cela dedaunan, sebagaimana darah perempuan-perempuan muslimah di Irak menyemburat dari daun telinga mereka. Hari ini, mereka tak lagi mengenal kata sakit karena gigi yang patah, sebab yang sekarang mereka rasakan sebagai derita adalah tusukan bayonet di tubuh oleh tentara yang pergi ke sana untuk menciptakaan negeri yang damai. Para wanita itu harus kehilangan giginya dan juga biji matanya hanya karena mereka tak mau berhenti menangisi suaminya yang mati. Di sini, kami belajar dari negeri yang barbar itu, bahwa setiap bentuk kemarahan seorang Muslim yang tidak rela ditindas adalah terorisme, meskipun mereka hanya melempar sebiji kerikil ke pesawat tempur yang sedang diparkir.
Saudara-saudara kami disiksa, ya Allah, oleh tentara-tentara Amerika yang baik hati. Hati kami marah, ya Allah, dan membicarakannya bersama keluarga sambil menik¬mati sedapnya kopi instant panas buatan pendukung Yahudi. Kami kutuk mereka, ya Allah, sambil kami belanjakan uang kami kepada sahabat-sahabat mereka dengan bangga. Kami lakukan itu dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya demi merebut sepotong kenikmatan yang memanjakan lidah, sementara anak-anak yang baru lahir di Palestina tak lagi bisa mengeluarkan airmata.
Ya Allah, sekali waktu kami masih punya rasa malu. Tetapi untuk bertindak yang lebih jauh, tak ada pemimpin yang dapat kami tiru. Orang-orang pintar di sekeliling kami, masih sibuk bertengkar berebut kekuasaan. Sedangkan orang-orang yang menyandang banyak gelar besar, hanya pandai berkelakar daripada memikirkan masalah dengan benar. Ataukah kami ini ya Allah yang keliru menilai pemimpin-pemimpin kami? Kami mengira mereka pemimpin sejati, padahal sesungguhnya adalah pemimpi yang sibuk memperjuangkan kursi. Adapun nasib kami ini ya Allah, atau lebih-lebih saudara kami yang hampir mati itu ya Allah, tergantung apa kata Tuan Besar yang menentukan hitam-putihnya hak asasi dan kemanusiaan.
Ya Allah…, ataukah di dalam tubuh kami yang sehat dan mata kami yang dapat melihat dengan amat jelas, sesungguhnya hati kami buta, tuli dan bisu sehingga kami tak dapat mendengar suara-suara saudara kami yang nyata-nyata sedang disiksa oleh Polisi Dunia? Ataukah ‘รญzzah –harga diri—kami yang telah runtuh sehingga kami tak tahu kebenaran yang harus kami suarakan hanya karena penderitaan itu bukan kami sendiri yang mengalami? Ataukah iman kami yang sedang sakit, sehingga tidak merasa takut dengan peringatan nabi-Mu?
Sungguh, nabi-Mu pernah mengingatkan kami, ya Allah. Nabi-Mu pernah bersabda sebagaimana kuketahui dari Adz-Dzahaby dalam Al-Kabaairnya, “Allah melaknat orang yang membiarkan seorang Muslim dalam kesulitannya dan tidak membantunya.”
Hari ini, mereka bukan hanya dalam kesulitan. Mereka dalam penderitaan dan penyiksaan. Sementara kami di sini asyik membantu musuh-musuh mereka dengan membelanjakan uang kami untuk para penyiksa itu.
Ampunilah kami, ya Allah… meski kami masih sering lupa.
Selengkapnya...

Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah

Seperti seruan adzan, awalnya mengagungkan Allah dan mengakui kebesarannya. Permulaannya kesaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sesudah itu seruan untuk menegakkan shalat dan merebut kemenangan. Sedangkan ujungnya adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.

Seperti itu juga seharusnya hidup kita….


Awalnya kita bergerak untuk mengagungkan Allah. Setiap jengkal bumi ini, di setiap sudut kampung-kampung dan negeri, harus kita penuhi dengan takbir. Takbir dengan lisan kita dengan menyebut Allahu akbar. Hanya Allah Yang Maha Besar dan Maha Lebih Besar. Tak ada kebesaran yang melebihi kebesaran-Nya. Tak ada tempat bagi kita untuk menganggap kecil orang lain, karena kita melihat pada pencipta-Nya. Sebaliknya, tak ada yang layak kita besar-besarkan atas orang-orang yang membesarkan dirinya di hadapan manusia, karena sebesar apa pun mereka, sesungguhnya Allah Maha Besar.
Berangkat dari kesadaran bahwa hanya Allah Yang Maha Besar, kita menyatakan kesaksian (syahadat) dengan lisan dan hati kita. Kemudian kita mengarahkan diri kita, pikiran kita, hati kita dan tindakan kita agar apa pun yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menyembah Allah. Bukankah kita diciptakan untuk menyembah-Nya?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 56-58).
Karenanya, kita perlu berupaya agar seluruh aktivitas dan hidup kita memmpunyai nilai ‘ibadah. Tidaklah kita shalat kecuali untuk Allah. Tidaklah kita mati kecuali untuk Allah. Dan kesadaran ini harus kita hidupkan dalam diri kita. Jika tidak, shalat yang kita lakukan pun bisa terlepas dari kebaikan. Betapa banyak orang yang tampaknya sedang mengagungkan Allah dan menyungkurkan keningnya ke tanah, tetapi sesungguhnya ia sedang menyibukkan diri dengan dunia. Ia basahi lisannya dengan takbir, tetapi ia penuhi hatinya dengan dunia.
Astaghfirullahal ‘azhiim. Atau jangan-jangan, kitalah yang lebih banyak lupa daripada ingat, yang lebih banyak menyibukkan diri dengan dunia daripada menyempatkan berpikir akhirat.
Ah, agaknya kita perlu mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-An’aam ayat 162-163:
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Tentu saja ayat ini bukan untuk memalingkan kita dari dunia dan tidak memedulikannya. Tetapi agar seluruh yang kita lakukan, termasuk kerja keras kita dalam mencari nafkah, semata-semata untuk Allah. Kita menggenapi apa yang diperintahkan, menunaikan apa yang diserukan-Nya dan mempergunakan apa yang ada pada kita untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Boleh jadi hari-hari kita penuh dengan kesibukan, sehingga seakan-akan seluruh hidup kita untuk dunia. Tetapi jika ia jadikan itu semua untuk memuji dan menyembah-Nya, mematuhi aturan-Nya dan tidak menentang perintah-Nya, maka ia terhitung sedang melakukan ketaatan.
Saya teringat dengan sebuah hadis. Rasulullah saww. bersabda, “Allah kagum kepada seseorang yang menggembala kambingnya di atas gunung. Ia azan dan melaksanakan shalat. Allah berfirman, “Lihatlah oleh kalian (wahai para malaikat) hamba-Ku itu! Ia azan dan shalat. Ia takut kepada-Ku. Aku mengampuni dosanya dan aku akan memasukkannya ke dalam surga.”” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’ie & Ahmad).
Hari ini, ketika iman kita terasa amat lemah, semoga kita dapat menggerakkan diri kita untuk menuju ketaatan hanya kepada-Nya. Semoga ujung hidup kita adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Ya, tidak ada tuhan kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.
Selengkapnya...

Setetes Darah Istri Tercinta

Subuh itu kami baru saja menikmati sahur pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya. Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.

Bu Sri mendampingi beberapa saat. Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata yang hampir menetes.
Saya ingin sekali rasanya berlari memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya lahir. Seorang laki-laki. Saya namai ia Muhammad Husain, agar kelak ia menjadi orang yang pengasih kepada sesama manusia sebagaimana akhlak Rasulullah saw. dan cucunya, Al-Husain. Dan kutambahkan di belakangnya nama As-Sajjad agar ia menjadi orang yang banyak bersujud. Biarlah malam-malamnya nanti banyak ia habiskan untuk bersyukur dan menyembah-Nya. Biarlah ia menjadi orang yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Sehingga, lengkaplah namanya menjadi Muhammad Husain As-Sajjad.
Tidak sedih, tidak gembira. Hanya perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya.
Diam-diam kupandangi anakku. Ingin kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku Bersikap terhadap Anak (Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).
Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “… hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.
Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi. Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.
Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak.
Kedekatan psikis (attachment) antara ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian.
Saya tidak tahu apakah istri saya lebih bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan Anda. Bagaimana?
Selengkapnya...

Rabu, 07 Januari 2009

Merenungi Penciptaan Alam

Ada perbedaan yang sangat tipis antara berpikir dan mempertanyakan. Berpikir menuntun kita memperoleh jawaban menyeluruh yang matang dan mendalam, sehingga berguna bagi kita dalam bersikap dan menentukan tindakan. Semakin matang jawaban yang kita peroleh akan semakin baik kita memahami segala sesuatu, sehingga semakin menyadarkan bahwa sangat banyak hal yang belum kita pahami. Ini berarti semakin tinggi ilmu kita justru semakin menyadarkan betapa sedikit ilmu yang kita miliki, semakin tahu letak ketidaktahuan kita, sehingga atas apa-apa yang kita belum memiliki ilmunya, kita tidak menafikannya.

Berpikir membuat akal kita bekerja. Sedangkan bekerjanya akal membuat kita menyadari keteraturan yang berlaku di alam semesta ini. Selanjutnya, insya-Allah penggunaan akal yang tepat akan mengantarkan kita tunduk kepada Yang Maha Menciptakan.
Mirip dengan berpikir adalah kemampuan mengingat dan memahami penjelasan. Orang yang unggul dalam mengingat dan memahami penjelasan bisa menjadi penceramah yang baik, tetapi tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menyadari keteraturan alam semesta ini. Mereka tahu, tapi bukan menyadari. Semakin banyak pengetahuan bukan jaminan akan semakin matangnya diri seseorang. Bahkan bisa mendorong ia untuk banyak mempertanyakan.
Jika kemampuan bertanya merangsang orang untuk berpikir dengan cerdas, maka tidak demikian dengan mempertanyakan. Sikap mempertanyakan mendorong kita untuk menolak kebenaran dan berhenti berpikir maupun meneliti.
Ketika Allah ‘Azza wa Jalla hendak menciptakan khalifah di muka bumi, yakni Adam ‘alaihissalam, malaikat bertanya kepada Allah tentang alasan penciptaan. Ini terekam dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30. Sedangkan syaithan mempertanyakan mengapa harus bersujud kepada Adam. Syaithan mempertanyakan karena merasa tinggi, lebih tinggi kedudukannya daripada Adam. Syaithan tidak bisa melihat bahwa sujudnya kepada Adam sesungguhnya bukanlah menyembah Adam, melainkan ketundukan terhadap yang memberi perintah, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
Apa yang bisa kita petik dari diskusi tentang berpikir? Dalam kaitannya dengan pembelajaran, kita memiliki tugas untuk merangsang anak-anak cerdas dalam bertanya. Sesungguhnya bertanya adalah separo ilmu. Pertanyaan yang bagus akan mengantarkan pada jawaban yang bagus. Pertanyaan yang bagus mengantarkan anak untuk menggali lebih dalam, mempelajari lebih matang dan berpikir lebih mendalam. Sedangkan mempertanyakan cenderung mendorong kita untuk memprotes apa-apa yang kita tidak memiliki ilmunya atau apa yang kita belum sanggup menjangkau.
Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan untuk merangsang anak merenungi penciptaan alam ini. Pertama, memahamkan kepada anak pengetahuan tentang alam semesta untuk selanjutnya meningkat pada pemahaman tentang prinsip-prinsip ilmu alam, keteraturan pada mekanisme alam semesta, anomali hukum alam dan apa yang terjadi jika Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan anomali. Kedua, mengajak anak secara bertahap untuk melihat keteraturan dan segala proses yang terjadi pada alam semesta ini, baik berkait dengan alam semesta secara keseluruhan maupun bagian-bagian kecilnya seperti bagaimana daun menghijau dan menguning, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana air laut menguap menjadi awan dan selanjutnya turun sebagai hujan adalah tanda keteraturan hukum alam yang Allah Ta’ala ciptakan. Tetapi apakah hujan akan turun tepat di atas laut yang menguapkan airnya? Malaikat Allah yang bertugas untuk mengaturnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ketiga, selanjutnya guru mengajak murid memasuki wilayah yang bersifat ruhiyah. Apa pun mata pelajarannya, anak diajak untuk banyak mengingat Allah. Anak mengingati sifat Allah yang maha suci bukan terutama karena seringnya guru berucap subhanaLlah, melainkan karena seringnya guru mengajak anak menyadari sifat Allah. Keempat, guru senantiasa berusaha membangkitkan kesadaran tentang amanah penciptaan atas diri mereka. Kita dorong mereka untuk berbuat dan melakukan yang terbaik untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan menolong agama-Nya.
Kelima, kita ajak anak-anak untuk melihat betapa seriusnya Allah menciptakan setiap makhluknya dan tidak ada yang sia-sia dengan ciptaan-Nya. Dari ini, kita berharap anak-anak akan bisa bertasbih memuji-Nya. Maha Suci Ia. Sedangkan atas apa-apa yang belum mereka ketahui ilmunya, mereka akan belajar untuk meyakini bahwa pasti ada kebaikan besar di dalamnya.
Pada akhirnya, yang keenam, kita berharap melalui proses pembelajaran semacam ini anak-anak akan semakin besar rasa cintanya kepada Allah, semakin besar ketundukannya dan semakin kuat rasa takutnya disebabkan semakin bertambahnya ilmu mereka. Insya-Allah inilah yang menjaga diri mereka dari perbuatan sia-sia, dan di sisi lain, mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik. Inilah the basic of knowing (dasar berpengetahuan) yang perlu kita tanamkan!
Agar guru bisa menjalankan tugas tersebut, mereka perlu banyak berpikir. Tafakkur. Bukan hanya membaca. Tetapi jika membaca saja tidak pernah, bagaimana kita bisa berharap mereka cerdas dalam berpikir?
Selengkapnya...

Ia Lahir untuk Zamannya

Banyak tokoh telah berlalu. Mereka meninggalkan catatan dalam sejarah yang dapat kita buka lembarannya setiap saat. Sir Dr. Muhammad Iqbal salah satunya. Ia adalah pemikir besar Muslim yang sangat berpengaruh. Gagasan-gagasannya banyak dikaji orang hingga hari ini.

Apa yang menarik dari Dr. Muhammad Iqbal buat kita para orangtua? Visi ayahnya. Jika ibu bertugas menyayangi, melimpahi perhatian yang tulus, mengasuhnya dengan penuh kelembutan serta memberi rasa aman sejak hari pertama kelahiran; maka kita melihat bahwa para ayah dari orang-orang besar meletakkan visi yang kuat pada diri anak-anaknya. Inilah yang kita dapati pada diri Luqman Al-Hakiem, tukang kayu yang menggenggam hikmah dari Allah ‘Azza wa Jalla sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Begitu pula pada diri Nabi besar kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para Nabi. Dari seorang ayah yang memiliki visi Ilahiyah sangat kuat ini, lahir para nabi pembimbing ummat. Tidak terkecuali Nabi kita Muhammad saw..
Kenabian memang bukan soal visi orangtua. Ia merupakan hak mutlak Allah untuk memberikan kepada orang yang dipilih-Nya. Kenabian juga telah berakhir. Sesudah Muhammad saw., tak ada lagi Nabi dan Rasul yang akan dibangkitkan di tengah-tengah umat ini.
Tetapi…
Ada yang bisa kita petik dari ayah Dr. Muhammad Iqbal. Kepada Iqbal kecil, ayahnya memberi nasehat, “Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan untukmu.”
Tentu ada banyak nasehat yang pernah diberikan ayahnya. Tetapi nasehat inilah yang membekas di dada Iqbal kecil sehingga mempengaruhi perkembangan jiwanya.
Tentang nasehat ayahnya ini, ia memberi kesakasian:
“Setelah itu,” kata Dr. Muhammad Iqbal menuturkan, “Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku!”
Inilah nasehat yang sangat visioner. Ia mengingatkan hal-hal pokok yang apabila itu hidup dalam dirinya, maka seluruh pikiran dan tindakannya akan terwarnai. Hal yang sama berlaku untuk motivasi, dorongan belajar, nasehat tentang perilaku dan seterusnya. Ada nasehat yang hanya memiliki kekuatan satu dua jam, ada nasehat yang memiliki kekuatan satu dua minggu dan ada juga nasehat yang memiiki kekuatan hingga masa yang sangat panjang.
Kemampuan memberi nasehat yang paling tepat untuk menggerakkan kebaikan dalam diri anak, kerapkali bukan lahir dari kecerdasan orangtua. Betapa banyak anak-anak yang memiliki orangtua doktor sekaligus dokter, tetapi kualitas pengasuhan dan pendidikan keluarga yang ia terima hanya setingkat dengan mereka yang tidak mampu menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres yang paling buruk. Kenapa? Salah satunya karena orangtua tidak punya visi dalam mengasuh dan mendidik. Sebab lain yang kerap saya temui, mereka –para orangtua—menempuh pendidikan tinggi memang bukan untuk menyiapkan anak-anak masa depan. Kembali ke rumah setelah menempuh jenjang pendidikan yang sangat tinggi merupakan mimpi yang buruk. Mereka memilih menyerahkan anak-anaknya kepada orang yang sebenarnya tidak diciptakan untuk mendidik anak. Mereka mungkin bagus dalam mendidik anak-anaknya, tetapi bukan anak kita.
Contoh sederhana. Tugas orangtua mendidik anak, sedangkan tugas nenek memanjakan cucu. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan seandainya masing-masing menjalankan pe¬rannya dengan baik. Nenek secara alamiah akan cenderung memanjakan cucu. Tanpa disuruh, mereka akan melakukannya. Sebagian orangtua bahkan merasa kebingungan bagaimana meng¬hadapi nenek yang begitu memanjakan cucu. Alih-alih risau terhadap kelangsungan pendidikan anak, kita menuding nenek anak-anak kita sebagai penyebab kekacauan. Padahal akar masa¬lahnya terletak pada rendahnya komitmen kita menjalankan tugas sebagai orangtua. Atau, boleh jadi kita memiliki komitmen yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki visi yang jelas.
Apa yang Anda inginkan terhadap anak Anda?
“Saya ingin punya anak yang shalih.” Shalih yang seperti apa? Coba rumuskan.
“Saya ingin punya anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.” Wah, ini persis seperti petuah pada penataran P-4. Singkat, padat dan tidak jelas. Apakah yang Anda maksud berguna bagi nusa, bangsa dan agama itu berarti tukang sapu jalan yang rajin shalat lima waktu? Negara ini butuh tukang sapu, meski negara ini juga membutuhkan negarawan yang baik, memiliki keteladanan yang tinggi dan kerendah-hatian untuk mendengarkan suara rakyatnya langsung dari lisan mereka.
Lalu kenapa visi? Jika saya boleh menyepakati pengertian visi sebagai an ideal standard of excellence, maka visi yang kuat akan membangkitkan sense of purpose and direction. Kepekaan terhadap tujuan dan arah. Visi membentuk gambaran mental (mental image) pada diri kita sehingga mempengaruhi perasaan, pikiran, sikap dan tindakan kita. Semakin kuat visi kita, semakin peka kita terhadap apa yang bisa membawa kepada tujuan. Sebaliknya, kita juga semakin cepat menangkap apa yang menjauhkan dari tercapainya standar ideal kesempurnaan dan kehebatan.
Tetapi harap diingat, lamunan yang tak diikuti dengan upaya yang keras, gambaran yang jelas dan tujuan yang kuat, bukanlah visi. Ia adalah angan-angan kosong. Tak bernilai.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita, anak-anak kita beserta seluruh keturunan kita. Semoga kita semua dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya.
Allahumma amin.
Selengkapnya...

Tak Henti Mendekati

Pernah berselisih dengan isteri? Alhamdulillah, saya pernah. Sebuah perselisihan yang membuat rumah berkurang keindahannya. Bukan karena terjadi pertengkaran besar, tetapi perselisihan “kecil” (adakah perselisihan yang bisa kita sebut kecil?) membuat apa yang indah dan menyenangkan, terasa hambar dan menegangkan. Penghujung malam yang seharusnya mengantarkan kita pada tidur yang tenang, kali ini menyisakan ganjalan perasaan yang membuat tidur kita seakan terjaga. Mata terpejam, tapi hati gelisah. Ingin memicingkan mata, tetapi daya tahan untuk terjaga sudah melemah.

Apa yang ingin saya ceritakan kepada Anda? Bukan perselisihan itu, tetapi pelajaran besar yang ada di baliknya. Ketika kita menginginkan rumah-tangga kembali dipenuhi kehangatan, maka kita berusaha untuk mendekatinya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Sebab tanpa ketulusan, api yang mulai tersulut tak akan bisa padam, meski api itu masih sangat kecil. Tanpa ketulusan saat mendekati, hati kita akan mudah gerah oleh percikan api perselisihan yang tak seberapa itu, sehingga bisa menyebabkan terjadinya konflik yang lebih besar. Awalnya cuma salah paham, atau ngambek karena tidak terpenuhinya keinginan, ujungnya bisa pertengkaran dan perpecahan yang besar.
Selain ketulusan, kita juga harus bersungguh-sungguh mengupayakan perbaikan. Kita berusaha keras agar gesekan tidak berubah menjadi benturan keras. Sebaliknya, melalui upaya yang sungguh-sungguh, hati kita akan luluh. Cair kembali dari kebekuan.
Agar ketulusan dan kesungguhan itu benar-benar membuahkan hasil yang baik dan kesudahan yang indah, perlu ilmu yang menuntun kita pada tindakan yang benar dan tepat. Kesungguhan tanpa ilmu bisa mengantarkan kita pada keinginan untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin, sehingga justru menyebabkan guncangan kecil itu justru membesar. Masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Tak ada waktu untuk berhenti sejenak, merenungi diri dan mengambil jarak dari masalah.
Alhasil, ada ketulusan, ada kesungguhan dan ada ilmu. Berkumpulnya tiga hal ini di atas niat yang mulia insya-Allah meringankan hati kita meneladani Rasulullah saw. dan para sahabat dalam meredam perselisihan rumah-tangga. Kita ikhlas mendengar omelan istri –meski sejauh ini saya tidak pernah dimarahi dengan omelan panjang lebar—karena kita tahu Rasulullah saw. maupun Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun pernah dimarahi istri, dan beliau berdua diam tidak membantah sembari mendengarkan. Dengan cara inilah api akan padam dan kesejukan hadir kembali dalam rumah-tangga.
Masih tentang mendekati istri. Ada pelajaran lain yang saya petik dari apa yang pernah saya alami serta beberapa kasus yang saya tangani. Konflik sebesar apa pun bisa terselesaikan ketika ada keinginan untuk saling mendekati secara tulus, sungguh-sungguh, disertai ilmu dan berpijak di atas niat yang mulia. Keinginan untuk saling mendekati membuat konflik besar yang seakan sudah diambang bubar, bisa terselesaikan dengan indah. Awalnya saling memendam api amarah, ujungnya hasrat untuk bercumbu mesra.
Ya, saling mendekati. Apa yang membuat masa pengantin baru begitu indah? Karena kita sama-sama saling mendekati. Dari tidak saling kenal, berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa memahaminya dengan benar. Kita berusaha melakukan yang terbaik, mendekati dengan penuh semangat sekaligus berusaha agar kita tidak melakukan kesalahan, menunjukkan perhatian dan menampakkan kerinduan serta hasrat yang menyala-nyala. Inilah yang membuat kita saling jatuh cinta. Inilah yang membuat pernikahan –dalam hal ini masa pengantin baru—terasa begitu hangat.
Agar pernikahan kita senantiasa memberi kehangatan dan membangkitkan semangat hidup yang menyala-nyala, kita perlu sering jatuh cinta. Kita jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama, yakni istri atau suami kita. Semakin sering kita jatuh cinta lagi kepada istri, semakin besar arti perkawinan itu bagi kita. Kecuali jika cinta kita bertepuk sebelah tangan. Suami jatuh cinta lagi kepada istrinya, tetapi istri masih berbekal cinta yang dulu, cinta di awal pengantin baru.
Jika suami-istri saling jatuh cinta berkali-berkali, dan berupaya agar masih akan ada peristiwa-peristiwa yang membuat mereka saling jatuh cinta, maka bertambahnya usia pernikahan berarti bertambahnya kekayaan cinta pada diri mereka. Bukan karena seringnya bercinta –sebab kadang orang bercinta tanpa cinta—tetapi karena keduanya terus-menerus berusaha untuk saling mendekati.

***
Ada beberapa hal yang kadang membuat kita lupa untuk saling mendekati. Pertama, merasa sudah banyak berbuat sehingga menuntut istri untuk lebih banyak bersikap pro-aktif. Boleh jadi yang kita rasakan benar, tetapi upaya untuk terus-menerus mendekati tak akan terhenti kalau kita menyadari bahwa upaya kita masih terlalu sedikit. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa kita perlu berusaha mengimbangi apa yang dilakukan oleh istri agar ia tidak sampai putus asa karena merasa sudah berbuat banyak tanpa hasil.
Kedua, ingin menjadi pemenang dalam perselisihan. Mungkin kita tidak menunjukkan kemarahan yang berlebihan, tetapi kadang muncul bentuk lain yang tidak kalah buruknya. Kita ingin membuktikan kepada istri bahwa kitalah yang benar. Keinginan ini menjadikan suasana damai yang sudah mulai tumbuh dalam rumah-tangga, kembali dipenuhi perasaan saling jengkel dan bahkan saling dendam. Padahal dalam rumah-tangga yang sehat, tak ada pemenang dan pecundang. Perselisihan harus diselesaikan sehingga membesarkan hati semua pihak, melegakan perasaan masing-masing dan membawa suami-istri pada keinginan untuk terus berbenah menata rumah-tangga.
Ketiga, berkurangnya keterikatan antara suami dan istri karena hadirnya fasilitas yang memudahkan kehidupan. Tanpa sadar, kerap adanya fasilitas membuat kita lupa bahwa ada yang tak bisa tergantikan. Secobek sambal sederhana buatan istri, rasanya mungkin tidak selezat bikinan koki restoran. Tetapi kesediaan untuk menyiapkan dan menghidangkan –atau setidaknya menemani makan—memberi arti yang lebih pada pernikahan.
Apa artinya?
Agar keterikatan hati antara suami dan istri senantiasa terjaga, perlu ada kesediaan untuk memberi sentuhan emosi pada peristiwa rumah-tangga yang bersifat rutin. Kita boleh memiliki beragam fasilitas dalam rumah –dan seharusnya demikian jika kita mampu—tetapi bertambahnya fasilitas harus diiringi dengan semakin eratnya ikatan hati antara suami dan istri.
Di antara fasilitas yang berpotensi merenggangkan ikatan emosi adalah televisi. Suami-istri yang sedang berdua menikmati tayangan televisi, ternyata lebih jarang melakukan komunikasi interpersonal yang hangat dibanding suami-istri yang sedang berada di dapur. Meningkatnya aktivitas menonton televisi, ternyata menurunkan kualitas komunikasi perkawinan (marital communication) antara keduanya, yakni komunikasi yang bermanfaat untuk menghangatkan hubungan dalam perkawinan.
Bertambahnya waktu untuk menonton TV juga membuat “kebutuhan” terhadap hiburan semakin meningkat. Sebaliknya daya tahan untuk melakukan aktivitas produktif menurun. Kita juga semakin cenderung untuk memperoleh hiburan yang bersifat instant. Tanpa usaha yang berarti.
Ini tampaknya sepele. Tetapi jika tidak disadari akan membuat ikatan emosi antara suami dan istri melemah. Tak ada lagi upaya untuk saling mendekati. Tak ada lagi kebutuhan untuk senantiasa bertemu dan bercanda. Kehadiran istri tak lagi menghibur dan menghadirkan kedamaian. Sementara istri juga tenggelam dengan dunianya sendiri.
Jika sudah tidak ada ikatan emosi yang kuat antaranya keduanya, apa lagi yang bisa membuat mereka punya alasan untuk mempertahankan, meningkatkan kehangatan dan membangkitkan kemesraan antar mereka berdua?
Tentu saja, hiburan tidak tabu bagi kita. Bukankah ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu pernah mengingatkan agar kita berhibur sekali waktu? Dengan berhibur, hati tidak akan beku. Tetapi berhibur yang bagaimana? Berhibur yang membuat kehadiran masing-masing semakin berarti. Misalnya, bepergian keluar kota dan makan bersama di atas hamparan tikar sembari menikmati terpaan angin yang sejuk. Atau berhibur yang menantang aktivitas fisik dan mental kita.
Wallahu a’lam bishawab. Semoga pernikahan Anda semakin mesra.
Selengkapnya...

Ingatan yang Tajam

Bertanyalah kepada orang yang merasa daya ingatnya rendah, apa yang sulit mereka lupakan. Menarik! Ternyata hampir semua memiliki pengalaman yang tidak mudah mereka hapuskan; mudah sekali teringat setiap kali ada peristiwa yang berkait. Begitu juga, kita menjumpai betapa banyak peristiwa, tindakan, ucapan bahkan tulisan yang dengan mudah mereka rekam dan pahami sekaligus bisa segera mereka ingat tatkala memerlukan. Padahal, mereka merasa daya ingatnya rendah!

Kita melihat di sini sebuah kontradiksi menarik: daya ingat rendah, tetapi susah lupa!
Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena kita belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.
Anda sendiri saya kira juga memiliki hal-hal yang sulit dilupakan maupun hal-hal yang sangat mudah diingat. Yang sulit kita lupakan adalah peristiwa atau sesuatu yang memiliki bobot emosi sangat kuat. Gempa bumi misalnya, umumnya termasuk peristiwa yang sulit dilupakan. Peristiwa traumatis bahkan bisa menghantui seseorang sepanjang hidupnya sehingga menuntut usaha keras untuk melupakannya –bila perlu harus terapi ke seorang psikolog--, meski peristiwa yang sama tidak menimbulkan efek apa-apa bagi orang lain. Sementara yang mudah kita ingat adalah hal-hal yang kita minati, kita perhatikan atau yang berkaitan dengan tujuan kuat dalam diri kita, baik tujuan jangka pendek maupun cita-cita besar di masa mendatang yang benar-benar mempengaruhi diri kita.
Pengagum berat musik rock misalnya, dengan mudah akan hafal –bahkan tanpa menghafalkan—lagu baru yang dilantunkan oleh penyanyi pujaannya, cukup dengan satu kali mendengarkan. Padahal dalam bidang akademik, boleh jadi dia merasa susah mengingat materi pelajaran sederhana yang disampaikan oleh guru paling menarik sekalipun.
Apa sebabnya? Rasa suka. Karena ia sangat mengagumi sang penyanyi, maka muncul antusiasme saat mendengarkan. Antusiasme inilah yang menimbulkan semangat sehingga kita bisa menghafal lagu dengan sangat cepat. Kita belajar secara efektif bukan karena lagu tersebut ada musiknya, tetapi karena ada gairah besar saat mendengarkan. Tanpa sadar, kita telah belajar dengan mengerahkan kemampuan otak kita secara maksimal. Kita memperhatikan dengan sungguh-sungguh pada setiap kata yang menyusun syair lagu itu. Hasilnya, otak kita bekerja sangat efektif. Bukankah salah satu yang menguatkan daya ingat saat belajar adalah perhatian?
Nah, sebuah pelajaran baru saja kita catat, antusiasme menjadikan perhatikan kita meningkat terhadap apa yang kita pelajari.
Apakah lagu memang mudah dihafalkan? Tidak. Perbincangan kita tentang lagu hanyalah sekedar menyebut contoh. Saya termasuk orang yang sangat sulit menghafal lagu. Sebabnya, selera musik saya rendah sehingga semenjak SD saya memperoleh nilai yang buruk untuk seni suara. Salah satunya karena saya sangat kesulitan menghafal lagu. Padahal dalam bidang lain saya bisa mengingat pelajaran dengan sangat baik, tidak terkecuali dialek gurunya saat menerangkan.
Jika mencermati bagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in mendengarkan setiap tutur kata Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, kita merasakan betapa besar antusiasme mereka. Ada kecintaan yang luar biasa dalam diri setiap sahabat kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sehingga secara spontan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh disertai minat yang sangat tinggi terhadap setiap ucapan dan tindakan Rasulullah sang kekasih.
Maka, “wajarlah” jika para sahabat memiliki daya ingat yang tinggi terhadap perilaku maupun sabda Nabi, bahkan hingga titik komanya. Mereka mengingat secara persis seperti semut mengingat sarangnya. Apalagi bagi seorang Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu tidak punya kesibukan apa pun selain tinggal di masjid dan mengikuti kemana Rasulullah shallaLlahu ‘alahi wa sallam pergi. Sebagai ahlu suffah, seorang yang miskin papa tanpa tempat tinggal, Abu Hurairah mempunyai kesempatan mendengar, mengingat dan menghafal dengan lebih baik dibanding umumnya para sahabat utama yang memikul tanggung-jawab sangat banyak. Apa yang tampak sebagai kemalangan nasib bagi seorang Abu Hurairah, diam-diam merupakan barakah bagi agama ini karena mempunyai seorang penghafal sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang tekun dan total.
Blessing in disguise. Sebuah berkah tersembunyi di balik kemiskinannya.
Selain rasa suka yang membangkitkan antusiasme, tujuan yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya ingat. Kuatnya tujuan akan menciptakan konteks dalam otak sehingga kita mudah melihat hubungan antar berbagai pokok pembahasan yang kita dengar, lihat, simak dan baca. Ini memudahkan kita memahami sebuah masalah, menguasai konsepnya dengan baik dan memikirkan penerapannya, menganalisis permasalahan secara terampil dan bahkan memadukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh. Ini berarti, kuatnya tujuan memudahkan kita mengingat, mengetahui dengan baik, memahami secara matang hingga melakukan sintesis atas apa yang kita pelajari. Setidaknya, tujuan yang jelas dan kuat menjadikan kita mudah memahami apa yang bagi kebanyakan orang sulit untuk dimengerti.
Selain tujuan, daya ingat kita juga dipengaruhi oleh makna atau nilai yang kita hayati atas apa yang kita lakukan. Lebih-lebih jika nilai itu sudah menjadi karakter pribadi, kita akan mudah memahami apa yang kita pelajari.
Lalu, darimana makna itu kita peroleh? Ada dua hal. Pertama, penghayatan secara langsung terhadap makna kegiatan kita –dalam hal ini belajar— sehingga kita merasakan, menerima dan mengikatkan diri dengan nilai tersebut. Ini erat kaitannya dengan niat, disamping proses penanaman nilai yang bersifat terus menerus. Dimulai dengan membangun kesadaran sehingga anak-anak memiliki kemampuan untuk memperhatikan sesuatu dengan nilai yang diyakininya, lalu berangsur meningkat kepada partisipasi, penghayatan nilai, membentuk sistem nilai hingga akhirnya terbentuk karakter diri yang kuat. Itu sebabnya, pendidik perlu terus-menerus menyegarkan niat murid maupun dirinya sendiri. Jika guru mengajar dengan niat yang baik dan kuat, ia akan mengajar dengan penuh antusiasme dan kesungguhan. Dan karena antusiasme menular, anak-anak akan memiliki antusiasme yang besar pula!
Kedua, penanaman dan penguatan tujuan. Proses ini bisa dilakukan di rumah maupun sekolah. Akan lebih baik jika orangtua melakukannya dan guru menguatkannya di sekolah, sekaligus memperkaya wawasan siswa. Penguatan tujuan ini juga bisa kita lakukan dengan membangun visi hidup serta orientasi hidup anak. Jika visi hidup berkait dengan harapannya di masa yang akan datang, orientasi hidup adalah bagaimana dia memandang kehidupannya sehari-hari; untuk apa ia hidup.
Masih berkenaan dengan ingatan yang tajam. Selain beberapa hal yang baru saja kita bicarakan, daya ingat juga sangat dipengaruhi oleh emosi positif yang bernama optimisme. Salah satu faktor yang mendorong anak untuk optimis adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla; bahwa tuhan tak pernah tidur dan senantiasa menolong hamba-Nya yang memerlukan. Di sinilah kita bisa membangun pemahaman sekaligus orientasi hidup pada siswa tentang siapa saja orang yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah dan apa saja syaratnya.

Rasa Takut yang Positif
Jika optimisme berpengaruh terhadap daya ingat serta kemampuan memahami, maka kekhawatiran dan rasa takut membuat otak sulit mencerna informasi yang kita terima. Anak-anak yang cemas saat belajar cenderung lebih lamban dalam memahami pelajaran serta lemah dalam mengingat apa yang sudah pelajari. Lebih-lebih jika dibayang-bayangi oleh kegagalan, anak akan cenderung stress dan sulit memusatkan perhatian. Di saat konsentrasi lemah seperti itu, pelajaran yang mudah pun akan terasa sangat sulit.
Yang menyedihkan, kita justru sering menuntut mereka agar memperhatikan pelajaran di saat mereka sedang mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ini membuat anak merasa semakin cemas. Ia pesimis. Jangankan menghadapi ujian, memahami pelajaran saja ia sudah kewalahan. Tak berdaya. Ujung-ujungnya, ia mulai menunjukkan perilaku menyimpang, nakal dan sejenisnya. Tindakan ini justru menguatkan keyakinan orangtua mau¬pun guru bahwa anak-anaknya tidak bisa diatur, bodoh dan sejenisnya. Sebuah lingkaran setan yang sempurna!
Itu sebabnya, kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak dengan membangun kedekatan emosi antara guru (termasuk orangtua) dan anak, membangkitkan antusiasme, menumbuhkan tujuan yang kuat, optimisme serta tanamkan makna dan nilai (meaning & value) yang kokoh. Gugah mereka untuk mempunyai mimpi besar di masa yang akan datang. Mimpi untuk berbuat dan bermakna. Bukan angan-angan untuk mendapatkan dunia melalui kecerdasannya.
Selain motivasi secara langsung, penguatan tujuan juga bisa kita lakukan dengan menciptakan rasa takut yang positif. Apa itu?
Jika rasa takut menghadapi ujian akan melemahkan kemampuan mereka dalam belajar, maka ketakutan yang berpijak pada rasa tanggung-jawab terhadap masa depan ummat ini, akan menguatkan tujuan. Semakin efektif kita menanamkan rasa takut yang positif, akan semakin kuat tekad mereka untuk belajar. Jika perlu, guru merancang kegiatan untuk memberi pengalaman mengesankan sekaligus memotivasi, pengalaman yang sulit mereka lupakan melalui kegiatan yang dramatis. Kita ajak mereka untuk membayangkan masa depan yang mengerikan bagi bangsa, ummat atau keluarga, kecuali jika mereka bersungguh-sungguh merebut masa depan.
Wallahu a’lam bishawab.
Selengkapnya...