Jumat, 09 Oktober 2009

Bangkitkan Kekuatan Mereka

Kita terlalu manja. Telah Allah limpahkan kekayaan yang sangat besar atas bumi tempat kita berpijak, tetapi kita asyik dengan angan-angan kita. Kita membiarkan tangan kita diam tak bergerak, di saat ribuan manusia berteriak-teriak mencari tempat yang memberi kesegaran. Kita tidak mengerahkan kekuatan dan membangkitkan kemauan untuk memeras keringat menggenggam kehidupan. Atas bumi tempat kita tinggal yang begitu indah, kita tidak mensyukurinya dengan kerja yang sungguh-sungguh. Atas tanah kita yang aman, kita tidak mensyukurinya dengan menajamkan otak kita, menguatkan pikir kita, menghidupkan jiwa dan melembutkan hati kita, sehingga kita akhirnya terpuruk di kampung sendiri.


Harus kita gerakkan jiwa mereka; anak-anak kita dan para orangtuanya. Harus kita bangkitkan kehendak mereka untuk meraih hidup yang baik dan kematian yang mulia. Kita tidak punya waktu untuk meratapi. Kita tak bisa mengubah masa lalu, sementara masa depan tidak mungkin kita ciptakan kalau kita menyibukkan diri berandai-andai dengan apa yang terjadi. Kita tidak memiliki masa depan kalau hari ini kita tidak bersedia memeras kita keringat untuk menggenggam dunia di tangan kita dan memasukkan akhirat di hati kita!

Ingatlah pada sabda Nabi saw., “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Maka, tak ada tempat bagi kita untuk berandai-andai. Yang harus kita lakukan adalah belajar dari Umar bin Khaththab ra. untuk mampu memandang setiap kejadian dan bencana, sejauh bukan bencana agama, sebagai rahmat yang membawa kebaikan apabila kita mengambil pe¬lajaran darinya. Ketika suatu hari Umar bin Khaththab ditimpa musibah, sahabat Nabi saw. yang terkenal ketegasannya ini berkata, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dalam segala keadaan.”

Bencana yang terjadi di tempat kita, jauh lebih ringan daripada yang pernah dialami oleh Jepang, Iran, Irak atau Lebanon yang hari ini anak-anaknya sedang disiksa oleh Israel. Tetapi Jepang bangkit menjadi negara yang sangat kuat, justru belajar dari bencana yang dialaminya. Sama seperti negara Singapore bisa sangat makmur, padahal tanah yang mereka miliki tidak memberi harapan untuk bercocok tanam. Andaikata seluruh lapangan sepak bola yang ada di sana diubah menjadi sawah –ketika itu—niscaya tidak mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk Singapore. Tetapi kita melihat, mereka mencapai kemajuan besar. Mereka bergerak dengan semangat yang ada di dalam jiwa mereka.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat. Kitalah yang memiliki perkebunan coklat sangat besar di dunia. Tetapi Swiss adalah negara pembuat coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11% wilayah Swiss yang bisa ditanami. Swiss juga mengelola susu dengan jangkauan pema¬saran seluruh dunia dan dikenal sebagai tempat berdirinya bank-bank paling aman di dunia. Padahal Swiss tidak memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.

Ada banyak contoh lain bagaimana negeri-negeri lain di dunia meraih kejayaan, sementara kondisi alamnya sangat tidak memadai. Jepang misalnya, sebagian besar wilayahnya pegu¬nungan. Delapan puluh persen wilayahnya adalah gunung, sehingga secara alamiah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan peternakan. Tetapi pertanian Jepang sangat maju.

Betapa pun demikian, negeri-negeri itu tidak dapat memberikan jaminan kebahagiaan bagi penduduknya. Mereka belajar dari bencana, tetapi tetap tidak sanggup melawan bencana. Negeri mana pun, betapa pun majunya, dapat terkena bencana yang sama besarnya. Hanya saja, mereka dapat meminimalkan bencana yang bersumber pada perilaku dan kecerobohan manusia.

Atas bencana-bencana yang terjadi, kita perlu menilik lebih jauh sebabnya. Di antara bencana-bencana yang ada, sebagian merupakan akibat kesalahan kita; sebagiannya lagi merupakan ujian; dan sebagian lainnya merupakan azab. Inilah perkara pertama yang perlu dipahami oleh anak-anak agar mereka tidak salah memahami Allah.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?”
(QS. Al-A’raaf, 7: 96-100).

Demikianlah. Ada yang perlu kita renungkan. Dan yang pasti, ada yang perlu kita persiapkan agar anak-anak kita kelak sanggup menegakkan kepala merebut masa depan. Insya-Allah.
Selengkapnya...