tag:blogger.com,1999:blog-47964939829621453312024-03-13T10:53:07.520+07:00belajar untuk berbagibelajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-26125245496933544682009-10-09T01:03:00.008+07:002009-10-09T01:19:11.256+07:00Bangkitkan Kekuatan Mereka<span style="font-weight:bold;">Kita terlalu manja.</span> Telah Allah limpahkan kekayaan yang sangat besar atas bumi tempat kita berpijak, tetapi kita asyik dengan angan-angan kita. Kita membiarkan tangan kita diam tak bergerak, di saat ribuan manusia berteriak-teriak mencari tempat yang memberi kesegaran. Kita tidak mengerahkan kekuatan dan membangkitkan kemauan untuk memeras keringat menggenggam kehidupan. Atas bumi tempat kita tinggal yang begitu indah, kita tidak mensyukurinya dengan kerja yang sungguh-sungguh. Atas tanah kita yang aman, kita tidak mensyukurinya dengan menajamkan otak kita, menguatkan pikir kita, menghidupkan jiwa dan melembutkan hati kita, sehingga kita akhirnya terpuruk di kampung sendiri.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Harus kita gerakkan jiwa mereka; anak-anak kita dan para orangtuanya. Harus kita bangkitkan kehendak mereka untuk meraih hidup yang baik dan kematian yang mulia. Kita tidak punya waktu untuk meratapi. Kita tak bisa mengubah masa lalu, sementara masa depan tidak mungkin kita ciptakan kalau kita menyibukkan diri berandai-andai dengan apa yang terjadi. Kita tidak memiliki masa depan kalau hari ini kita tidak bersedia memeras kita keringat untuk menggenggam dunia di tangan kita dan memasukkan akhirat di hati kita!<br /><br />Ingatlah pada sabda Nabi saw., “<span style="font-style:italic;">Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah.<span style="font-weight:bold;"></span></span> Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” <span style="font-weight:bold;">(HR. Muslim).</span><br /><br />Maka, tak ada tempat bagi kita untuk berandai-andai. Yang harus kita lakukan adalah belajar dari Umar bin Khaththab ra. untuk mampu memandang setiap kejadian dan bencana, sejauh bukan bencana agama, sebagai rahmat yang membawa kebaikan apabila kita mengambil pe¬lajaran darinya. Ketika suatu hari Umar bin Khaththab ditimpa musibah, sahabat Nabi saw. yang terkenal ketegasannya ini berkata, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dalam segala keadaan.”<br /><br />Bencana yang terjadi di tempat kita, jauh lebih ringan daripada yang pernah dialami oleh Jepang, Iran, Irak atau Lebanon yang hari ini anak-anaknya sedang disiksa oleh Israel. Tetapi Jepang bangkit menjadi negara yang sangat kuat, justru belajar dari bencana yang dialaminya. Sama seperti negara Singapore bisa sangat makmur, padahal tanah yang mereka miliki tidak memberi harapan untuk bercocok tanam. Andaikata seluruh lapangan sepak bola yang ada di sana diubah menjadi sawah –ketika itu—niscaya tidak mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk Singapore. Tetapi kita melihat, mereka mencapai kemajuan besar. Mereka bergerak dengan semangat yang ada di dalam jiwa mereka.<br />Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat. Kitalah yang memiliki perkebunan coklat sangat besar di dunia. Tetapi Swiss adalah negara pembuat coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11% wilayah Swiss yang bisa ditanami. Swiss juga mengelola susu dengan jangkauan pema¬saran seluruh dunia dan dikenal sebagai tempat berdirinya bank-bank paling aman di dunia. Padahal Swiss tidak memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.<br /><br />Ada banyak contoh lain bagaimana negeri-negeri lain di dunia meraih kejayaan, sementara kondisi alamnya sangat tidak memadai. Jepang misalnya, sebagian besar wilayahnya pegu¬nungan. Delapan puluh persen wilayahnya adalah gunung, sehingga secara alamiah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan peternakan. Tetapi pertanian Jepang sangat maju.<br /><br />Betapa pun demikian, negeri-negeri itu tidak dapat memberikan jaminan kebahagiaan bagi penduduknya. Mereka belajar dari bencana, tetapi tetap tidak sanggup melawan bencana. Negeri mana pun, betapa pun majunya, dapat terkena bencana yang sama besarnya. Hanya saja, mereka dapat meminimalkan bencana yang bersumber pada perilaku dan kecerobohan manusia.<br /><br />Atas bencana-bencana yang terjadi, kita perlu menilik lebih jauh sebabnya. Di antara bencana-bencana yang ada, sebagian merupakan akibat kesalahan kita; sebagiannya lagi merupakan ujian; dan sebagian lainnya merupakan azab. Inilah perkara pertama yang perlu dipahami oleh anak-anak agar mereka tidak salah memahami Allah.<br /><span style="font-style:italic;"><br />“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?”</span> <span style="font-weight:bold;">(QS. Al-A’raaf, 7: 96-100).</span><br /><br />Demikianlah. Ada yang perlu kita renungkan. Dan yang pasti, ada yang perlu kita persiapkan agar anak-anak kita kelak sanggup menegakkan kepala merebut masa depan. Insya-Allah. <br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-70170049615826012662009-09-11T00:06:00.002+07:002009-09-11T00:10:23.975+07:00Selamat Datang BencanaBencana yang baru saja datang mengguncang sehingga membuat kita lari tunggang-langgang, mungkin bukan yang terakhir. Tangis yang menyayat-nyayat di setiap ujung-ujung jalan karena perginya orang tersayang tanpa pernah bisa diharapkan kembali lagi, mungkin masih akan terulang lagi. Bisa lebih kecil, bisa lebih besar. Kalau kesempatan yang Allah berikan kepada kita saat ini tidak kita pergunakan, boleh jadi kita akan melihat datangnya bencana-bencana berikutnya yang lebih menakutkan.<span class="fullpost"><br /><br /> Ada 351 ayat tentang adzab dalam Al-Qur’an dan puluhan lagi tentang bencana. Semua mewartakan kepada kita tentang apa yang harus kita benahi dalam diri kita. Sebab semua yang ada di langit dan di bumi; dari gunung yang Allah perintahkan menjadi pasak bagi bumi ini hingga laut, semua bertasbih memuji Allah. Maka apabila kemaksiatan dibiarkan merajalela, dan orang-orang yang baik tidak menganggap buruk orang-orang yang melakukan kekejian, para ulamanya diperkaya oleh penguasa, sungguh inilah saat ketika bencana akan datang susul menyusul. Awalnya ia adalah peringatan, meski tetap ada korban yang harus berjatuhan. Tetapi akan datang bencana yang lebih mengerikan dan lebih menghancurkan, apabila kita tidak segera mengambil pelajaran.<br />Sebagian dari kita Allah beri kesempatan untuk selamat, bukan karena kita lebih baik daripada mereka yang hari ini telah Allah panggil pulang. Tetapi karena Allah masih memberi kita kesempatan untuk berbenah. Allah beri kita kesempatan untuk memperbaiki al-wala’ wa al-bara’ kita. Sungguh, apabila sudah tidak ada lagi pada diri kita kehormatan sebagai seorang mukmin, sehingga tidak merah muka kita karena marah ketika agama ini direndahkan dan maksiat diagungkan, maka do’a orang-orang yang shaleh pun tak lagi dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadis. <br />Dan hari ini, majalah yang telah menginjak-injak agama ini telah diizinkan kembali untuk terbit dan mengagungkan kemaksiatan. Majalah Playboy telah datang menjumpai para suami untuk melihat aurat perempuan lain. Maka apakah engkau masih berharap bumi ini damai tanpa bencana, sedangkan mukamu tidak merah karena marah oleh kemaksiatan? Maka apakah engkau akan menyalahkan tuhanmu ketika bumi mengering, panasnya membakar dan dinginnya mematikan? Padahal engkau biarkan orang-orang fajir melecehkan kebenaran dan kebaikan.<br />Ingatlah sejenak ketika Allah berfirman:<br /><span style="font-style:italic;">“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa <span style="font-weight:bold;">Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang</span>?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.” </span><span style="font-weight:bold;">(QS. Al-Mulk, 67: 16-18). <br /></span>Sesungguhnya, bencana itu tidak di utara tidak di selatan, tetapi di tempat yang telah Allah takdirkan atau bagi manusia yang telah Allah tetapkan keadaan itu baginya. Maka jika engkau berlari ke selatan karena menghindari bahaya dari utara, boleh jadi kematian itu menyambutmu di tempat engkau mencari perlindungan.<br />Mari kita simak kembali firman Allah di bagian lain Al-Qur’an:<br /><span style="font-style:italic;">“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) -Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. Dan apabila mereka <span style="font-weight:bold;">dilamun ombak yang besar seperti gunung</span>, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.”</span> <span style="font-weight:bold;">(QS. Luqman, 31: 31-32).</span><br />Jika ombak setinggi gunung yang datang menerjang, maka hanya Allah tempat berlindung paling sempurna. Jika engkau mencari keselamatan dengan berlari ke atas bukit, bukankah putra Nabi Nuh as. ditenggelamkan oleh Allah pada saat dia mencari perlindungan di puncak gunung?<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-40056418473772515082009-08-11T23:59:00.001+07:002009-08-12T00:04:17.293+07:00Motivasi IntrinsikSeorang ibu bertanya tentang anaknya. Sejak kecil selalu memperoleh ranking bagus di kelasnya. Prestasi akademik selalu cemerlang. Tetapi belakangan minat belajarnya merosot drastis. Tak ada gairah belajar. Tak ada minat untuk mengerjakan PR. Ketika ibunya mengingatkan untuk belajar lebih giat agar rankingnya tidak jeblok, ia berkata, “Aku bosan sama ranking.”<br /><span class="fullpost"><br /> Pertanyaan ibu ini mengingatkan saya pada teori motivasi. Ada motivasi ekstrinsik, ada motivasi intrinsik. Anak kita menyapu lantai agar mendapat sebiji permen dari orangtua, tekun belajar agar dapat ranking satu (karena nanti kita belikan ia sebuah sepeda mungil), atau bersemangat memberesi kamar agar diajak jalan-jalan, adalah contoh motivasi ekstrinsik. Anak melakukan aktivitas apa pun, termasuk shalat dan mengaji, karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan kepadanya merupakan bentuk motivasi ekstrinsik. Kita rajin puasa Senin-Kamis karena ingin lulus ujian, bukan karena berserah diri kepada Allah Yang Maha Tinggi.<br />Motivasi ekstrinsik cepat pudar. Anak mudah kehilangan semangat karena hadiah yang dijanjikan –termasuk hadiah berupa “ranking”—tidak lagi memiliki daya tarik. Semangatnya melemah <span style="font-style:italic;">(less zeal)</span> karena imbalan yang diberikan <span style="font-style:italic;">meaningless</span> (kehilangan makna), sehingga tak ada lagi alasan untuk mengejar. Seperti anak ibu tadi, mereka bisa bosan dapat ranking yang bagus.<br />Kapan anak merasa bosan? Ketika anak merasa hadiah itu tak memberi manfaat apa-apa. Anak-anak tidak membutuhkan. Kalau dulu anak bersemangat menyapu untuk memperoleh permen, sekarang permen sudah tidak menarik lagi. Anak butuh rangsangan lebih besar untuk bertindak.<br />Cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi sekurangnya oleh dua hal. <span style="font-style:italic;">Pertama,</span> nilai imbalan atau hadiah yang dijanjikan kepada anak. Setiap hadiah akan mengalami penyusutan nilai bagi anak. Saat anak belum pernah memegang, sebuah mobil mainan sangat menggiurkan bagi anak. Tetapi ketika berbagai jenis mainan sudah sering ia pegang, mobil-mobilan yang bagus lengkap dengan remote controlnya pun sudah tidak menarik lagi.<br />Melemahnya daya tarik imbalan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang memberi daya tarik lebih besar. Video-game, misalnya. Semakin kuat keasyikan yang diperoleh anak saat bermain play-station, semakin lemah daya tarik imbalan yang kita janjikan agar anak mau belajar yang rajin. Lebih-lebih jika aktivitas lain yang mengasyikkan itu pada saat yang sama juga menyerap seluruh energi psikis anak sekaligus membuat anak pasif. Berbagai jenis game –juga tayangan TV—membuat anak terpaku secara pasif. Mereka dibombardir dengan gambar-gambar kekerasan yang berganti dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga memaksa mereka untuk terus memperhatikan tanpa berkedip.<br />Aktivitas semacam ini membuat anak mengalami kelelahan secara psikis. Ibarat truk, bebannya berlebih. Ibarat komputer, sistemnya hang. Macet. Meskipun kemampuannya sangat besar dan kecepatan prosesor sangat tinggi, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik. Anak-anak yang sedang hang, tidak mampu memusatkan perhatian saat belajar dan sulit mencerna buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang permainan yang ia pelototi di video-game. Dalam bahasa komputer, anak ini mengalami <span style="font-style:italic;">registry error</span>. Badannya ada di kelas, telinganya mendengar suara guru, tetapi pikirannya ada di play-station.<br />Ketika anak mengalami hang, ia kehilangan rasa ingin tahu. Kreativitasnya tumpul. Ia tidak betah berpikir, mencari tahu dan menekuni kegiatan yang menuntutnya berpikir aktif. Ia kehilangan gagasan dan kecemerlangan berpikir, kecuali pikiran untuk kembali menyibukkan diri dengan video-game atau tayangan TV. Pada tingkat yang parah, anak mengalami kecanduan.<br />Anak yang terlalu banyak memelototi video-game sampai pada tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.<br />Bisa juga terjadi anak pasif sekaligus impulsif. Secara sosial, mereka terputus dari lingkungan. Pada anak-anak yang tingkat kecanduannya sudah sangat akut, boleh dikata mereka tidak mempunyai kontak dengan orang lain, termasuk orangtua. Interaksinya cuma dengan benda bernama TV, play-station atau layar komputer yang menyajikan game. Mereka tidak betah berinteraksi dengan orang lain. Di saat yang sama, adegan kekerasan yang bertubi-tubi –khususnya dalam video-game—memberi efek desensitisasi. Perasaan mereka tumpul. Hati mereka keras.<br />Berapa jam waktu menonton yang sehat bagi anak? Sekitar 8 sampai 10 jam seminggu. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat. Dalam <span style="font-style:italic;">The Smart Parent’s Guide to KIDS’ TV</span>, Milton Chen menunjukkan bahwa durasi 4 jam sehari (28 jam seminggu) sudah termasuk kategori yang sangat menakutkan. Benar-benar membahayakan mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.<br />Alhasil, tak ada yang perlu kita salahkan kecuali diri sendiri kalau anak-anak kita kehilangan motivasi belajar, sementara setiap hari mereka memelototi TV enam jam sehari! Agaknya, ada benarnya ketika Fred Rogers berkata, <span style="font-style:italic;">“Barangkali televisi adalah satu-satunya peralatan elektronik yang lebih bermanfaat justru setelah dimatikan.”</span><br /><span style="font-style:italic;">Kedua,</span> cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi oleh tekanan yang mereka terima. Anak yang sering dibebani untuk mendapatkan ranking, cenderung cepat kehilangan minat. Ia belajar di bawah tekanan karena tidak ingin orangtuanya cemberut. Selebihnya, tak ada alasan yang menggerakkan jiwa untuk tekun membaca. <br />Motivasi ekstrinsik terbagi menjadi dua, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya permen yang kita berikan begitu anak menyapu, jangka panjang misalnya iming-iming pada anak kelas 4 SD kalau lulus UASBN dengan nilai tinggi akan dibelikan laptop baru. Semakin pendek dan nyata iming-iming yang kita berikan, semakin cepat kelihatan reaksinya, sekaligus semakin mudah hilang kekuatannya. Anak-anak yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik jangka pendek, ibaratnya sama dengan mobil mewah tanpa bensin. Kalau lagi didorong, jalan. Tapi kalau tak ada yang mendorong, mogok. Mobil tak bisa berjalan lagi.<br />Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, sebaliknya, merasa asyik dengan apa yang dikerjakan, menemukan kegembiraan saat menghadapi tantangan, bahagia ketika mengerjakan tugas-tugas sehingga ia terlibat penuh secara emosional. Mereka berpartisipasi melakukan kegiatan karena menemukan kegembiraan, kebahagiaan, keasyikan atau makna dari apa yang dilakukannya. Bukan demi memperoleh hadiah. Dalam tindakan itu sendiri, ada yang ia dapatkan sebagaimana pendaki gunung memperoleh kepuasan. Kebahagiaannya terletak pada kemampuannya mengatasi rintangan. Bukan pada decak kagum orang yang memandang.<br />Dalam bukunya berjudul <span style="font-style:italic;">Adolescence</span> (2001), John W. Santrock menulis bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Anak-anak yang motivasi intrinsiknya kuat cenderung lebih kreatif, kaya gagasan, senantiasa menemukan ide-ide segar –pada tahap awal adalah ide-ide permainan—serta ketertarikan yang kuat dalam melakukan berbagai aktivitas. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas dan cenderung memiliki semangat belajar mandiri yang kuat.<br />Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, betah membaca berjam-jam meskipun tidak ditunggui orangtua. Mereka merasa membaca sebagai kebutuhan. Bukan tuntutan orangtua dan sekolah.<br />Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk suatu bidang, tetapi tidak untuk bidang yang lain. Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk hampir semua bidang. Kapan saja, dimana saja dan mengerjakan apa saja, ia bersemangat. Bersungguh-sungguh ia belajar, meskipun tidak begitu menguasai.<br />Kuatnya motivasi intrinsik mampu membuat seseorang berani menghadapi kesulitan. Kisah tentang Imam Bukhari adalah kisah tentang manusia yang memiliki motivasi intrinsik luar biasa. Ia menempuh perjalanan beratus-ratus kilo, memenuhi kakinya dengan kepenatan, dan membiarkan tubuhnya disengat oleh panasnya matahari demi mendapatkan sebuah hadis. Kalau ia menginginkan harta dari penguasa, tak perlu ia menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang belum tentu ia ambil (karena hadis itu ternyata <span style="font-style:italic;">dha’if</span>, misalnya). Tetapi ada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Ada kecintaan pada agama yang membuatnya tak pernah berhenti mencari ilmu.<br />Kalau motivasi intrinsiknya sudah kuat, tanpa fasilitas yang memadai pun mereka bisa tumbuh menjadi manusia cerdas luar biasa. Nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal atau –apalagi—Abu Hurairah, bukanlah orang yang memiliki cukup sarana untuk belajar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jiwa menakjubkan. Dahsyatnya motivasi mereka untuk menolong agama membuat daya ingat mereka sangat hebat dan pikiran mereka amat jernih.<br />Kisah para penemu juga merupakan kisah tentang motivasi intrinsik yang kuat. Bukan kisah tentang banyaknya fasilitas yang mereka miliki. Orang-orang super kreatif bukanlah mereka yang memperoleh latihan gerak dengan iringan musik yang –kadang tanpa disadari guru—sensual. Pernah, saya merasa amat sedih ketika menghadiri acara tutup tahun sebuah lembaga pendidikan. Atas nama kreativitas, anak-anak disuruh lenggak-lenggok memutar badan á la peragawati, diiringi dengan alunan musik menggoda. Seorang guru berdiri di samping, di seberang panggung, untuk mengawasi sekaligus mengarahkan dengan gerak mulut dan mata.<br />Mereka lupa –atau tidak tahu—bahwa ketika seorang anak menggerakkan dadanya, lalu memperoleh tepuk tangan meriah, yang menari-nari di benaknya bukanlah <span style="font-style:italic;">“isyhadu bi anna muslimun”</span>, melainkan sensualitas. Bukan kreativitas.</span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-30757277331867456392009-08-07T13:48:00.004+07:002009-08-07T13:58:33.701+07:00Menakar Manfaat TrainingSuatu ketika sebuah sekolah meminta kesediaan saya memberi training untuk para guru dari jenjang TK sampai SLTP. Ceritanya, salah satu guru di sekolah tersebut pernah mengikuti seminar saya, lalu menceritakan pengalamannya kepada rekan sejawat dan atasan. Dari cerita inilah lembaga tersebut tergerak untuk meminta saya memberi training. Training tentang apa? Pokoknya yang bagus untuk guru. Lalu disebutkan beberapa “kebutuhan mendesak” yang ingin diatasi melalui training. Persoalannya, apakah betul masalah tersebut merupakan masalah sesungguhnya? Dan apakah betul training yang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang sedang meruyak lembaga pendidikan tersebut?<br /><span class="fullpost"><br /> Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, ketepatan memetakan masalah. Kerapkali yang hendak diselesaikan bukan akar masalah, melainkan gejala penyakitnya atau bahkan sekedar masalah ikutan yang kesekian. Jika gegabah memetakan masalah, puluhan kali training tidak akan memberi manfaat apa pun bagi para peserta dan khususnya lembaga (sekolah) yang mengundang, kecuali sekedar menambah wawasan. Bisa terjadi, tingginya frekuensi training hanya sekedar menambah pengalaman menikmati training sehingga bisa membandingkan mana trainer yang lebih menarik. Bukan meningkatkan keterlibatan emosi peserta untuk memperoleh manfaat training bagi kemajuan sekolah.<br />Kedua, ketepatan memilih bentuk training, termasuk menetapkan skala prioritas training mana yang perlu didahulukan. Kerap terjadi, sebuah lembaga mempunyai sejumlah masalah dan mediator menawarkan sejumlah paket tanpa melakukan asesmen kebutuhan terlebih dulu. Dalam hal ini mediator bisa manajer dari seorang trainer, broker training, atau training center. Berdasarkan tawaran ini, sekolah mengambil paket yang menarik. Umumnya yang diambil adalah paket training yang memperoleh reaksi paling antusias dari peserta di berbagai tempat atau kedekatan materi acara dengan masalah yang terjadi. Sekali lagi, dasar pengambilan keputusan adalah tingkat daya tarik acara. Bukan kesesuaian training dengan kebutuhan riil sekolah. Itu sebabnya sebuah training yang paling baik sekalipun bisa tidak membawa pengaruh apa-apa bagi sekolah, meskipun training dilaksanakan setiap minggu.<br />Sebelum menentukan jenis, bentuk dan materi training, sekolah perlu melakukan asesmen terlebih dulu untuk menentukan secara tepat kebutuhannya apa; peningkatan kinerja <span style="font-style:italic;">(improving current performance)</span> atau penanganan defisiensi <span style="font-style:italic;">(correcting deficiency)</span>. Sekolah yang kinerjanya tidak sehat, potensial konflik dan secara organisasi bermasalah kerapkali menemui hambatan dalam menentukan kebutuhan organisasi karena terlanjur tidak mengenali standar kinerja atau bahkan tidak memilikinya lagi. Standar kinerja dirancukan dengan target yang hendak dicapai atau bahkan visi sekolah maupun yayasan sebagai organisasi induk. Letak kekeliruan itu adalah, training yang seharusnya dimaksudkan untuk menangani defisiensi, tetapi dirumuskan sebagai peningkatan kinerja. Padahal jika masih terjadi defisiensi, maka training peningkatan kinerja tidak akan efektif. Sesering apa pun dilakukan, training tetap saja cuma menjadi hiburan yang menyedot banyak biaya.<br />Training untuk memperbaiki defisiensi apabila kinerja sekolah tidak sesuai dengan standar yang ada saat ini. Jika sebuah sekolah belum memiliki standar, maka ini sudah menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki masalah serius dalam defisiensi kinerja, sehingga apa pun trainingnya harus bertujuan mengoreksi defisiensi. Bukan meningkatkan kinerja. Sebab training yang dirancang untuk meningkatkan kinerja tidak akan membawa hasil yang sesuai. Bahkan boleh jadi tidak membawa perubahan apa pun selain pengalaman menikmati kegiatan ice breaking berupa game yang menarik.<br />Jika training yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan lembaga (sekolah), berikutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi pasca training. Apa saja itu? Pertama, reaksi peserta begitu training usai sampai beberapa saat berikutnya. Kedua, pembelajaran apa yang telah terjadi. Ini meliputi pengetahuan apa yang telah dipelajari, keterampilan apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, serta sikap apa saja yang berhasil diubah melalui training. Ketiga, evaluasi terhadap perilaku pasca training. Evaluasi perilaku ini menitikberatkan pada perubahan perilaku yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah training sampai pada kurun waktu tertentu. Apakah perubahan perilaku tersebut bersifat sesaat <span style="font-style:italic;">(immediate effect)</span>, jangka pendek <span style="font-style:italic;">(short term effect)</span> ataukah membawa perubahan perilaku yang berkelanjutan. Keempat, evaluasi hasil. Ini berkait dengan peningkatan kualitas apa yang terjadi akibat training, seberapa besar produktivitas meningkat, apa keuntungan teraba <span style="font-style:italic;">(tangible benefits)</span> dari training serta berbagai pertanyaan penting lainnya.<br />Satu hal lagi. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa training yang dilaksanakan sekolah hanya memberi efek sesaat atau bahkan hiburan semata, maka ini merupakan peringatan agar Anda menghentikan atau meninjau kembali training yang Anda pilih. Tetapi jika hasilnya sangat positif, sebuah PR menanti Anda. Hasil yang bagus itu dalam waktu yang tidak lama akan hilang bekasnya jika tidak dikelola dengan baik. Perlu ada tindak-lanjut yang kongkret, positif dan berkelanjutan. Tidak lanjut ini bukan berarti menyelenggarakan training berikutnya, tetapi merumuskan langkah yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Boleh jadi, hasil dari salah satu rumusan itu adalah menyelenggarakan training lagi. Hanya saja, training yang seperti apa? Kembali lagi, Anda perlu melakukan asesmen kebutuhan training.<br />Nah, bagaimana dengan training Anda?</span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-15742919686726086322009-06-06T00:28:00.004+07:002009-06-06T00:42:28.688+07:0011 Faktor Keberhasilan SiswaBaik,mari kita buka <span style="font-weight:bold;">What Works in Schools:</span> <span style="font-style:italic;">Translating Research into Action </span>yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.<br /><span class="fullpost"><br /> Lalu apa yang bisa kita petik dari <span style="font-style:italic;">What Works in Schools</span>? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.<br />Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:<br /><span style="font-weight:bold;">Sekolah.</span> <span style="font-style:italic;">Faktor pertama</span> yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukan <span style="font-style:italic;">drilling</span>. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.<br /><span style="font-style:italic;">Kedua,</span> tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif <span style="font-style:italic;">(challenging goals and effective feedback)</span>. Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.<br />Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.<br /><span style="font-style:italic;">Ketiga,</span> keterlibatan orangtua dan komunitas. Ini bagian yang sangat penting. Keberhasilan program pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya. Keselarasan antara sekolah dan orangtua berperan besar dalam mempersiapkan anak meraih sukses. Itu sebabnya, sekolah perlu memiliki program yang secara khusus dirancang untuk membekali orangtua agar memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh anak serta keselarasan komunikasi dengan sekolah. Pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh bisa diberikan oleh sekolah melalui kegiatan-kegiatan seperti <span style="font-style:italic;">parenting skill class, in house workshop</span> atau berbagai bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan keselarasan komunikasi bisa dibangun melalui kegiatan <span style="font-style:italic;">family gathering, breakfast with headmaster</span>, atau blog dan milis orangtua yang dikelola oleh sekolah bersama komite sekolah.<br />Kegiatan <span style="font-style:italic;">breakfast with headmaster</span> (sarapan bersama kepala sekolah) misalnya, bisa menjadi forum dimana orangtua dapat menyampaikan masukan dan protes secara terbuka. Sebaliknya sekolah bisa menyampaikan harapan maupun kebijakan kepada orangtua secara akrab. Melalui forum semacam ini, ganjalan bisa ditiadakan, komplain bisa segera ditangani dan orangtua tidak perlu melontarkan kritik di depan anaknya. Yang terakhir ini, selain tidak produktif, juga menyebabkan kepercayaan <span style="font-style:italic;">(trust)</span> siswa kepada guru bisa melemah. Padahal kepercayaan merupakan kunci sangat penting bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di kelas.<br /><span style="font-style:italic;">Keempat,</span> lingkungan yang aman dan teratur. Lingkungan yang aman memberi ketenangan bagi staf, guru dan siswa. Sedangkan keteraturan memudahkan siswa beradaptasi dengan peraturan sekolah, peraturan kelas, harapan guru serta keragaman teman. Sedangkan bagi guru, keteraturan memudahkan proses memunculkan perilaku yang diharapkan (expected behavior) dari siswa. Keteraturan juga memudahkan guru membentuk pola belajar.<br /><span style="font-style:italic;">Kelima,</span> kolegialitas dan profesionalisme <span style="font-style:italic;">(collegiality & proffesionalism)</span>. Hubungan yang bersifat kolegial antara guru dengan guru lain, guru dengan kepala sekolah, staf maupun manajemen berperan besar menciptakan komunitas yang bersahabat, akrab, saling menghormati dan saling mendukung. Pada gilirannya, ini sangat menunjang keberhasilan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, terutama dalam menciptakan iklim sekolah (school climate) yang hangat dan saling mendukung.<br />Tentu saja hangatnya hubungan antar guru dan unsur lain di sekolah tidak boleh mengabaikan tugas pokok mereka masing-masing. Itu sebabnya, kolegialitas harus berjalan seiring dengan profesionalisme.<br />Nah.<br />***<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Guru. </span>Ini merupakan aspek yang paling menentukan. Studi yang dilakukan oleh Marzano menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun sekolahnya di bawah rata-rata, bahkan sangat tidak efektif. Lebih-lebih jika guru maupun sekolah sama-sama efektif, pengaruhnya akan lebih dahsyat. Sebaliknya, meskipun sekolah terbilang bermutu, prestasi siswa akan merosot jika guru tidak efektif. Artinya, peran guru dalam menciptakan keberhasilan siswa betul-betul sangat menentukan.<br />Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dari aspek guru. <span style="font-style:italic;">Pertama, </span>strategi instruksional. Ini berkait dengan kecakapan guru menyampaikan materi di depan kelas. Ada 9 aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan menyampaikan materi. Tetapi kita belum bisa mendiskusikannya saat ini.<br /><span style="font-style:italic;">Kedua,</span> kecakapan mengelola kelas <span style="font-style:italic;">(classroom management)</span>. Ada empat aspek yang terkait dengan manajemen kelas, yakni penerapan dan penegakan aturan di kelas, strategi pendisiplinan siswa, menjaga dan memperkuat hubungan yang baik antara guru dengan siswa, serta merawat dan menguatkan sikap mental siswa.<br />Faktor kedua ini sebenarnya perlu pembahasan yang sangat panjang, tetapi kali ini rasanya cukup sampai di sini mengingat kesempatan yang sangat terbatas. InsyaAllah pada lain kesempatan bisa kita perbincangkan secara lebih serius, termasuk terkait dengan bagaimana mengelola anak-anak dengan perilaku bermasalah agar mereka bisa belajar dengan normal sebagaimana yang lain dan tidak mengganggu teman sekelasnya tatkala mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.<br /><span style="font-style:italic;">Ketiga,</span> desain kurikulum kelas. Ini berkait dengan bagaimana guru merancang kegiatan di kelas secara terstruktur agar tujuan pembelajaran di kelas secara keseluruhan dapat tercapai. <br />***<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Siswa. </span>Ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni lingkungan rumah, kecerdasan yang dipelajari atau pengetahuan yang melatarbelakangi serta motivasi. Saya berharap kita bisa berbincang tentang motivasi siswa secara lebih serius pada lain kesempatan.<br />Semoga bermanfaat. <br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-43963782059330441372009-03-28T04:05:00.003+07:002009-03-28T04:17:33.091+07:00Bekerja untuk BerbagiInilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam </span>bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”<span class="fullpost"><br /><br /> Maka Abu Bakar <span style="font-style:italic;">radhiyallahu ‘anhu </span>menjawab, “Aku.”<br />“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam </span>bertanya lagi.<br />Maka Abu Bakar <span style="font-style:italic;">radhiyallahu ‘anhu </span>kembali menjawab, “Aku.”<br />Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”<br />Maka Abu Bakar <span style="font-style:italic;">radhiyallahu ‘anhu </span>menjawab, “Aku.” <br />Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”<br />Abu Bakar menjawab, “Aku.”<br />Maka Rasulullah <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam </span>bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.”<span style="font-weight:bold;"> (HR. Muslim).</span><br />Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.<br />Allah <span style="font-style:italic;">Ta’ala</span> berfirman, “<span style="font-style:italic;">Alif laam miim.</span> Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” <span style="font-weight:bold;">(QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).</span><br />Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.<br />Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.<br />Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.<br />Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.<br />Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. <span style="font-style:italic;">Pertama,</span> memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. <span style="font-style:italic;">Kedua,</span> kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. <span style="font-style:italic;">Ketiga,</span> kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.<br />Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.<br />Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.<br />Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.<br />Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.<br />Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-27232557503195755782009-03-18T00:57:00.003+07:002009-03-18T01:07:54.297+07:00Sukses Ujian!<span style="font-weight:bold;">Fantastis!</span> Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional. Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.<span class="fullpost"><br /><br /> Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, <span style="font-style:italic;">Exam Success</span> (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.<br />Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Positive Frame of Mind</span><br />“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang diperlukan untuk sukses menghadapi ujian, dengan mengabaikan adanya bimbingan belajar dan proses latihan mengerjakan soal yang bersifat terus-menerus, terlebih dulu kita harus memastikan bahwa anak-anak kita –juga guru dan orangtua—memiliki kerangka berpikir yang positif terhadap ujian. Sama realitas yang dihadapi, beda cara pandangnya, akan beda pula dampaknya bagi anak dalam menghadapi ujian nasional.<br />Berkenaan kerangka berpikir positif ini, ada empat masalah yang perlu kita diskusikan. <span style="font-style:italic;">Pertama,</span> kecemasan menghadapi ujian (test anxiety). Ini masalah pertama yang kerap menyebabkan anak-anak cerdas tak berdaya menghadapi soal ujian yang paling mudah sekalipun. Ibarat kaki, kecemasan menghadapi ujian membuat anak-anak lumpuh tak berdaya. Tetapi pada kadar tertentu, kecemasan bermanfaat meningkatkan gairah dan kesungguhan belajar anak sehingga ujian terasa begitu menantang. Bukan menakutkan. Kecemasan pada tingkat ini justru meningkatkan prestasi siswa (Hembree, 1988).<br />Ini berarti, guru maupun orangtua bertugas menjaga kadar kecemasan anak agar tidak melebihi ambang batas.<br />Tetapi bagaimana mungkin guru dan orangtua mampu menjalankan tugas tersebut jika mereka memandang ujian nasional terlalu penting? Sebegitu pentingnya, sampai-sampai mereka sendiri menghadapi kecemasan yang jauh lebih menakutkan dibanding anak-anak. <br /><span style="font-style:italic;">Kedua,</span> kendali emosi pasca ujian. Setelah ujian usai, atau dalam istilah McIlroy after the horse has bolted, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali dan mengoreksi kekeliruan yang terjadi selama ujian. Kita juga tidak bisa memperbaiki dan meminta orang lain menambahkan jawaban yang baru teringat sekarang jawabannya, meskipun 100% kita tidak nyotek. Situasi ini jika tidak terkendali akan menimbulkan kekhawatiran dan menjadi pemicu bagi patah semangatnya anak. Lemahnya kendali emosi pasca ujian juga bisa menyebabkan anak kehilangan gairah belajar, mengalami kecemasan yang sangat tinggi atau anjlok sikap optimisnya menghadapi ujian sehingga kehilangan kemampuan puncaknya dalam menghadapi ujian yang tersisa.<br /><span style="font-style:italic;">Ketiga,</span> umpan balik dari ujian. Masalah ketiga ini umumnya bersumber dari guru!! Sangat sering terjadi, guru tidak memberi umpan balik sama sekali terhadap ulangan harian maupun ujian semester. Paling-paling guru hanya membahas soal yang diujikan. Atau yang sedikit lebih baik, guru memberi umpan balik secara umum. Tetapi tidak memberi umpan balik yang bersifat personal. <br />Apa pengaruhnya? Tidak adanya umpan balik menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk:<br />1. Mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering terjadi pada dirinya ketika menghadapi ujian.<br />2. Mengembangkan ujian diagnosis untuk melacak kelemahan anak.<br />3. Memberi perhatian pada strategi ujian yang efektif untuk membantu mengambil tindakan yang tepat sebelum ujian.<br />4. Guru dan orangtua kehilangan kesempatan menyiapkan latihan <span style="font-style:italic;">(exercises)</span> yang merangsang anak belajar lebih cerdas dan lebih serius, sehingga kita tidak perlu lagi memberikan latihan yang bersifat <span style="font-style:italic;">drilling</span>.<br /><span style="font-style:italic;">Keempat,</span> merasa terisolasi. Ketika anak sedang menghadapi ujian, kerapkali mereka merasa sendiri dan terisolasi. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.<br />Merupakan tugas guru maupun orangtua untuk menyiapkan mental anak agar mereka merasa nyaman dengan ujian. Meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri, ada orangtua yang mendukung mereka secara tulus dan menerima apa adanya, ada sekian banyak teman yang mengharapkan kesuksesannya, dan ada masa depan yang menanti untuk sebuah kesempatan belajar yang lebih baik, serta berbagai aspek mental lain sangat bermanfaat bagi anak dalam meraih sukses. Dan ini sebaiknya kita berikan jauh sebelum mereka ujian. Jika persiapan mental kita berikan secara terpadu dengan proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun, maka ujian nasional seharusnya merupakan pesta kecil yang dinanti. Bukan bencana besar yang mengerikan.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />***</span><br />Kalau kita perhatikan, empat masalah tersebut semuanya berkait dengan sikap mental. Ini berarti bahwa penyiapan mental anak menghadapi ujian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka. Kesiapan mental juga mempengaruhi gairah belajar dan tingkat kesungguhan dalam berusaha.<br />Secara sederhana, kita bisa memacu munculnya sikap mental positif secara cepat melalui berbagai program instant. Tetapi ini cukup melelahkan dan beresiko. Sikap mental positif yang melejit secara cepat akan beresiko menyebabkan mereka secara mental juga akan terhempas sampai pada titik nadir tatkala mereka gagal meraih target yang diimpikan. Selain itu, mereka juga cenderung kurang siap menghadapi situasi yang mengejutkan. Ini sangat berbeda dengan pembentukan sikap mental positif melalui proses edukasi yang bersifat jangka panjang, terstruktur dan terencana.<br />Nah, mana yang Anda pilih? (<span style="font-weight:bold;">Mohammad Fauzil Adhim,<a href="http://sekolah-laris.blogspot.com"></a></span> SchoolMarketing).<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-70751336882600343032009-01-11T21:22:00.004+07:002009-01-11T21:31:17.679+07:00Nyanyian untuk Anak KitaAnak-anak yang keras itu, dengan apakah kita melembutkan hatinya?<br />Dulu saya percaya seni bisa melunakkannya. Tetapi tak ada satu pun jaminan ilmiah, tidak juga jaminan dari Allah <span style="font-style:italic;">Ta’ala</span> bahwa seni akan melembutkan jiwa, menghaluskan budi, mengasah kepekaan anak-anak maupun orang dewasa untuk lebih hidup empatinya kepada sesama. Tak ada satu pun bukti ilmiah bahwa musik dengan sendirinya, secara pasti akan membuat anak-anak lebih cerdas, perkembangan emosinya lebih baik dan jiwanya lebih hidup. Sebagaimana bukan seni yang bisa membahagiakan manusia.<span class="fullpost"><br /><br /> Musik memang bisa menghibur, tetapi bukan membahagiakan. Sejumlah riset memang menunjukkan bahwa rangsangan musik klasik merangsang kecerdasan anak, terutama yang masih bayi. Tetapi tidak dengan sendirinya setiap musik klasik mencerdaskan. Musik klasik yang variasi ritmenya dinamis memberi rangsang otak yang lebih kaya dibanding musik klasik yang tenang. Ini senada dengan riset Bradley & Caldwell bahwa ibu yang “ramai”, banyak mengajak bayinya bicara, akan mampu meningkatkan kecerdasan si bayi secara mengesankan. Paul Madaule, penulis buku <span style="font-style:italic;">Earobics</span>, memperkuat hal ini. Ia menunjukkan bahwa suara ibu merupakan gizi terbaik untuk jiwa dan pikiran bayi.<br />Merujuk catatan Bradley & Caldwell, sering-seringlah mengajak bayi Anda ngobrol, dan berbicaralah kepadanya dengan “meriah” jika Anda ingin punya anak cerdas. Banyak-banyaklah menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang, ceritakan kepadanya apa yang sedang Anda lakukan dan tunjukkanlah apa yang ada di sekelilingnya agar otaknya berkembang pesat. Sampaikan kepadanya pesan-pesan Anda karena masa komunikasi pra-simbolik (sebelum anak bisa berbicara) sangat mempengaruhi perkembangan pikiran dan emosi anak di waktu-waktu berikutnya.<br />Jika ini Anda lakukan, manfaatnya akan jauh lebih besar dibanding musik klasik yang Anda perdengarkan kepadanya. Apalagi yang sekedar senandung tanpa makna, meskipun itu lagu anak-anak. Sebab banyak lagu anak-anak yang tidak bergizi bagi jiwa anak. <br />Saya bukan mengatakan bahwa seni tidak bisa memberi manfaat. Tetapi harus kita perhatikan bahwa tidak dengan sendirinya setiap seni, setiap musik dan bahkan setiap lagu anak-anak bermanfaat untuk memberi rangsangan kecerdasan yang memadai serta sentuhan emosi yang positif. Sebagian lagu anak-anak justru merusak kemampuan berpikir logis matematis mereka. Lagu berikut ini contohnya:<br /> <br /> <span style="font-style:italic;">“Anak monyet di atas pohon. Anak kelinci di bawah tanah. <br /> Anak burung di dalam sangkar. Anak pintar di meja belajar.<br /> Panjang leher namanya Zebra. Panjang hidung namanya gajah. <br /> Panjang tangan itu pencuri. Panjang sabar, kekasih Ilahi.”<br /></span><br />Ini berarti bahwa kita selaku orangtua maupun guru harus memperhatikan apa yang kita berikan pada anak-anak kita. Perlu ilmu untuk menjadi orangtua, sebagaimana untuk menjadi seorang guru kita juga harus memiliki ilmu yang memadai agar tidak cuma mengaminkan apa yang dikatakan orang tentang bagaimana harus mendidik anak. Atas pendapat yang tampaknya benar, kita perlu tahu dasar ilmunya agar tidak bertindak gegabah.<br />Hari ini saya merasakan hal itu!<br />Kita merasa “keliru” hanya karena tidak mengikuti apa yang “umum” dan yang “umumnya dianggap benar”. Padahal tak ada ilmu yang kita miliki. Salah satu contohnya ya tentang seni tadi. Banyak dari kita mengangguk-anggukkan kepala begitu saja, menganggap benar bahwa menyanyi dengan sendirinya akan melembutkan jiwa, menghaluskan perasaan dan membaguskan budi. Padahal sudah banyak pelajaran di sekeliling kita tentang bagaimana seorang penyanyi harus mengakhiri hidupnya karena tak kuat menahan beban mental. Stress.<br />Banyak pula yang terlalu menyederhanakan persoalan bahwa gejolak remaja akan terselesaikan apabila mereka menyalurkan energinya dengan olah raga. Padahal sebagian jenis olah raga justru memperkuat syahwat.<br />Tampaknya kita perlu lebih cerdas menjadi orangtua. Tentu saja bukan dengan menolak apa saja tanpa ilmu, sebab ini sama buruknya dengan menerima apa saja karena ikut-ikutan. Di antara bentuk kesenian, juga ada yang bermanfaat untuk melembutkan jiwa. Sebagaimana olahraga juga banyak manfaatnya. Bukankah Rasulullah saw. menganjurkan kita untuk mengajari anak-anak kita berenang, memanah dan berkuda?<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-40147254931490891002009-01-09T13:15:00.006+07:002009-01-09T13:31:44.156+07:00Awalnya Pikiran KitaAda benarnya nasehat Frank Outlaw. Ya, hati-hati dengan pikiranmu karena akan menjelma menjadi kata. Hati-hati dengan kata-kata yang kau ucapkan karena akan melahirkan tindakan. Hati-hati dengan tindakan-tindakanmu karena akan membentuk kebiasaan. Hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan menentukan karaktermu. Dan, awas, perhatikan karaktermu karena akan menentukan nasibmu.<span class="fullpost"><br /><br />Mari kita ingat ungkapan terkenal Frank Outlaw sebelum kita lanjutkan perbincangan ini. Kata Outlaw, <span style="font-style:italic;">“Watch your thoughts; they become words. Watch your words; they become actions. Watch your actions; they become habits. Watch your habits; they become character. Watch your character; it becomes your destiny.”</span> <br />Sesungguhnya, tak pedang yang tajamnya melebihi ucapan kita. Ia mampu membelah dada anak-anak kita, atau membangkitkan kekuatan jiwanya sehingga tak ada yang ia takuti kecuali Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span>. Ucapan kita dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan anak-anak kepada kita dan kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Baiknya buruknya kehidupan anak-anak kita, lisan kitalah yang menentukan. Sebab dari kata akan lahir tindakan, dan tindakan yang terus menerus akan melahirkan kebiasaan. Jika kata itu keluar melalui pemikiran yang jernih dan matang, ia akan mampu melahirkan karakter pribadi anak yang sangat kuat; menghunjam dalam dada, mewujud dalam sikap yang jelas dan tindakan yang mengesankan.<br />Maka, marilah kita memohon ampun kepada Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> atas ucapan-ucapan kita yang tidak dibimbing kebenaran. Semoga atas kesalahan kita dalam berbicara, Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> berikan ampunan. Semoga pula Allah meluruskan ucapan-ucapan kita yang salah kepada anak-anak kita. Sungguh, kalau Allah tidak memberikan ampunan dan pertolongan-Nya, maka tak ada yang bisa kita harapkan atas diri kita dan anak-anak kita.<br />Allah <span style="font-style:italic;">subhanahu wa ta’ala</span> berfirman, ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” <span style="font-weight:bold;">(QS. An-Nisaa’, 4: 9).</span><br />Mari kita lihat, betapa dekat kaitannya antara menguatkan generasi dengan menjaga ucapan. Allah Ta’ala berikan dua kunci saja agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita; yakni bertakwa <span style="font-style:italic;">(fal yattaqullah)</span> dan berbicara dengan perkataan yang benar <span style="font-style:italic;">(wal yaquulu qaulan sadiida)</span>.<br />Hanya dua ini? Ya. Hanya dua inilah kunci pokok menyiapkan generasi agar mereka tak hanya cerdas otaknya, lebih penting dari itu bangkit jiwanya; Agar mereka tak hanya cerdas emosinya, lebih mendasar lagi kuat imannya kokoh jiwanya. <br />Hanya dua ini. Tetapi dari dua ini, jika kita mampu melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, akan lahir kebaikan-kebaikan berikutnya. Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> akan baguskan amal-amal kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Sungguh, terhapusnya dosa pada diri kita dan orang-orang yang ada di rumah kita akan memancarkan keteduhan, ketenangan, kebaikan dan semangat untuk terus-menerus memperbaiki diri meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Rasa saling percaya dan merasa tenteram dengan kehadiran masing-masing anggota keluarga, akan lebih kuat terasa dalam diri kita. Dan inilah jalan membangun kekompakan. Ini pula jalan untuk membangun kekuatan ruhiyah kita, sebab ruh itu seperti pasukan tentara. Ia akan segera menyatu dengan ruh kawannya (ruh yang sama).<br />Kesenjangan komunikasi antar generasi –antara orangtua dengan anaknya yang mulai beranjak remaja, misalnya—kerapkali bukan soal kesenjangan wawasan, tetapi karena jauhnya perbedaan ruhiyah antar mereka. <br />Belajar tentang teknik berkomunikasi dengan anak memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah penggerak komunikasi yang ada dalam hati kita. Harus kita bedakan antara yang pokok <span style="font-style:italic;">(taqaddum)</span> dan yang bersifat turunan atau derivat <span style="font-style:italic;">(ta-akhkhur)</span>; antara teknik berkomunikasi dengan prinsip utama komunikasi antara orangtua dan anak.<br />Ingin sekali saya berbincang tentang masalah penting ini: berbicara dengan perkataan yang benar <span style="font-style:italic;">(qaulan sadiida)</span> dan yang menjadi pijakan sangat menentukan, yakni bertakwa kepada Allah<span style="font-style:italic;"> ‘Azza wa Jalla</span>. Tetapi saya dapati diri saya belum termasuk orang-orang yang bertakwa. Saya hanyalah orangtua dari lima orang anak –setidaknya sampai hari ini—yang sedang memancang keinginan untuk bertakwa dengan sebenar-benar takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar <span style="font-style:italic;">(qaulan sadiida)</span> kepada anak-anak saya.<br />Hampir tak ada yang bisa saya uraikan kepada Anda tentang bagaimana berbicara yang benar pada anak akan membangkitkan kepercayaan mereka kepada kita, sehingga ucapan-ucapan kita akan mereka dengarkan dengan sepenuh hati. Karna itu, izinkan saya menutup perbincangan ini dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab:<br /><span style="font-style:italic;">“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar <span style="font-weight:bold;">(qaulan sadiida)</span>, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”</span> <span style="font-weight:bold;">(QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).</span><br />Begitu. Awalnya dari pikiran kita; pikiran yang mempengaruhi ucapan. Penjaganya adalah hati kita; <span style="font-style:italic;">fujur </span>(menyimpang dari kebenaran) atau takwa.<br /><span style="font-style:italic;">Wallahu a’lam bishawab</span>.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-53236265527157658622009-01-08T17:03:00.003+07:002009-01-08T17:07:44.350+07:00Solilokui Pagi Hari<span style="font-style:italic;">Astaghfirullahal ‘adzim</span>.<br />Telah terjaga tubuh ini, ya Allah di pagi yang matahari bersinar cerah mengikuti perintah-Mu. Telah terbangun badan ini dari pembaringan membuai mimpi. Telah terbelalak pula mata ini menyaksikan irama alam yang Engkau ciptakan. Tetapi jiwa ini, ya Allah, rasanya masih lelap dengan tidurnya. Di luar sana, di negeri tempat cucu nabi-Mu Engkau wafatkan, ratusan saudara kami meneteskan darah dari matanya. Tapi tak sedikit pun dada kami terguncang.<span class="fullpost"><br /><br /> Telah terbentang lebar mata ini menikmati pagi yang burung-burung Engkau jadikan berkicau merdu, indah terdengar di telinga. Di pagi ini, ya Allah, kami duduk menikmati berita tentang saudara-saudara kami yang dicungkil matanya oleh tentara Amerika. Bagai sebuah pesta, kami asyik memandangi foto-foto saudara kami yang ditelanjangi tubuhnya, disengat listrik kemaluannya, dikuliti tubuhnya seperti jagal yang menguliti seekor kambing yang hendak diperdagangkan dagingnya, sembari pada saat yang sama kami belajar demokrasi ke negeri para penyiksa itu. Kepada kaum barbar itu, kami belajar hak asasi dan kemanusiaan, sambil mengutuk setiap anak kecil Palestina yang melempari tentara Israel dengan batu kecil, semata demi mengharapkan berhentinya sebuah tank besar yang kemarin telah membunuh bapaknya.<br />Alangkah segar pagi ini, ya Allah. Engkau ciptakan kesempurnaan alam yang indah. Sinar matahari menyemburat di cela-cela dedaunan, sebagaimana darah perempuan-perempuan muslimah di Irak menyemburat dari daun telinga mereka. Hari ini, mereka tak lagi mengenal kata sakit karena gigi yang patah, sebab yang sekarang mereka rasakan sebagai derita adalah tusukan bayonet di tubuh oleh tentara yang pergi ke sana untuk menciptakaan negeri yang damai. Para wanita itu harus kehilangan giginya dan juga biji matanya hanya karena mereka tak mau berhenti menangisi suaminya yang mati. Di sini, kami belajar dari negeri yang barbar itu, bahwa setiap bentuk kemarahan seorang Muslim yang tidak rela ditindas adalah terorisme, meskipun mereka hanya melempar sebiji kerikil ke pesawat tempur yang sedang diparkir.<br />Saudara-saudara kami disiksa, ya Allah, oleh tentara-tentara Amerika yang baik hati. Hati kami marah, ya Allah, dan membicarakannya bersama keluarga sambil menik¬mati sedapnya kopi instant panas buatan pendukung Yahudi. Kami kutuk mereka, ya Allah, sambil kami belanjakan uang kami kepada sahabat-sahabat mereka dengan bangga. Kami lakukan itu dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya demi merebut sepotong kenikmatan yang memanjakan lidah, sementara anak-anak yang baru lahir di Palestina tak lagi bisa mengeluarkan airmata.<br />Ya Allah, sekali waktu kami masih punya rasa malu. Tetapi untuk bertindak yang lebih jauh, tak ada pemimpin yang dapat kami tiru. Orang-orang pintar di sekeliling kami, masih sibuk bertengkar berebut kekuasaan. Sedangkan orang-orang yang menyandang banyak gelar besar, hanya pandai berkelakar daripada memikirkan masalah dengan benar. Ataukah kami ini ya Allah yang keliru menilai pemimpin-pemimpin kami? Kami mengira mereka pemimpin sejati, padahal sesungguhnya adalah pemimpi yang sibuk memperjuangkan kursi. Adapun nasib kami ini ya Allah, atau lebih-lebih saudara kami yang hampir mati itu ya Allah, tergantung apa kata Tuan Besar yang menentukan hitam-putihnya hak asasi dan kemanusiaan.<br />Ya Allah…, ataukah di dalam tubuh kami yang sehat dan mata kami yang dapat melihat dengan amat jelas, sesungguhnya hati kami buta, tuli dan bisu sehingga kami tak dapat mendengar suara-suara saudara kami yang nyata-nyata sedang disiksa oleh Polisi Dunia? Ataukah <span style="font-style:italic;">‘ízzah </span>–harga diri—kami yang telah runtuh sehingga kami tak tahu kebenaran yang harus kami suarakan hanya karena penderitaan itu bukan kami sendiri yang mengalami? Ataukah iman kami yang sedang sakit, sehingga tidak merasa takut dengan peringatan nabi-Mu?<br />Sungguh, nabi-Mu pernah mengingatkan kami, ya Allah. Nabi-Mu pernah bersabda sebagaimana kuketahui dari Adz-Dzahaby dalam Al-Kabaairnya, “Allah melaknat orang yang membiarkan seorang Muslim dalam kesulitannya dan tidak membantunya.”<br />Hari ini, mereka bukan hanya dalam kesulitan. Mereka dalam penderitaan dan penyiksaan. Sementara kami di sini asyik membantu musuh-musuh mereka dengan membelanjakan uang kami untuk para penyiksa itu.<br />Ampunilah kami, ya Allah… meski kami masih sering lupa.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-7679002199140864782009-01-08T09:11:00.002+07:002009-01-08T09:14:13.966+07:00Tidak Ada Tuhan Kecuali AllahSeperti seruan adzan, awalnya mengagungkan Allah dan mengakui kebesarannya. Permulaannya kesaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sesudah itu seruan untuk menegakkan shalat dan merebut kemenangan. Sedangkan ujungnya adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.<br /><br />Seperti itu juga seharusnya hidup kita….<br /><span class="fullpost"><br /><br /> Awalnya kita bergerak untuk mengagungkan Allah. Setiap jengkal bumi ini, di setiap sudut kampung-kampung dan negeri, harus kita penuhi dengan takbir. Takbir dengan lisan kita dengan menyebut Allahu akbar. Hanya Allah Yang Maha Besar dan Maha Lebih Besar. Tak ada kebesaran yang melebihi kebesaran-Nya. Tak ada tempat bagi kita untuk menganggap kecil orang lain, karena kita melihat pada pencipta-Nya. Sebaliknya, tak ada yang layak kita besar-besarkan atas orang-orang yang membesarkan dirinya di hadapan manusia, karena sebesar apa pun mereka, sesungguhnya Allah Maha Besar.<br />Berangkat dari kesadaran bahwa hanya Allah Yang Maha Besar, kita menyatakan kesaksian (syahadat) dengan lisan dan hati kita. Kemudian kita mengarahkan diri kita, pikiran kita, hati kita dan tindakan kita agar apa pun yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menyembah Allah. Bukankah kita diciptakan untuk menyembah-Nya?<br />Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” <span style="font-weight:bold;">(QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 56-58).<br /></span>Karenanya, kita perlu berupaya agar seluruh aktivitas dan hidup kita memmpunyai nilai ‘ibadah. Tidaklah kita shalat kecuali untuk Allah. Tidaklah kita mati kecuali untuk Allah. Dan kesadaran ini harus kita hidupkan dalam diri kita. Jika tidak, shalat yang kita lakukan pun bisa terlepas dari kebaikan. Betapa banyak orang yang tampaknya sedang mengagungkan Allah dan menyungkurkan keningnya ke tanah, tetapi sesungguhnya ia sedang menyibukkan diri dengan dunia. Ia basahi lisannya dengan takbir, tetapi ia penuhi hatinya dengan dunia.<br /><span style="font-style:italic;">Astaghfirullahal ‘azhiim</span>. Atau jangan-jangan, kitalah yang lebih banyak lupa daripada ingat, yang lebih banyak menyibukkan diri dengan dunia daripada menyempatkan berpikir akhirat.<br />Ah, agaknya kita perlu mengingat kembali firman Allah <span style="font-style:italic;">subhanahu wa ta’ala </span>dalam surat Al-An’aam ayat 162-163:<br />“Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".<br />Tentu saja ayat ini bukan untuk memalingkan kita dari dunia dan tidak memedulikannya. Tetapi agar seluruh yang kita lakukan, termasuk kerja keras kita dalam mencari nafkah, semata-semata untuk Allah. Kita menggenapi apa yang diperintahkan, menunaikan apa yang diserukan-Nya dan mempergunakan apa yang ada pada kita untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi.<br />Boleh jadi hari-hari kita penuh dengan kesibukan, sehingga seakan-akan seluruh hidup kita untuk dunia. Tetapi jika ia jadikan itu semua untuk memuji dan menyembah-Nya, mematuhi aturan-Nya dan tidak menentang perintah-Nya, maka ia terhitung sedang melakukan ketaatan.<br />Saya teringat dengan sebuah hadis. Rasulullah saww. bersabda, “Allah kagum kepada seseorang yang menggembala kambingnya di atas gunung. Ia azan dan melaksanakan shalat. Allah berfirman, “Lihatlah oleh kalian (wahai para malaikat) hamba-Ku itu! Ia azan dan shalat. Ia takut kepada-Ku. Aku mengampuni dosanya dan aku akan memasukkannya ke dalam surga.”” <span style="font-weight:bold;">(HR. Abu Dawud, An-Nasa’ie & Ahmad).<br /></span>Hari ini, ketika iman kita terasa amat lemah, semoga kita dapat menggerakkan diri kita untuk menuju ketaatan hanya kepada-Nya. Semoga ujung hidup kita adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.<br />Ya, tidak ada tuhan kecuali Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span>. <br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-77214739702343957732009-01-08T09:07:00.002+07:002009-01-08T09:10:43.619+07:00Setetes Darah Istri TercintaSubuh itu kami baru saja menikmati sahur pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya. Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.<span class="fullpost"><br /><br /> Bu Sri mendampingi beberapa saat. Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata yang hampir menetes.<br />Saya ingin sekali rasanya berlari memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya lahir. Seorang laki-laki. Saya namai ia Muhammad Husain, agar kelak ia menjadi orang yang pengasih kepada sesama manusia sebagaimana akhlak Rasulullah saw. dan cucunya, Al-Husain. Dan kutambahkan di belakangnya nama As-Sajjad agar ia menjadi orang yang banyak bersujud. Biarlah malam-malamnya nanti banyak ia habiskan untuk bersyukur dan menyembah-Nya. Biarlah ia menjadi orang yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Sehingga, lengkaplah namanya menjadi <span style="font-weight:bold;">Muhammad Husain As-Sajjad</span>.<br />Tidak sedih, tidak gembira. Hanya perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya. <br />Diam-diam kupandangi anakku. Ingin kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku <span style="font-style:italic;">Bersikap terhadap Anak </span>(Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).<br />Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “… hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.<br />Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi. Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.<br />Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak. <br />Kedekatan psikis <span style="font-style:italic;">(attachment)</span> antara ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian. <br />Saya tidak tahu apakah istri saya lebih bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan Anda. Bagaimana?<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-36292850827611862742009-01-07T23:28:00.002+07:002009-01-07T23:34:59.137+07:00Merenungi Penciptaan AlamAda perbedaan yang sangat tipis antara berpikir dan mempertanyakan. Berpikir menuntun kita memperoleh jawaban menyeluruh yang matang dan mendalam, sehingga berguna bagi kita dalam bersikap dan menentukan tindakan. Semakin matang jawaban yang kita peroleh akan semakin baik kita memahami segala sesuatu, sehingga semakin menyadarkan bahwa sangat banyak hal yang belum kita pahami. Ini berarti semakin tinggi ilmu kita justru semakin menyadarkan betapa sedikit ilmu yang kita miliki, semakin tahu letak ketidaktahuan kita, sehingga atas apa-apa yang kita belum memiliki ilmunya, kita tidak menafikannya.<span class="fullpost"><br /><br /> Berpikir membuat akal kita bekerja. Sedangkan bekerjanya akal membuat kita menyadari keteraturan yang berlaku di alam semesta ini. Selanjutnya, insya-Allah penggunaan akal yang tepat akan mengantarkan kita tunduk kepada Yang Maha Menciptakan.<br />Mirip dengan berpikir adalah kemampuan mengingat dan memahami penjelasan. Orang yang unggul dalam mengingat dan memahami penjelasan bisa menjadi penceramah yang baik, tetapi tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menyadari keteraturan alam semesta ini. Mereka tahu, tapi bukan menyadari. Semakin banyak pengetahuan bukan jaminan akan semakin matangnya diri seseorang. Bahkan bisa mendorong ia untuk banyak mempertanyakan. <br />Jika kemampuan bertanya merangsang orang untuk berpikir dengan cerdas, maka tidak demikian dengan mempertanyakan. Sikap mempertanyakan mendorong kita untuk menolak kebenaran dan berhenti berpikir maupun meneliti. <br />Ketika Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> hendak menciptakan khalifah di muka bumi, yakni Adam <span style="font-style:italic;">‘alaihissalam</span>, malaikat bertanya kepada Allah tentang alasan penciptaan. Ini terekam dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30. Sedangkan syaithan mempertanyakan mengapa harus bersujud kepada Adam. Syaithan mempertanyakan karena merasa tinggi, lebih tinggi kedudukannya daripada Adam. Syaithan tidak bisa melihat bahwa sujudnya kepada Adam sesungguhnya bukanlah menyembah Adam, melainkan ketundukan terhadap yang memberi perintah, yakni Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span>.<br />Apa yang bisa kita petik dari diskusi tentang berpikir? Dalam kaitannya dengan pembelajaran, kita memiliki tugas untuk merangsang anak-anak cerdas dalam bertanya. Sesungguhnya bertanya adalah separo ilmu. Pertanyaan yang bagus akan mengantarkan pada jawaban yang bagus. Pertanyaan yang bagus mengantarkan anak untuk menggali lebih dalam, mempelajari lebih matang dan berpikir lebih mendalam. Sedangkan mempertanyakan cenderung mendorong kita untuk memprotes apa-apa yang kita tidak memiliki ilmunya atau apa yang kita belum sanggup menjangkau.<br />Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan untuk merangsang anak merenungi penciptaan alam ini. <span style="font-style:italic;">Pertama,</span> memahamkan kepada anak pengetahuan tentang alam semesta untuk selanjutnya meningkat pada pemahaman tentang prinsip-prinsip ilmu alam, keteraturan pada mekanisme alam semesta, anomali hukum alam dan apa yang terjadi jika Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> tidak menciptakan anomali. <span style="font-style:italic;">Kedua,</span> mengajak anak secara bertahap untuk melihat keteraturan dan segala proses yang terjadi pada alam semesta ini, baik berkait dengan alam semesta secara keseluruhan maupun bagian-bagian kecilnya seperti bagaimana daun menghijau dan menguning, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span>. Bagaimana air laut menguap menjadi awan dan selanjutnya turun sebagai hujan adalah tanda keteraturan hukum alam yang Allah Ta’ala ciptakan. Tetapi apakah hujan akan turun tepat di atas laut yang menguapkan airnya? Malaikat Allah yang bertugas untuk mengaturnya. <br /><span style="font-style:italic;">Wallahu a’lam bish-shawab</span>.<br /><span style="font-style:italic;">Ketiga,</span> selanjutnya guru mengajak murid memasuki wilayah yang bersifat ruhiyah. Apa pun mata pelajarannya, anak diajak untuk banyak mengingat Allah. Anak mengingati sifat Allah yang maha suci bukan terutama karena seringnya guru berucap subhanaLlah, melainkan karena seringnya guru mengajak anak menyadari sifat Allah. <span style="font-style:italic;">Keempat,</span> guru senantiasa berusaha membangkitkan kesadaran tentang amanah penciptaan atas diri mereka. Kita dorong mereka untuk berbuat dan melakukan yang terbaik untuk Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> dan menolong agama-Nya.<br /><span style="font-style:italic;">Kelima,</span> kita ajak anak-anak untuk melihat betapa seriusnya Allah menciptakan setiap makhluknya dan tidak ada yang sia-sia dengan ciptaan-Nya. Dari ini, kita berharap anak-anak akan bisa bertasbih memuji-Nya. Maha Suci Ia. Sedangkan atas apa-apa yang belum mereka ketahui ilmunya, mereka akan belajar untuk meyakini bahwa pasti ada kebaikan besar di dalamnya.<br />Pada akhirnya, yang <span style="font-style:italic;">keenam,</span> kita berharap melalui proses pembelajaran semacam ini anak-anak akan semakin besar rasa cintanya kepada Allah, semakin besar ketundukannya dan semakin kuat rasa takutnya disebabkan semakin bertambahnya ilmu mereka. Insya-Allah inilah yang menjaga diri mereka dari perbuatan sia-sia, dan di sisi lain, mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik. Inilah <span style="font-style:italic;">the basic of knowing </span>(dasar berpengetahuan) yang perlu kita tanamkan!<br />Agar guru bisa menjalankan tugas tersebut, mereka perlu banyak berpikir. <span style="font-style:italic;">Tafakkur</span>. Bukan hanya membaca. Tetapi jika membaca saja tidak pernah, bagaimana kita bisa berharap mereka cerdas dalam berpikir?<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-84872216044992283762009-01-07T23:14:00.001+07:002009-01-07T23:26:51.227+07:00Ia Lahir untuk ZamannyaBanyak tokoh telah berlalu. Mereka meninggalkan catatan dalam sejarah yang dapat kita buka lembarannya setiap saat. Sir Dr. Muhammad Iqbal salah satunya. Ia adalah pemikir besar Muslim yang sangat berpengaruh. Gagasan-gagasannya banyak dikaji orang hingga hari ini.<span class="fullpost"><br /><br /> Apa yang menarik dari Dr. Muhammad Iqbal buat kita para orangtua? Visi ayahnya. Jika ibu bertugas menyayangi, melimpahi perhatian yang tulus, mengasuhnya dengan penuh kelembutan serta memberi rasa aman sejak hari pertama kelahiran; maka kita melihat bahwa para ayah dari orang-orang besar meletakkan visi yang kuat pada diri anak-anaknya. Inilah yang kita dapati pada diri Luqman Al-Hakiem, tukang kayu yang menggenggam hikmah dari Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla </span>sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Begitu pula pada diri Nabi besar kekasih Allah, Ibrahim <span style="font-style:italic;">‘alaihissalam</span>, bapak para Nabi. Dari seorang ayah yang memiliki visi Ilahiyah sangat kuat ini, lahir para nabi pembimbing ummat. Tidak terkecuali Nabi kita Muhammad saw..<br />Kenabian memang bukan soal visi orangtua. Ia merupakan hak mutlak Allah untuk memberikan kepada orang yang dipilih-Nya. Kenabian juga telah berakhir. Sesudah Muhammad saw., tak ada lagi Nabi dan Rasul yang akan dibangkitkan di tengah-tengah umat ini.<br />Tetapi…<br />Ada yang bisa kita petik dari ayah Dr. Muhammad Iqbal. Kepada Iqbal kecil, ayahnya memberi nasehat, “Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan untukmu.”<br />Tentu ada banyak nasehat yang pernah diberikan ayahnya. Tetapi nasehat inilah yang membekas di dada Iqbal kecil sehingga mempengaruhi perkembangan jiwanya.<br />Tentang nasehat ayahnya ini, ia memberi kesakasian:<br />“Setelah itu,” kata Dr. Muhammad Iqbal menuturkan, “Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku!”<br />Inilah nasehat yang sangat visioner. Ia mengingatkan hal-hal pokok yang apabila itu hidup dalam dirinya, maka seluruh pikiran dan tindakannya akan terwarnai. Hal yang sama berlaku untuk motivasi, dorongan belajar, nasehat tentang perilaku dan seterusnya. Ada nasehat yang hanya memiliki kekuatan satu dua jam, ada nasehat yang memiliki kekuatan satu dua minggu dan ada juga nasehat yang memiiki kekuatan hingga masa yang sangat panjang.<br />Kemampuan memberi nasehat yang paling tepat untuk menggerakkan kebaikan dalam diri anak, kerapkali bukan lahir dari kecerdasan orangtua. Betapa banyak anak-anak yang memiliki orangtua doktor sekaligus dokter, tetapi kualitas pengasuhan dan pendidikan keluarga yang ia terima hanya setingkat dengan mereka yang tidak mampu menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres yang paling buruk. Kenapa? Salah satunya karena orangtua tidak punya visi dalam mengasuh dan mendidik. Sebab lain yang kerap saya temui, mereka –para orangtua—menempuh pendidikan tinggi memang bukan untuk menyiapkan anak-anak masa depan. Kembali ke rumah setelah menempuh jenjang pendidikan yang sangat tinggi merupakan mimpi yang buruk. Mereka memilih menyerahkan anak-anaknya kepada orang yang sebenarnya tidak diciptakan untuk mendidik anak. Mereka mungkin bagus dalam mendidik anak-anaknya, tetapi bukan anak kita.<br />Contoh sederhana. Tugas orangtua mendidik anak, sedangkan tugas nenek memanjakan cucu. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan seandainya masing-masing menjalankan pe¬rannya dengan baik. Nenek secara alamiah akan cenderung memanjakan cucu. Tanpa disuruh, mereka akan melakukannya. Sebagian orangtua bahkan merasa kebingungan bagaimana meng¬hadapi nenek yang begitu memanjakan cucu. Alih-alih risau terhadap kelangsungan pendidikan anak, kita menuding nenek anak-anak kita sebagai penyebab kekacauan. Padahal akar masa¬lahnya terletak pada rendahnya komitmen kita menjalankan tugas sebagai orangtua. Atau, boleh jadi kita memiliki komitmen yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki visi yang jelas.<br />Apa yang Anda inginkan terhadap anak Anda?<br />“Saya ingin punya anak yang shalih.” Shalih yang seperti apa? Coba rumuskan.<br />“Saya ingin punya anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.” Wah, ini persis seperti petuah pada penataran P-4. Singkat, padat dan tidak jelas. Apakah yang Anda maksud berguna bagi nusa, bangsa dan agama itu berarti tukang sapu jalan yang rajin shalat lima waktu? Negara ini butuh tukang sapu, meski negara ini juga membutuhkan negarawan yang baik, memiliki keteladanan yang tinggi dan kerendah-hatian untuk mendengarkan suara rakyatnya langsung dari lisan mereka.<br />Lalu kenapa visi? Jika saya boleh menyepakati pengertian visi sebagai <span style="font-style:italic;">an ideal standard of excellence</span>, maka visi yang kuat akan membangkitkan <span style="font-style:italic;">sense of purpose and direction</span>. Kepekaan terhadap tujuan dan arah. Visi membentuk gambaran mental (mental image) pada diri kita sehingga mempengaruhi perasaan, pikiran, sikap dan tindakan kita. Semakin kuat visi kita, semakin peka kita terhadap apa yang bisa membawa kepada tujuan. Sebaliknya, kita juga semakin cepat menangkap apa yang menjauhkan dari tercapainya standar ideal kesempurnaan dan kehebatan.<br />Tetapi harap diingat, lamunan yang tak diikuti dengan upaya yang keras, gambaran yang jelas dan tujuan yang kuat, bukanlah visi. Ia adalah angan-angan kosong. Tak bernilai.<br />Semoga Allah <span style="font-style:italic;">Ta’ala </span>melindungi kita, anak-anak kita beserta seluruh keturunan kita. Semoga kita semua dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya. <br /><span style="font-style:italic;">Allahumma amin.<br /></span></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-45053239514240226052009-01-07T07:05:00.005+07:002009-01-07T07:13:28.697+07:00Tak Henti MendekatiPernah berselisih dengan isteri? Alhamdulillah, saya pernah. Sebuah perselisihan yang membuat rumah berkurang keindahannya. Bukan karena terjadi pertengkaran besar, tetapi perselisihan “kecil” (adakah perselisihan yang bisa kita sebut kecil?) membuat apa yang indah dan menyenangkan, terasa hambar dan menegangkan. Penghujung malam yang seharusnya mengantarkan kita pada tidur yang tenang, kali ini menyisakan ganjalan perasaan yang membuat tidur kita seakan terjaga. Mata terpejam, tapi hati gelisah. Ingin memicingkan mata, tetapi daya tahan untuk terjaga sudah melemah.<span class="fullpost"><br /><br /> Apa yang ingin saya ceritakan kepada Anda? Bukan perselisihan itu, tetapi pelajaran besar yang ada di baliknya. Ketika kita menginginkan rumah-tangga kembali dipenuhi kehangatan, maka kita berusaha untuk mendekatinya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Sebab tanpa ketulusan, api yang mulai tersulut tak akan bisa padam, meski api itu masih sangat kecil. Tanpa ketulusan saat mendekati, hati kita akan mudah gerah oleh percikan api perselisihan yang tak seberapa itu, sehingga bisa menyebabkan terjadinya konflik yang lebih besar. Awalnya cuma salah paham, atau ngambek karena tidak terpenuhinya keinginan, ujungnya bisa pertengkaran dan perpecahan yang besar.<br />Selain ketulusan, kita juga harus bersungguh-sungguh mengupayakan perbaikan. Kita berusaha keras agar gesekan tidak berubah menjadi benturan keras. Sebaliknya, melalui upaya yang sungguh-sungguh, hati kita akan luluh. Cair kembali dari kebekuan.<br />Agar ketulusan dan kesungguhan itu benar-benar membuahkan hasil yang baik dan kesudahan yang indah, perlu ilmu yang menuntun kita pada tindakan yang benar dan tepat. Kesungguhan tanpa ilmu bisa mengantarkan kita pada keinginan untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin, sehingga justru menyebabkan guncangan kecil itu justru membesar. Masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Tak ada waktu untuk berhenti sejenak, merenungi diri dan mengambil jarak dari masalah.<br />Alhasil, ada ketulusan, ada kesungguhan dan ada ilmu. Berkumpulnya tiga hal ini di atas niat yang mulia insya-Allah meringankan hati kita meneladani Rasulullah saw. dan para sahabat dalam meredam perselisihan rumah-tangga. Kita ikhlas mendengar omelan istri –meski sejauh ini saya tidak pernah dimarahi dengan omelan panjang lebar—karena kita tahu Rasulullah saw. maupun Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun pernah dimarahi istri, dan beliau berdua diam tidak membantah sembari mendengarkan. Dengan cara inilah api akan padam dan kesejukan hadir kembali dalam rumah-tangga.<br />Masih tentang mendekati istri. Ada pelajaran lain yang saya petik dari apa yang pernah saya alami serta beberapa kasus yang saya tangani. Konflik sebesar apa pun bisa terselesaikan ketika ada keinginan untuk saling mendekati secara tulus, sungguh-sungguh, disertai ilmu dan berpijak di atas niat yang mulia. Keinginan untuk saling mendekati membuat konflik besar yang seakan sudah diambang bubar, bisa terselesaikan dengan indah. Awalnya saling memendam api amarah, ujungnya hasrat untuk bercumbu mesra.<br />Ya, saling mendekati. Apa yang membuat masa pengantin baru begitu indah? Karena kita sama-sama saling mendekati. Dari tidak saling kenal, berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa memahaminya dengan benar. Kita berusaha melakukan yang terbaik, mendekati dengan penuh semangat sekaligus berusaha agar kita tidak melakukan kesalahan, menunjukkan perhatian dan menampakkan kerinduan serta hasrat yang menyala-nyala. Inilah yang membuat kita saling jatuh cinta. Inilah yang membuat pernikahan –dalam hal ini masa pengantin baru—terasa begitu hangat.<br />Agar pernikahan kita senantiasa memberi kehangatan dan membangkitkan semangat hidup yang menyala-nyala, kita perlu sering jatuh cinta. Kita jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama, yakni istri atau suami kita. Semakin sering kita jatuh cinta lagi kepada istri, semakin besar arti perkawinan itu bagi kita. Kecuali jika cinta kita bertepuk sebelah tangan. Suami jatuh cinta lagi kepada istrinya, tetapi istri masih berbekal cinta yang dulu, cinta di awal pengantin baru.<br />Jika suami-istri saling jatuh cinta berkali-berkali, dan berupaya agar masih akan ada peristiwa-peristiwa yang membuat mereka saling jatuh cinta, maka bertambahnya usia pernikahan berarti bertambahnya kekayaan cinta pada diri mereka. Bukan karena seringnya bercinta –sebab kadang orang bercinta tanpa cinta—tetapi karena keduanya terus-menerus berusaha untuk saling mendekati.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">***</span><br />Ada beberapa hal yang kadang membuat kita lupa untuk saling mendekati. Pertama, merasa sudah banyak berbuat sehingga menuntut istri untuk lebih banyak bersikap pro-aktif. Boleh jadi yang kita rasakan benar, tetapi upaya untuk terus-menerus mendekati tak akan terhenti kalau kita menyadari bahwa upaya kita masih terlalu sedikit. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa kita perlu berusaha mengimbangi apa yang dilakukan oleh istri agar ia tidak sampai putus asa karena merasa sudah berbuat banyak tanpa hasil.<br />Kedua, ingin menjadi pemenang dalam perselisihan. Mungkin kita tidak menunjukkan kemarahan yang berlebihan, tetapi kadang muncul bentuk lain yang tidak kalah buruknya. Kita ingin membuktikan kepada istri bahwa kitalah yang benar. Keinginan ini menjadikan suasana damai yang sudah mulai tumbuh dalam rumah-tangga, kembali dipenuhi perasaan saling jengkel dan bahkan saling dendam. Padahal dalam rumah-tangga yang sehat, tak ada pemenang dan pecundang. Perselisihan harus diselesaikan sehingga membesarkan hati semua pihak, melegakan perasaan masing-masing dan membawa suami-istri pada keinginan untuk terus berbenah menata rumah-tangga.<br />Ketiga, berkurangnya keterikatan antara suami dan istri karena hadirnya fasilitas yang memudahkan kehidupan. Tanpa sadar, kerap adanya fasilitas membuat kita lupa bahwa ada yang tak bisa tergantikan. Secobek sambal sederhana buatan istri, rasanya mungkin tidak selezat bikinan koki restoran. Tetapi kesediaan untuk menyiapkan dan menghidangkan –atau setidaknya menemani makan—memberi arti yang lebih pada pernikahan.<br />Apa artinya?<br />Agar keterikatan hati antara suami dan istri senantiasa terjaga, perlu ada kesediaan untuk memberi sentuhan emosi pada peristiwa rumah-tangga yang bersifat rutin. Kita boleh memiliki beragam fasilitas dalam rumah –dan seharusnya demikian jika kita mampu—tetapi bertambahnya fasilitas harus diiringi dengan semakin eratnya ikatan hati antara suami dan istri.<br />Di antara fasilitas yang berpotensi merenggangkan ikatan emosi adalah televisi. Suami-istri yang sedang berdua menikmati tayangan televisi, ternyata lebih jarang melakukan komunikasi interpersonal yang hangat dibanding suami-istri yang sedang berada di dapur. Meningkatnya aktivitas menonton televisi, ternyata menurunkan kualitas komunikasi perkawinan (marital communication) antara keduanya, yakni komunikasi yang bermanfaat untuk menghangatkan hubungan dalam perkawinan.<br />Bertambahnya waktu untuk menonton TV juga membuat “kebutuhan” terhadap hiburan semakin meningkat. Sebaliknya daya tahan untuk melakukan aktivitas produktif menurun. Kita juga semakin cenderung untuk memperoleh hiburan yang bersifat instant. Tanpa usaha yang berarti.<br />Ini tampaknya sepele. Tetapi jika tidak disadari akan membuat ikatan emosi antara suami dan istri melemah. Tak ada lagi upaya untuk saling mendekati. Tak ada lagi kebutuhan untuk senantiasa bertemu dan bercanda. Kehadiran istri tak lagi menghibur dan menghadirkan kedamaian. Sementara istri juga tenggelam dengan dunianya sendiri.<br />Jika sudah tidak ada ikatan emosi yang kuat antaranya keduanya, apa lagi yang bisa membuat mereka punya alasan untuk mempertahankan, meningkatkan kehangatan dan membangkitkan kemesraan antar mereka berdua?<br />Tentu saja, hiburan tidak tabu bagi kita. Bukankah ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu pernah mengingatkan agar kita berhibur sekali waktu? Dengan berhibur, hati tidak akan beku. Tetapi berhibur yang bagaimana? Berhibur yang membuat kehadiran masing-masing semakin berarti. Misalnya, bepergian keluar kota dan makan bersama di atas hamparan tikar sembari menikmati terpaan angin yang sejuk. Atau berhibur yang menantang aktivitas fisik dan mental kita.<br />Wallahu a’lam bishawab. Semoga pernikahan Anda semakin mesra.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-71505244495967891292009-01-07T06:56:00.005+07:002009-01-07T07:03:10.091+07:00Ingatan yang TajamBertanyalah kepada orang yang merasa daya ingatnya rendah, apa yang sulit mereka lupakan. Menarik! Ternyata hampir semua memiliki pengalaman yang tidak mudah mereka hapuskan; mudah sekali teringat setiap kali ada peristiwa yang berkait. Begitu juga, kita menjumpai betapa banyak peristiwa, tindakan, ucapan bahkan tulisan yang dengan mudah mereka rekam dan pahami sekaligus bisa segera mereka ingat tatkala memerlukan. Padahal, mereka merasa daya ingatnya rendah!<span class="fullpost"><br /><br /> Kita melihat di sini sebuah kontradiksi menarik: <span style="font-weight:bold;">daya ingat rendah, tetapi susah lupa!</span><br />Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena kita belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span> kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.<br />Anda sendiri saya kira juga memiliki hal-hal yang sulit dilupakan maupun hal-hal yang sangat mudah diingat. Yang sulit kita lupakan adalah peristiwa atau sesuatu yang memiliki bobot emosi sangat kuat. Gempa bumi misalnya, umumnya termasuk peristiwa yang sulit dilupakan. Peristiwa traumatis bahkan bisa menghantui seseorang sepanjang hidupnya sehingga menuntut usaha keras untuk melupakannya –bila perlu harus terapi ke seorang psikolog--, meski peristiwa yang sama tidak menimbulkan efek apa-apa bagi orang lain. Sementara yang mudah kita ingat adalah hal-hal yang kita minati, kita perhatikan atau yang berkaitan dengan tujuan kuat dalam diri kita, baik tujuan jangka pendek maupun cita-cita besar di masa mendatang yang benar-benar mempengaruhi diri kita.<br />Pengagum berat musik rock misalnya, dengan mudah akan hafal –bahkan tanpa menghafalkan—lagu baru yang dilantunkan oleh penyanyi pujaannya, cukup dengan satu kali mendengarkan. Padahal dalam bidang akademik, boleh jadi dia merasa susah mengingat materi pelajaran sederhana yang disampaikan oleh guru paling menarik sekalipun. <br />Apa sebabnya? Rasa suka. Karena ia sangat mengagumi sang penyanyi, maka muncul antusiasme saat mendengarkan. Antusiasme inilah yang menimbulkan semangat sehingga kita bisa menghafal lagu dengan sangat cepat. Kita belajar secara efektif bukan karena lagu tersebut ada musiknya, tetapi karena ada gairah besar saat mendengarkan. Tanpa sadar, kita telah belajar dengan mengerahkan kemampuan otak kita secara maksimal. Kita memperhatikan dengan sungguh-sungguh pada setiap kata yang menyusun syair lagu itu. Hasilnya, otak kita bekerja sangat efektif. Bukankah salah satu yang menguatkan daya ingat saat belajar adalah perhatian?<br />Nah, sebuah pelajaran baru saja kita catat, antusiasme menjadikan perhatikan kita meningkat terhadap apa yang kita pelajari.<br />Apakah lagu memang mudah dihafalkan? Tidak. Perbincangan kita tentang lagu hanyalah sekedar menyebut contoh. Saya termasuk orang yang sangat sulit menghafal lagu. Sebabnya, selera musik saya rendah sehingga semenjak SD saya memperoleh nilai yang buruk untuk seni suara. Salah satunya karena saya sangat kesulitan menghafal lagu. Padahal dalam bidang lain saya bisa mengingat pelajaran dengan sangat baik, tidak terkecuali dialek gurunya saat menerangkan.<br />Jika mencermati bagaimana para sahabat <span style="font-style:italic;">radhiyallahu ‘anhum ajma’in</span> mendengarkan setiap tutur kata Nabi <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam</span>, kita merasakan betapa besar antusiasme mereka. Ada kecintaan yang luar biasa dalam diri setiap sahabat kepada Rasulullah <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam</span> sehingga secara spontan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh disertai minat yang sangat tinggi terhadap setiap ucapan dan tindakan Rasulullah sang kekasih. <br />Maka, “wajarlah” jika para sahabat memiliki daya ingat yang tinggi terhadap perilaku maupun sabda Nabi, bahkan hingga titik komanya. Mereka mengingat secara persis seperti semut mengingat sarangnya. Apalagi bagi seorang Abu Hurairah <span style="font-style:italic;">radhiyallahu ‘anhu</span> yang ketika itu tidak punya kesibukan apa pun selain tinggal di masjid dan mengikuti kemana Rasulullah <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alahi wa sallam</span> pergi. Sebagai ahlu suffah, seorang yang miskin papa tanpa tempat tinggal, Abu Hurairah mempunyai kesempatan mendengar, mengingat dan menghafal dengan lebih baik dibanding umumnya para sahabat utama yang memikul tanggung-jawab sangat banyak. Apa yang tampak sebagai kemalangan nasib bagi seorang Abu Hurairah, diam-diam merupakan barakah bagi agama ini karena mempunyai seorang penghafal sabda Nabi <span style="font-style:italic;">shallaLlahu ‘alaihi wa sallam </span>yang tekun dan total.<br /><span style="font-style:italic;">Blessing in disguise</span>. Sebuah berkah tersembunyi di balik kemiskinannya.<br />Selain rasa suka yang membangkitkan antusiasme, tujuan yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya ingat. Kuatnya tujuan akan menciptakan konteks dalam otak sehingga kita mudah melihat hubungan antar berbagai pokok pembahasan yang kita dengar, lihat, simak dan baca. Ini memudahkan kita memahami sebuah masalah, menguasai konsepnya dengan baik dan memikirkan penerapannya, menganalisis permasalahan secara terampil dan bahkan memadukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh. Ini berarti, kuatnya tujuan memudahkan kita mengingat, mengetahui dengan baik, memahami secara matang hingga melakukan sintesis atas apa yang kita pelajari. Setidaknya, tujuan yang jelas dan kuat menjadikan kita mudah memahami apa yang bagi kebanyakan orang sulit untuk dimengerti.<br />Selain tujuan, daya ingat kita juga dipengaruhi oleh makna atau nilai yang kita hayati atas apa yang kita lakukan. Lebih-lebih jika nilai itu sudah menjadi karakter pribadi, kita akan mudah memahami apa yang kita pelajari.<br />Lalu, darimana makna itu kita peroleh? Ada dua hal. Pertama, penghayatan secara langsung terhadap makna kegiatan kita –dalam hal ini belajar— sehingga kita merasakan, menerima dan mengikatkan diri dengan nilai tersebut. Ini erat kaitannya dengan niat, disamping proses penanaman nilai yang bersifat terus menerus. Dimulai dengan membangun kesadaran sehingga anak-anak memiliki kemampuan untuk memperhatikan sesuatu dengan nilai yang diyakininya, lalu berangsur meningkat kepada partisipasi, penghayatan nilai, membentuk sistem nilai hingga akhirnya terbentuk karakter diri yang kuat. Itu sebabnya, pendidik perlu terus-menerus menyegarkan niat murid maupun dirinya sendiri. Jika guru mengajar dengan niat yang baik dan kuat, ia akan mengajar dengan penuh antusiasme dan kesungguhan. Dan karena antusiasme menular, anak-anak akan memiliki antusiasme yang besar pula!<br />Kedua, penanaman dan penguatan tujuan. Proses ini bisa dilakukan di rumah maupun sekolah. Akan lebih baik jika orangtua melakukannya dan guru menguatkannya di sekolah, sekaligus memperkaya wawasan siswa. Penguatan tujuan ini juga bisa kita lakukan dengan membangun visi hidup serta orientasi hidup anak. Jika visi hidup berkait dengan harapannya di masa yang akan datang, orientasi hidup adalah bagaimana dia memandang kehidupannya sehari-hari; untuk apa ia hidup.<br />Masih berkenaan dengan ingatan yang tajam. Selain beberapa hal yang baru saja kita bicarakan, daya ingat juga sangat dipengaruhi oleh emosi positif yang bernama optimisme. Salah satu faktor yang mendorong anak untuk optimis adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah <span style="font-style:italic;">‘Azza wa Jalla</span>; bahwa tuhan tak pernah tidur dan senantiasa menolong hamba-Nya yang memerlukan. Di sinilah kita bisa membangun pemahaman sekaligus orientasi hidup pada siswa tentang siapa saja orang yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah dan apa saja syaratnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Rasa Takut yang Positif</span><br />Jika optimisme berpengaruh terhadap daya ingat serta kemampuan memahami, maka kekhawatiran dan rasa takut membuat otak sulit mencerna informasi yang kita terima. Anak-anak yang cemas saat belajar cenderung lebih lamban dalam memahami pelajaran serta lemah dalam mengingat apa yang sudah pelajari. Lebih-lebih jika dibayang-bayangi oleh kegagalan, anak akan cenderung stress dan sulit memusatkan perhatian. Di saat konsentrasi lemah seperti itu, pelajaran yang mudah pun akan terasa sangat sulit.<br />Yang menyedihkan, kita justru sering menuntut mereka agar memperhatikan pelajaran di saat mereka sedang mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ini membuat anak merasa semakin cemas. Ia pesimis. Jangankan menghadapi ujian, memahami pelajaran saja ia sudah kewalahan. Tak berdaya. Ujung-ujungnya, ia mulai menunjukkan perilaku menyimpang, nakal dan sejenisnya. Tindakan ini justru menguatkan keyakinan orangtua mau¬pun guru bahwa anak-anaknya tidak bisa diatur, bodoh dan sejenisnya. Sebuah lingkaran setan yang sempurna!<br />Itu sebabnya, kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak dengan membangun kedekatan emosi antara guru (termasuk orangtua) dan anak, membangkitkan antusiasme, menumbuhkan tujuan yang kuat, optimisme serta tanamkan makna dan nilai (meaning & value) yang kokoh. Gugah mereka untuk mempunyai mimpi besar di masa yang akan datang. Mimpi untuk berbuat dan bermakna. Bukan angan-angan untuk mendapatkan dunia melalui kecerdasannya.<br />Selain motivasi secara langsung, penguatan tujuan juga bisa kita lakukan dengan menciptakan rasa takut yang positif. Apa itu?<br />Jika rasa takut menghadapi ujian akan melemahkan kemampuan mereka dalam belajar, maka ketakutan yang berpijak pada rasa tanggung-jawab terhadap masa depan ummat ini, akan menguatkan tujuan. Semakin efektif kita menanamkan rasa takut yang positif, akan semakin kuat tekad mereka untuk belajar. Jika perlu, guru merancang kegiatan untuk memberi pengalaman mengesankan sekaligus memotivasi, pengalaman yang sulit mereka lupakan melalui kegiatan yang dramatis. Kita ajak mereka untuk membayangkan masa depan yang mengerikan bagi bangsa, ummat atau keluarga, kecuali jika mereka bersungguh-sungguh merebut masa depan.<br />Wallahu a’lam bishawab.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-80155369596245507102009-01-07T06:37:00.007+07:002009-01-07T06:49:56.887+07:00Terima Kasih, SayangSudahkah engkau berterima kasih kepada isterimu hari ini? Kalau belum, tengoklah sejenak perjalananmu dari semenjak bangun tidur hingga saat engkau baca tulisan ini. Ingatlah kembali kebaikan-kebaikan isterimu, baik yang engkau anggap sebagai kebaikan maupun yang engkau anggap sewajarnya ada.<span class="fullpost"><br /><br />Ingatlah sejenak, betapa hampir-hampir tidak ada satu hari pun yang kita lewati kecuali di sana ada kebaikan-kebaikan isteri yang tak cukup kita balas hanya dengan ucapan terima kasih. Kalau masih saja engkau tak menemukan apa yang dapat membuatmu berterima kasih kepada isteri, tangisilah! Boleh jadi kerasnya hati <span style="font-style:italic;">(atau jangan-jangan hatimu sudah mati?)</span> yang menyebabkan engkau tak sanggup menangkap kebaikan-kebaikannya. Padahal, sejudes apa pun isterimu –barangkali—pasti ada padanya kebaikan. Jika tidak, lalu apa yang menyebabkanmu memilihnya?<br />Boleh jadi engkau mengenal dia sebelumnya karena kebahagiaan perkawinan memang tidak berhubungan dengan seberapa kenal kita dengan orang yang akan kita nikahi. Tetapi bukankah ada yang membuatmu memilihnya? Mungkin karena rupa <span style="font-style:italic;">(ah…, kalau ini memang cepat sirna)</span>, mungkin juga karena sesuatu yang lebih tinggi nilainya; karena akhlaknya yang baik atau karena agamanya yang lurus.<br />Jika memang ada yang membuatmu untuk tergerak memilih, atau mengiyakan tawaran yang datang kepadamu, lalu apakah yang membuatmu sulit untuk sekedar mengucapkan terima kasih? Ataukah karena ada sesuatu yang menyakitkan hatimu darinya saat ini? Ataukah ada tindakannya yang tidak engkau sukai? Atau lebih dari itu, ada perkara yang membuatmu bukan saja tidak menyukai tindakannya, tetapi bahkan engkau berubah tidak menyukai dirinya?<br />Kalau itu yang membuat nyala api cinta mengecil di rumahmu, ingatlah sejenak ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’anul Kariim, kitab yang tak ada keraguan di dalamnya. Kata Allah, <span style="font-style:italic;">“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata . Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”</span> <span style="font-weight:bold;">(QS. An-Nisaa’, 4: 19).</span><br />Tidakkah engkau lihat di sana? Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Betapa luas ilmu Allah dan betapa sempit pandangan kita. Apa yang kita pikirkan dan rasakan dari isteri kita kerapkali bukan karena pengenalan yang baik terhadapnya, meski kita merasa telah mengenalnya luar dalam. Kadang kita mengenal dia dengan sebaik-baik pengenalan. Padahal yang lebih banyak bermain dalam pikiran dan perasaan kita adalah keinginan yang kadang bersambut kadang tidak, suasana hati yang kadang stabil kadang tidak, hasrat yang kadang meletup-letup kadang tenang, pengalaman yang kadang sangat kita yakini kebenarannya meski sangat besar kesalahannya. Betapa banyak orang yang menjadikan pengalaman sebagai “hukum” dalam bertindak tanpa mencoba menelusuri prinsip-prinsip yang ada di balik pengalamannya. Padahal sekian banyak orang mempunyai pengalaman yang berbeda.<br />Benar, ada peribahasa historia vitae magistra. Pengalaman adalah guru kehidupan yang paling baik. Tetapi menyimpulkan begitu saja apa yang kita alami sebagai kepastian adalah kekeliruan yang membuat kita tak bisa mengambil pelajaran. Itu sebabnya saya sering berkata, tidak penting apa pengalaman kita. Tidak penting pula fakta yang ada pada kita. Jauh lebih penting adalah menangkap prinsip-prinsip di balik fakta dan pengalaman itu. Jika tidak mampu, berpikir positif dengan berusaha mencari kebaikan yang bisa kita raih dan lakukan akan jauh lebih bermanfaat.<br />Saya teringat dengan sebuah seminar. Ketika itu saya bertutur tentang keutamaan menikah dini dan apa yang harus kita lakukan agar pernikahan dini itu mendatangkan kebaikan serta kebahagiaan. Saya ingin menghadirkan perbincangan tentang manfaat menikah dini sekaligus bagaimana meraihnya. Di dalamnya sebenarnya telah memuat prinsip-prinsip untuk meraih keindahan nikah dini, antara lain harus merupakan pilihan sadar dan berbekal ilmu. Tetapi seorang pembicara tiba-tiba dengan sengit membantah. Bukan dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan prinsip yang ajukan apabila ia menemukan kekeliruan di dalamnya, melainkan menunjukkan pengalaman temannya yang tidak sukses menikah dini.<br />Sesungguhnya, ini merupakan kesimpulan yang sangat gegabah. Jika tetangga kita mati setelah makan sebiji apel, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa apel merupakan buah yang mematikan meski ada fakta bahwa tetangga kita mati. Kesimpulan ini tidak memadai sebab tidak didukung penggalian yang mendalam tentang what’s behind the fact. Apa yang ada di balik fakta.<br />Uff…! Saya tidak akan berpanjang-panjang berbincang tentang pengambilan kesimpulan yang tepat dalam berseminar. Saya hanya ingin mengajak engkau untuk lebih banyak membuka ruang di jiwamu. Kalau sekali waktu engkau lihat isterimu tidak menampakkan wajah cerah di hadapanmu di saat engkau sedang penat-penatnya, maka ambillah waktu sejenak. Kenangkanlah betapa banyak kebaikan yang telah ia lakukan untukmu agar dapat engkau rasakan betapa baik ia bagimu.<br />Sejauh ia tidak berkhianat atas amanah yang Allah berikan kepadanya, rasa-rasanya hampir tak pernah ada alasan bagi kita untuk melupakan terima kasih kepadanya. Apakah engkau mengira bahwa hidangan sederhana ia suguhkan kepadamu adalah perkara biasa-biasa saja? Tidak. Sungguh, tidaklah segelas minuman hadir kepadamu begitu saja kecuali karena di dalamnya ada cinta, perhatian, ketulusan dan kasih-sayang. Pada sesendok gula yang ia tuangkan saat menyeduh kopi untukmu, di sana ada cinta dan perhatian. Pada kepekaannya menyiapkan minuman untukmu di pagi hari, di sana ada ketulusan. Setidak-tidaknya, andaikan pun itu semua tidak ada pada dirinya, tetap ada satu hal yang membuat engkau tetap perlu mengucapkan terima kasih yang tulus kepadanya. Satu hal itu adalah: ia masih menghormatimu. Tidak merendahkan.<br />Maka, alasan apa lagikah yang membuatmu sulit sekedar untuk mengucapkan terima kasih kepadanya?<br />Sungguh, aku lihat tak ada halangan bagi seorang suami mengucapkan terima kasih yang tulus, atau bila perlu mencium tangan, kening atau sekedar pelukan ringan baginya kecuali karena kerasnya hati atau gersangnya jiwa dari kasih-sayang. Tak ada halangan bagi kita untuk meminta maaf kepada isteri, kecuali karena tingginya hati dan angkuhnya jiwa. Ada nikmat yang berlimpah pada kita, tetapi kita lupa bersyukur kepada Allah. <br />Bukankah berterima kasih kepada manusia adalah salah satu jalan untuk bersyukur kepada-Nya? Dan manusia yang paling dekat dengan kita sesudah orangtua dan anak adalah isteri kita sendiri. <br />Tentang syukur ini, mari kita ingat sejenak ketika Rasulullah saw. bersabda, <span style="font-style:italic;">“Yang paling bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai berterima kasih kepada manusia.”</span> <span style="font-weight:bold;">(HR. ath-Thabrani).</span><br />Apakah buahnya syukur? Nikmat yang bertambah-tambah. Bukan isteri yang bertambah, tetapi makna kehadirannya di sisi kita yang bertambah. Itu sebabnya, kadang ketika ada yang datang mengeluhkan perkawinannya yang hambar, saya menyarankan kepadanya untuk membuat daftar yang harus terisi setiap hari. Daftar itu terdiri dari dua kolom. Tidak boleh lebih. Satu kolom berbunyi “kebaikan isteri (suami) saya hari ini” dan satu kolom lagi “kesalahan dan keburukan saya hari ini”.<br />Setiap hari, kedua kolom tersebut harus ada isinya. Bukan keberhasilan kalau pada kolom “kesalahan dan keburukan saya hari ini” tidak ada isinya sama sekali. Begitu juga, bukan buruk isteri kita kalau kita tidak mampu mengisi kolom “kebaikan isteri saya hari ini”. Sama sekali bukan. Kosongnya isian justru menandakan harus ada yang kita perbaiki pada diri kita. Barangkali kita sudah terlalu angkuh pada diri kita sendiri sehingga tak sanggup menemukan kekurangan diri sendiri dan pada saat yang sama kebaikan isteri kita.<br />Tentu saja saya tidak berharap kita sampai harus membuat daftar seperti itu, sekalipun tidak ada salahnya kita melakukan. Saya berharap masing-masing kita senantiasa menemukan makna atas hadirnya isteri di samping kita. Tidak hampa. Salah satu jalannya adalah mensyukuri kehadirannya dengan berterima kasih.<br />Nah, sudahkah engkau berterima kasih kepadanya hari ini?</span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-83567480363699327032008-12-31T00:48:00.000+07:002008-12-31T00:50:14.789+07:00Surat di Akhir TahunTak berapa lama lagi, tahun ini akan berakhir. Berganti dengan tahun berikutnya. Tak ada sesuatu yang benar-benar berarti untuk berubah, tetapi betapa banyak yang menghabiskan waktu dengan sia-sia sambil mentertawakan Yang Maha Kuasa. Mereka menyibukkan diri menunggu berubahnya waktu, padahal waktu akan berubah dengan sendirinya tanpa harus ditunggui. Mereka banyak menghabiskan uang, tenaga dan usia. Sementara terhadap tuhannya, hampir-hampir mereka lupa.<span class="fullpost"><br /><br />Alangkah zalim kita pada diri sendiri. Seakan kita mampu memperpanjang usia kita seukuran kehendak kita. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla yang lebih berhak mengakhiri. Dialah Tuhan yang apabila menghendaki sesuatu, cukuplah berkata “Kun! Jadilah!”, maka jadilah apa yang dikehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi.<br />Atas diri kita yang pongah dan menyombongkan kekayaan, Allah Maha Kuasa untuk mencabutnya setiap saat. Atau menghapuskan kenikmatan darinya, sehingga tak berguna lagi, meski ada dalam genggaman kita. Dan tidakkah engkau lihat kesudahan orang-orang sebelum kamu?<br />Sungguh telah berlalu umat-umat sebelum kita, sebagaimana berlalunya waktu. Telah berlalu kaum Tsamud yang Allah musnahkan mereka dengan air yang menenggelamkan. Telah berlalu pula kaum Aad. Mereka terkubur bersama seluruh kebesaran dan kekayaannya, dengan cara yang begitu cepat dan tak terduga.<br />Maka, apakah engkau akan mengundang kemurkaan-Nya malam ini dengan tiupan terompet yang memekakkan telinga? Padahal ada tangis-tangis bayi yang kelaparan, dan ada kesengsaraan saudara-saudaramu yang ditimpa bencana! Apakah engkau mengingini suatu masa ketika tiupan terompet berubah menjadi jeritan panjang yang tak terdengar, kecuali oleh ombak-ombak yang menjalankan perintah-Nya dengan penuh ketaatan.<br />Sungguh, Allah Maha Kuasa untuk membalikkan gunung menjadi serpihan batu-batu pijar yang panas, dan meluapkan air laut sehingga menenggelamkan apa saja yang harus ditenggelamkan.<br />Maka, apakah engkau masih akan menyelenggarakan pesta-pesta untuk bermaksiat kepada-Nya secara sengaja? Padahal setiap saat rasanya kita lebih banyak bermaksiat daripada berbuat taat, meski kita tidak mengingininya.<br />Dan apakah engkau masih akan meragukan kekuasaan-Nya, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla tunjukkan kedahsyatan yang lebih mengerikan di hadapanmu? Ingatlah kepada seorang manusia yang atas kesanggupannya membuat kapal yang kokoh, lalu mengira ia dapat mengalahkan Tuhannya. Ia pongah terhadap kekuatannya yang tak seberapa, sehingga keluarlah dari mulutnya kata-kata, “Bahkan Tuhan pun tak akan sanggup menenggelamkannya.” Tetapi kita semua telah belajar dari sejarah bagaimana kapal yang disebut Titanic itu, terbelah menjadi dua oleh air tanpa bisa ditolong lagi.<br />Tak ada waktu bagi kita untuk berhura-hura malam ini, ketika kita tahu ada ribuan anak yang tiba-tiba menjadi yatim di seberang sana. Tak ada waktu bagi kita untuk menghabiskan umur dan kekayaan demi merayakan apa yang seharusnya kita renungi sambil menangis, sementara kita tahu ribuan jiwa membutuhkan uluran tangan dan ketulusan kasih-sayang.<br />Tak ada waktu bagi kita untuk meniupkan terompet kegembiraan, sementara kita tahu ribuan saudara kita sedang dicekam oleh kesedihan. Mereka tak memiliki harapan. Mereka tak memiliki masa depan. Mereka tak memiliki sanak-saudara. Maka sudah saatnya kita menyapa mereka, memeluk mereka dengan penuh ketulusan meski kita tak sanggup meraih tangannya, dan memberikan kedamaian dengan ikatan iman. Kalau kerabat yang mengikat mereka dengan hubungan darah sudah tiada, maka kitalah saudara mereka karena iman yang sama. Sebab, setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Lalu apakah yang sudah engkau lakukan untuk mereka?<br />Semoga ada yang dapat kita lakukan untuk mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Bukan murka-Nya.<br />Semoga kita dapat merenungkan hal-hal yang demikian. Semoga pula Allah datangkan kebaikan bagi saudara-saudara kita di Nangroe Aceh Darussalam, sesudah datangnya musibah dan kesedihan.<br /> </span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-77606164470896218802008-12-30T23:39:00.004+07:002008-12-31T00:19:17.672+07:00Belajar Menulis Pada Al-Qur'anSaya tulis jejak belajar ini awal bulan November 2005. Sempat menjadi bahan diskusi di beberapa forum, tetapi sengaja saya simpan meski ada penerbit yang memintanya untuk diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku tentang kepenulisan. Sederhana saja. Di dalamnya ada komentar terhadap beberapa buku yang sedang laris-larisnya saat itu, tetapi berdasar sedikit ilmu yang sempat saya pelajari, sepertinya tak cukup kuat untuk bertahan.<br />Hari ini, saya ingin berbagi. Bukan untuk membuktikan kebenarannya, tetapi untuk sama-sama berbenah. Ingatkanlah jika ada yang salah. <span class="fullpost"><br /><br /> Betul sekali. Saya seorang muslim, karena itu kebiasaan dasar yang harus saya miliki agar bisa berislam dengan baik adalah membaca dan me¬nyampaikan ilmu melalui tulisan. Ayat yang pertama turun menyu¬ruh kita membaca. Bukan shalat atau berpuasa! Allah menurunkan ayat-ayat pertamanya juga dengan menggunakan kata bertutur yang menarik, dan kalau eng¬kau ingin mengajak orang kepada Islam sistematika ini harus engkau perhatikan. Allah mem¬perkenalkan diri-Nya dengan menggunakan kata “rabb”. Bukan Allah. Rabb artinya Tuhan. Kalau ditelisik lagi berkait dengan tauhid rububiyah, meyakini bahwa yang menciptakan dan merawat alam semesta se¬isinya adalah tuhan. Tuhan yang mana? Nanti dululah. Yang jelas Tuhan Yang Maha Mencip¬takan, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Begitu sete¬rusnya sampai akhirnya Allah tunjukkan bahwa rabb yang dimaksud adalah Allah, satu-sa¬tunya yang layak menjadi al-ilah (tuhan yang disembah dan dipatuhi).<br />Kalau engkau punya waktu sejenak saja untuk mempelajari sistematika turunnya wahyu, akan engkau dapati pelajaran-pelajaran berharga yang luar biasa. Belum lagi kalau kita mempelajari tafsirnya, semakin banyak yang tergali dan semakin terbentang petunjuk yang bisa kita dapatkan. Begitu juga jika engkau mau meluangkan waktu sejenak untuk menyimak stilistika Al-Qur’an, bertumpuk pelajaran psikologi komunikasi yang akan engkau dapatkan.<br />Maaf, saya menggunakan kata bertumpuk karena kerap saya jumpai kita memperoleh banyak pelajaran melalui berbagai seminar yang digelar, tapi hanya kita tumpuk saja; di meja atau di otak kita. Bukan kita gunakan untuk menggerakkan diri kita sehingga melahirkan kekuatan dahsyat yang luar biasa.<br />Ah, saya ingin bincang-bincang sejenak tentang ini. Satu syaratnya, engkau percaya bahwa surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an semuanya mengajak kepada iman dan taqwa, mendekati surga dan menjauhi neraka, menggemarkan berbuat baik dan menjauhi perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa, mempercayai adanya hari kiamat dan surga yang kekal abadi serta pengadilan yang tak seorang pun bisa lari (termasuk koruptor yang sekarang masih terlindungi, juga nggak bisa lari). Engkau percaya ini? Kalau percaya, mari kita teruskan. Kalau tidak, sampai jumpa di lain kesempatan.<br />Yupp, naam. Benar sekali setiap surat dalam Al-Qur’an selalu mengajak kepada iman dan amal shaleh serta mensucikan tauhid dan membersihkan diri dari syirik? Tapi periksa judul surat dalam Al-Qur’an! Berapa yang berhubungan dengan tauhid? Hanya sekitar sepuluh persen. Tepatnya? Coba kita hitung. Biar lebih mudah, pada bagian akhir tulisan ini saya akan sajikan daftar nama surat dalam Al-Qur’an.<br />Mari kita periksa nama surat-surat permulaan dalam Al-Qur’an. Ah, ya…. Betul sekali. Al-Faatihah –The Opening—sesuai namanya menjadi pembuka. Surat kedua Al-Baqarah, Sapi Betina, tetapi bukan tentang peternakan sapi. Struktur surat ini juga unik. Jika engkau ingin bikin tulisan persuasif, alur penuturan surat ini bisa engkau tiru. Ingat hasil penelitian tentang persepsi terhadap sifat orang, kan? Itu lho penelitian eksperimental Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Jika saya ceritakan kepadamu bahwa calon isterimu cerdas, rajin, lincah, kritis, kepala batu dan dengki, engkau akan membayangkan dia sebagai orang yang “bahagia”, humoris, dan “mudah bergaul”. Tetapi jika engkau membalik rangkaian kata itu mulai dari dengki, kepala batu dan seterusnya, kesanmu tentang dia segera berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang engkau dengar pertama kali akan mengarahkan pada penilaian selanjutnya. Kata “kritis” pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif; pada rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini, kata Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (o ya, saya kutip penelitian Asch dari buku Kang Jalal ini), kemudian terkenal sebagai primacy effect. Dalam beberapa kesempatan, penelitian eksperimental Asch ini saya ulang dan hasilnya… hampir semua sama, kecuali ketika saya cobakan pada ustadz-ustadz Hidayatullah (mereka memelototi cukup lama sebelum memutuskan).<br />Satu lagi. Jika engkau menghadapi orang yang membantah pendapatmu, atau ingin menyampaikan gagasan kepada orang lain, mulailah dari yang positif dan menimbulkan hasrat untuk mencapainya. Bukan hal-hal negatif yang ingin kita jauhi, sebab otak kita cenderung bekerja lebih efektif pada pesan-pesan positif. Komentar “Masakanmu enak sekali hari ini. Kalau garamnya dikurangi sedikit, pasti lebih enak” insya-Allah akan segera membuat isterimu tersenyum lebar selebar-lebarnya. Tetapi tidak demikian ketika engkau mengatakan, “Lain kali kalau kasih garam jangan terlalu banyak. Pasti masakanmu akan lebih enak lagi.” Apalagi kalau engkau berkata, “Kamu itu tahu bedanya gula dengan garam nggak, sih? Bikin masakan kok terlalu asin?”<br />Bisa merakan bedanya ketiga kalimat tadi? Saya harap engkau dapat merasakan. Kalau tidak, cobalah. Kalau sulit, mungkin engkau belum menikah. “Oh, tidak. Saya sudah menikah,” barangkali ada yang protes begitu. Kalau benar sudah menikah, ada satu pertanyaan buatmu, “Seberapa baik engkau mengenal isterimu sehingga sulit merasakan perbedaan akibat dari ketiga kalimat yang mungkin paling sering engkau ungkapkan?”<br />Ketika menulis buku Indahnya Pernikahan Dini, saya mencoba menggunakan pendekatan ini. Yang namanya menikah, ya jelas ada tantangan yang harus dihadapi. Masalah pasti ada. Sama seperti kuliah, dari S-1 sampai S-3 pasti ada ujiannya. Cara kita menyampaikanlah yang akan membedakan persepsi pembaca. <br />Di buku Indahnya Pernikahan Dini, saya memulai dengan paparan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seputar kenapa kita harus menikah dini?; kenapa menikah dini jauh lebih baik dibanding menikah saat usia sudah di atas kepala tiga?; apa manfaat menyegerakan nikah?; serta pertanyaan sejenis. Saya paparkan dengan menghadirkan contoh, argumentasi ilmiah dan sentuhan perasaan. Baru sesudah itu pembicaraan bergeser ke arah yang “lebih berat” dan “kurang menyenangkan”. Ada bagian akhir pembahasan tentang mereka yang sukses dan yang terhempas (ohoi, lihat strukturnya! Sekali lagi positif dulu baru negatif) serta bagaimana menghadapi orangtua jika mereka menentang pernikahan kita (ini masalah yang bikin grogi juga kan buat menikah dini?). Alhasil, tulisan terasa lincah, positif, menggugah dan membangkitkan semangat. Coba kalau di balik, lain lagi ceritanya.<br />Baiklah, saya tidak berpanjang-panjang dengan ini. Kita bukan sedang berbicara pernikahan (maafkan saya kalau contoh yang saya berikan berbau pernikahan). Saya paparkan contoh-contoh tersebut untuk mengajak melihat kekuatan pendekatan positif. Gaya bertutur Al-Baqarah begitu. Pertama, menyebut golongan muttaqin, berlanjut dengan menyebut iman dan golongan orang-orang beruntung (muflihun) yang secara keseluruhan menunjukkan ciri orang-orang mukmin. Kedua, menyebut golongan orang-orang kafir dan munafik. Sesudah itu menginjak bagian berikutnya, mulai memasuki ayat-ayat yang berisi perintah. Sebagaimana bagian sebelumnya, bagian ini juga dimulai dengan perintah bagi orang-orang yang beriman, lalu diikuti dengan tantangan bagi orang-orang musyrik; balasan bagi orang-orang yang beriman, perumpamaan dalam Al-Qur’an dan hikmah-hikmahnya, bukti-bukti keesaan Allah, penciptaan manusia dan penguasaannya di muka bumi, lalu berlanjut dengan peringatan kepada Bani Israel. Berikutnya masih panjang, tetapi engkau bisa memeriksa langsung Al-Qur’an yang ada di tanganmu.<br />Coba perhatikan, misalnya, surat Al-Ikhlash. Surat ini membantah perkataan manusia bahwa Tuhan beranak dan diperanakkan. Tapi lihat, bagaimana Al-Qur’an memulai bantahannya? Pertanyaan positif. Bukan bantahan yang bersifat negasi. Pada kalimat ketiga baru Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kalimat negatif. Lengkapnya, mari kita perhatikan: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa//Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu//Tidaklah Dia beranak dan tidaklah Dia diperanakkan//Dan tidaklah ada seorang pun yang setara dengan Dia//”. (QS. Al-Ikhlash: 1-4).<br />To make the story short, ada beberapa hal yang kita pelajari. Pertama, tulisan yang islami dan kita maksudkan untuk berdakwah secara keseluruhan harus berisi hal-hal yang baik. Sedangkan cara mengkomunikasikan sangat berkait dengan pembaca sasaran (target readers). Tulisan yang islami tidak mesti bertabur dengan dalil dan kalimat-kalimat yang bisa bikin pening orang apabila belum akrab. Kita mulai dari hal-hal yang pembaca lebih mudah menerima. <br />Kedua, selalu pertimbangkan judul yang hidup, menggugah, romantis dan sesuai dengan konteks zamannya. Kalau mau mengajak anak-anak ABG yang biasa nongkrong di kafe-kafe mall untuk berjilbab, bikinlah judul “Suer! Gue Cantik Banget”. Bukan “Urgensi Hijab bagi Ukhti Muslimah” (awas, mereka bisa lari terbirit-birit). Rasulullah saw. bilang, “Mudahkan dan janganlah engkau mempersulit. Gembirakanlah dan jangan engkau buat mereka lari.” Ini prinsip komunikasi dan sekaligus sikap dakwah. Maka, mulailah buku “Suer! Gue Cantik Banget” dari hal-hal positif yang dekat dengan dunia mereka (Thanks God You Make Me Pretty, Are You Pretty Enough, The Real Beauty –kalau engkau setuju dengan pembagian bab ini—baru memasuki bab yang bertutur tentang kenapa mereka harus berjilbab, misalnya dengan judul bab “Beautiful Forever” atau “Everlasting Beauty”).<br />Kitab para ulama terdahulu banyak yang menggunakan judul indah dan romantis. Kitab Qathrunnada bukan berbicara tentang pagi yang indah maupun asal usul air. Kitab ini berbicara tentang nahwu. Tata Bahasa Arab. Padahal artinya setetes embun. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis buku dengan judul yang sangat indah Raudhatul Muhibbin. Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Bukan “Rambu-rambu Islam bagi Orang yang Sedang Jatuh Cinta”. Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan ‘Ilmu-‘ilmu Agama) merupakan kitab fenomenal Imam Al-Ghazali. Judulnya hidup dan positif. Bukan Rudud ala Abathil. Bantahan terhadap Pendapat-pendapat yang Sesat. Emm… saya bukan menolak kitab yang sangat berharga ini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa judul semacam Rudud ala Abathil biasanya sulit menjadi karya fenomenal dan legendaris (so, kalau bikin judul yang menggugah, deh. Jangan bikin pusing).<br />Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, buku Mbak Asma Nadia berjudul Jangan Jadi Muslimah Nyebelin rasanya akan lebih menggugah minat baca (dan beli) kalau menggunakan judul positif. Saudara-saudara kita yang masih pacaran, setidaknya masih menyimpan sebuah nama di hatinya dengan perasaan yang amat mendalam, tidak akan menyentuh buku “Islam Menolak Pacaran”, kecuali kalau mereka sudah ada keinginan untuk bertaubat. Sementara buku Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, rasanya hanya para murabiyyah yang akan bergegas membaca buku tersebut. Bukan mutarabi. Apalagi yang masih muter-muter. Padahal buku ini sangat bagus, dan isinya penuh gizi bagi siapa saja yang merasa dirinya wanita atau yang isterinya seorang wanita.<br />Apakah judul negatif tidak bisa laris? O, bisa saja. La Tahzan contohnya. Karya besar ‘Aidh Al-Qarni ini menjadi buku paling dicari di berbagai negeri. Kita juga bisa melihat karya Oleh Solihin yang berjudul Jangan Jadi Bebek. Buku ini laris manis, meski saya tidak terlalu yakin akan dapat mempertahankan posisinya sebagai buku terlaris dalam lima tahun. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin juga memungkinkan untuk laris dan bahkan laris manis banget. Kok bisa? Saya berharap bisa meluangkan waktu secara lebih khusus untuk membahas masalah ini dengan gamblang. Kali ini, saya hanya ingin menyebut satu hal saja: kredibilitas dalam “komunitas” dan efek karambol yang ditimbulkannya (emm…, tapi kalau buku Jangan Jadi Seleb karya Kang Oleh tidak selaris Jangan Jadi Bebek, sebabnya bukan semata karena judul yang negatif).<br />Ketiga, biasakan menggunakan pendekatan positif. Sebuah Cerpen atau bahkan novel yang baik tidak mutlak membutuhkan tokoh antagonis yang bikin eneg. Ingat penelitiannya David McClelland. Tulisan yang secara keseluruhan inspiring good ‘menggugah inspirasi yang baik”, jauh lebih bergizi bagi jiwa daripada kisah yang suddenly good. Habis mabuk-mabukan, susah dinasehati, kacau balau hidupnya, lalu secara spontan berubah jadi orang baik tanpa kita bisa mempelajari prosesnya. Kita tidak merasakan dorongan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayah. Alih-alih berdakwah, bisa terjadi justru sebaliknya. Kisah-kisah itu secara keseluruhan atau sebagian besar inspiring bad. Menginspirasikan gagasan buruk: “belajar suka-suka, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ibarat taubat, yang kita peroleh dari kisah-kisah semacam ini bukan dorongan untuk melakukan taubatan-nashuhah. Dan inilah yang sekarang ada di sinetron-sinetron kita: menjadi baik secara instant dan mengejek Tuhan sebagai tukang marah dan memberi hukuman yang aneh-aneh. Padahal rahmat Allah mendahului murka-Nya.<br />Saya sepakat sekali dengan Deddy Mizwar dalam perkara ini. Dalam wawancaranya dengan majalah Hidayatullah, November 2005, Deddy Mizwar mengatakan, film “religius” menghina Allah. Berikut saya petikkan untukmu sebagian dari penuturan sineas kita ini:<br />“Yang kita lihat selama ini,” kata Deddy Mizwar mengomentari maraknya sinetron yang dianggap islami, “adalah tontonan yang memperlihatkan gaya tidak islami di layar kaca. Padahal katanya agama itu diturunkan untuk membawa manusia dari kegelapan ke tempat terang benderang. Namun, kita tidak melihat pesan itu di tayangan yang katanya “religius” sekarang ini. Yang ada tayangan berantem sama jin, dan kekejaman Allah. Seolah Allah itu tidak rahman dan rahiim. Yang ada wajah Allah yang beringas.”<br />“Menurut saya,” kata Deddy Mizwar melanjutkan, “itu penghinaan terhadap Allah. Karena Allah memuliakan yang namanya manusia. Sampai-sampai, malaikat pun bersujud pada manusia. Tapi kita sebagai manusia terus bikin citra bahwa manusia itu makhluk yang selalu berbuat maksiat. Itu penghinaan terhadap ciptaan Allah. Na’udzubillahi min dzaalik.”<br />Nah.<br /><br />Emmm… bagaimana jika kita menulis dengan niat yang baik? Bukankah segala sesuatu tergantung pada niatnya?<br />Tepat sekali. Inilah ungkapan yang paling banyak kita pakai untuk membela diri. Benar, segala sesuatu tergantung niatnya sepanjang sesuatu itu baik. Artinya, kalau kita menulis yang baik, belum tentu pahala kita dapatkan jika tulisan itu tidak kita maksudkan untuk hal-hal yang baik; hal-hal yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla sehingga terhitung sebagai ibadah. Sementara keburukan, tak akan berubah nilainya sekalipun kita maksudkan sebagai kebaikan. Itu sebabnya, kita perlu membekali diri dengan ilmu sebelum beramal. Al-‘ilmu qabla al-‘amal. Ilmu itu mendahului amal. Bukan sebaliknya.<br />Ini sama halnya dengan orang yang menebak-nebak maksud Al-Qur’an, menggunakan ra’yu (rasio) tanpa bekal, lalu secara kebetulan yang ia simpulkan itu bersesuaian dengan maksud Al-Qur’an. Pada yang demikian ini, tak ada pahala baginya (awas, jangan keliru. Saya bukan sedang merendahkan kemampuan akal. Ada sendiri takarannya, dan engkau bisa membaca uraian yang sangat memuaskan di buku Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam).<br />Tulislah karya-karya yang sedari awal menggerakkan orang pada kebaikan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an bertutur dan Rasulullah saw. berkisah. Lihatlah banyak kisah bertebaran dalam Al-Qur’an, dan tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla banyak menggunakan kisah untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya melainkan pasti ada kekuatan besar di dalamnya. Maka, sekaranglah saatnya engkau belajar menghimpun kekuatan, mengolahnya dan menggunakannya dengan setepat-tepatnya. Sesungguhnya, ada kekuatan luar biasa di balik jalinan kata yang dirangkai.<br />Rasulullah saw. bertutur bahwa sesungguhnya di antara bayan itu as-sihru. Sihir. Bayan itu untaian kata untuk mengkomunikasikan sesuatu. Penjelasan. Penuturan, dan yang semakna dengan itu. Artinya, ada kekuatan yang luar biasa pada kata-kata yang tersusun rapi, baik secara lisan maupun melalui tulisan. Ka¬lau kita bisa menggunakan dengan baik, dampaknya juga akan sangat dahsyat.<br />Bagaimana dengan kisah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang itu? Lihatlah elan vitalnya. Semangat hidupnya. Ruh dari kisah itu dari awal hingga akhir. Bukan menggambarkan tentang pembunuhan, tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan keinginan yang kuat untuk bertaubat. Keinginan yang menyala-nyala untuk menjemput hidayah, dan untuk itu ia rela menempuh perjalanan hingga ia menemui kematiannya sebelum tiba di tempat tujuan. Dari awal hingga akhir, usaha menemukan pintu taubat yang menjiwai. Bukan kisah kriminalnya sebagaimana tayangan-tayangan menjijikkan di TV-TV kita hari ini.<br />Kisah tentang pelacur yang masuk surga juga demikian. Elan vital kisah ini adalah tulus kasih-sayang yang muncul secara spontan untuk menyantuni seekor anjing yang sedang kehausan. Tak ada yang bisa ia gunakan untuk menolong binatang yang air liurnya najis tersebut, kecuali sepatunya. Tak ada tali yang bisa ia gunakan untuk mengambil air dari sumur kecuali ikat pinggangnya. Tetapi ketika ada kesungguhan yang luar biasa untuk menolong, Allah ‘Azza wa Jalla mengaruniakan kepadanya ampunan dan surga. Padahal ia seorang pela¬cur, sedangkan binatang yang ia tolong adalah seekor anjing.<br />Apa yang bisa kita petik? Kekuatan penggerak (driving force) untuk berbuat kebaikan dari awal hingga akhir yang melahirkan usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Inilah yang akan melahirkan kekuatan untuk menginspirasi dari setiap tetes tinta yang kita goreskan.<br />Engkau lihat, Al-Qur’an sudah bertutur kepadamu. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut, 29: 69).<br />Alhasil, kalau mau menulis, jangan bawa bekal pas-pasan. Mau menulis kisah yang mengajak orang pada kebenaran, ya pelajari apa kebenaran itu dan bagaimana orang bisa mencapai hidayah. Kemampuan berimajinasi adalah bekal minimal menulis fiksi. Penulis memang punya hak untuk berkhayal, tapi kebenaran tak bisa ditawar. Seperti saya bilang dalam buku Inspiring Words for Writers, “Keindahan tanpa kebenaran, ibarat makanan lezat tanpa gizi. Kebenaran tanpa keindahan ibarat obat sakit gigi. Ia hanya dicerna saat sakit; saat benar-benar membutuhkan.”<br />Jadi, bawalah perbekalan yang banyak sebelum menulis agar setiap tetes tintamu penuh gizi. Kalau memang harus menguras tangis, biarlah karya-karyamu membangkitkan tangis yang mulia di sisi-Nya. Bukan karena menangisi karyamu. Sungguh, sebuah karya yang benar-benar bergizi dan mengantarkan menu-menu hidayah jauh lebih berharga daripada berpuluh-puluh buku yang hanya menghasilkan peluh karena capek membaca.<br />Sesudah hidayah datang, ia harus melalui ujian. Perintang-perintang hidayah itu ada di dalam diri kita sendiri maupun dari bisikan-bisikan orang lain. Ini yang paling ringan. Tetapi siapa bilang yang paling ringan itu ringan pula menghadapinya? Cobalah tanya kenapa saudara-saudara kita yang pakaiannya amat mengenaskan karena sedikitnya kain, padahal ia telah tahu kemuliaan berjilbab, apa yang menghalanginya untuk segera menutup auratnya secara sempurna. Jangan kaget, penghalang terbesarnya boleh jadi dirinya sendiri. “Nanti kalau diketawain orang, bagaimana?” “Ah, saya kan belum bisa jadi orang baik, masak sudah pakai jilbab” “Sebenarnya sih sudah pingin banget pakai jilbab, tapi tanggung-jawabnya itu, lho” dan beribu-ribu pikiran lain yang menari-nari dan sekaligus menakut-nakuti.<br />Jadi, bagaimana? Coba deh engkau tuliskan karya yang membuat mereka memiliki penguat hati dan orang lain bisa belajar berempati. Tulislah novel misalnya, yang sedari awal berisi perjuangan seorang ayah melawan kebiasaan memarahi anak (kalau ada yang tahu resep mengubah ayah yang galak menjadi lembut tanpa amarah secara instant, beritahukan pada saya!) sampai akhirnya benar-benar mampu meredam kemarahannya. Sehari tidak marah sama sekali karena jiwa telah berubah. Bukan karena pingsan.<br />Tulis pula misalnya bagaimana perjuangan Si Katty yang seksi untuk sekedar berjilbab. Benar-benar berjilbab karena mentaati perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari awal, novel ini merekam gejolak jiwa Katty untuk mulai mengenakan busana muslimah sejati. Gambarkan perjuangan Katty melawan dirinya sendiri. Atau bikinlah cerita tentang bagaimana perjuangan melawan diri sendiri agar bisa qiyamul-lail setiap hari (beritahukan padaku kalau ada yang punya resep menjadi ahli qiyamul-lail dalam sekejab agar kuubah seluruh penduduk negeri ini menjadi orang-orang yang banyak bermunajat di hadapan Allah menjelang dini hari).<br />Lho, kok nyinyir gitu, sih? Ah, nggak. Saya cuma teringat pada firman Allah di surat Huud ayat 7. Tentang ujian bagi orang yang beriman, Allah berkata:<br />“…agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Huud, 11: 7).<br />Berkaca pada ayat ini, rasanya kurang sesuai dengan spirit Islam kalau kita menyibukkan pembaca dengan hal-hal yang tidak berguna, kecuali ujungnya saja. Tokohnya urakan, akhlaknya tidak karu-karuan dan bahkan sampai pada tingkat yang sangat menjijikkan, tetapi di akhir cerita tiba-tiba tersadar ketika melihat perilaku seorang akhwat yang shalihah, ikhwan yang hanif atau ustadz yang sangat bersahaja. Di berbagai cerita lain saya baca, tokoh antagonis –ironisnya jadi tokoh utama—menjalani hidup yang sangat berantakan. Di akhir cerita, tiba-tiba ia berubah oleh peristiwa sederhana. Tak ada proses mental dapat dinalar oleh para pembaca. Tak ada pergulatan emosi yang bisa dirasakan.<br />Kisah semacam ini tidak sesuai dengan fitrah manusia! Tidak Islami.<br />Ouw, memang bisa saja seseorang berubah karena peristiwa-peristiwa sepele, sebagaimana seseorang bisa masuk surga karena perbuatan sepele. Tetapi sesuatu yang sepele hanya akan berarti apabila proses mental yang memadai. Kita menangkap what’s behind the fact; memahami prinsip-prinsip yang bekerja di balik fakta.<br />Pernah lihat Miracle? Ini film tentang Herb Brooks, pelatih team hockey Amerika ketika harus menghadapi team Soviet di Olimpiade 1980. Sedari awal, film ini menuturkan kesungguhan Brooks untuk membawa team pecundang (Amerika bukan pemain hockey yang hebat) agar mampu menaklukkan Soviet –team terbaik dunia. Tantangan –dan juga hambatan—tentu saja ada. Tetapi kisah ini memusatkan perhatian pada bagaimana Brooks berjuang dengan gigih menjadikan teamnya layak menyandang gelar juara. Sebuah rangkaian kisah yang benar-benar menggugah. Menginspirasi.<br />Film ini akan berbeda pengaruhnya jika lebih banyak menampilkan sepak terjang para penentangnya. Bukan upaya gigih Brooks membangun kehebatan team hockey-nya. Kita cenderung berempati dan tergugah berbuat baik jika membaca kisah seorang polisi yang berjuang melawan korupsi di kesatuannya dan pada saat yang sama harus menggulung sindikat kejahatan yang di-back up komandannya. Tetapi akan berbeda akibatnya jika kita melihat visualisasi cerita seorang penjahat tentang apa yang mendorong ia memperkosa dan bagaimana ia melakukannya. Yang terakhir ini, meski kita juga melihat bagaimana penjahat itu telah babak belur, justru mendorong inisiatif jahat. Berbagai studi menunjukkan, kejahatan justru meningkat ketika berita kriminal bertambah seru. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi di negeri kita yang semata wayang.<br />Kenapa demikian?<br />Tanpa sadar, kita cenderung melakukan identifikasi psikis dengan tokoh utama; fiksi ataupun non-fiksi. Kita terlibat secara emosi dengan tokoh utama. Apalagi kalau penulisnya mampu membangun emosi karakter (character emotions) dengan baik. Kita bisa menangis dan tidak rela seorang penjahat yang paling busuk dieksekusi ketika membaca feature tentang perasaan keluarga, istri dan sang penjahat itu sendiri. Kita bisa berdemonstrasi menentang hukuman mati setelah terharu membaca penyesalan sang penjahat; bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa dan khilaf. Kita tidak ingat bahwa keluarga korban mengalami trauma yang sulit terhapuskan.<br />Nah.<br />Masih mau ngobrol? Sabar dulu, ya.... InsyaAllah saya akan hadir dengan tulisan berikutnya.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-90682298145032624152008-12-30T23:28:00.001+07:002008-12-31T00:20:29.812+07:00Pesan Ini, Nak Kutulis UntukmuAku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.<span class="fullpost"><br /> Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap….<br />Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.<br />Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada do’a yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw. pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.<br />Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.<br />Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?<br />Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.<br />Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdo’a kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban –ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdo’a. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.<br />Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq: 1-5).<br />Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan do’a, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih-sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.<br />Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”<br />Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).<br />Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatuLlah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.<br />Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam ‘aqidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.<br />Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung-jawab dan lupa pada diri sendiri.<br />Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”<br />Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.<br />Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.<br />Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.<br />Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-2062755320785013462008-12-30T23:12:00.001+07:002008-12-31T00:22:14.261+07:00Ada Tanda Di Wajah KitaUtsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat utama Nabi saw. yang sekaligus menantu beliau, pernah berkata, “Tidak seorang pun bisa menyembunyikan suatu rahasia karena Allah akan menampakkan semua itu melalui roman muka dan ucapannya.”<span class="fullpost"><br /> Tak seorang pun dari kita yang dapat menyembunyikan rahasia dari wajah dan diri kita, kecuali pada ungkapan-ungkapan yang diatur dan kalimat-kalimat yang tersusun rapi. Tetapi secara keseluruhan, kita tak sanggup menyembunyikan rahasia. Susunan kata yang indah dan kalimat yang mempesona, tak sanggup menyimpan rahasia. Hanya saja, kepekaan kita bertingkat-tingkat dalam menangkap dan memahami. Semakin bersih hati kita dalam membangkitkan kewaspadaan diri, maka akan semakin peka. Orang-orang yang banyak bersujud dengan hati ikhlas, akan lebih cepat membedakan siapa yang tulus dan siapa yang ingkar. Sebab ruh itu seperti pasukan. Ia akan cepat mengenali yang serupa dengannya.<br />Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an, kata Ibnu Taymiyyah Al-Harrani dalam Al-Jamal: Fadhluh, Haqiiqatuh, Aqsaamuh, bahwa hal itu (rahasia) kadangkala nampak pada wajah: “Dan, seandainya Kami kehendaki, niscaya Kami perlihatkan mereka dengan tanda-tandanya.” karena semua itu ada di bawah kehendak (masyi’ah)-Nya. Kemudian Dia berfirman, “Dan, niscaya kamu akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (QS. Muhammad, 47: 30). Semua ini merupakan kepastian. Sesuatu yang disembunyikan oleh jiwa akan lebih jelas melalui kata-katanya daripada jiwanya. Kesaksian wajah sangatlah tipis, sedangkan dari ucapannya sangatlah jelas.<br />Orang-orang yang menyembunyikan dalam dirinya kedustaan yang bercampur ketakutan akan tersingkapnya rahasia misalnya, akan tercekat tenggorokannya sehingga sulit menelan. Ini membuatnya merasa tidak nyaman, sehingga justru berusaha untuk terus-menerus menelan. Semakin besar kecemasannya, semakin tercekat tenggorokannya. Semakin ia berusaha untuk menyembunyikan rahasia, menutup rapat-rapat keburukannya, seraya menahan rasa takut akan terbongkarnya keburukan, semakin tak sanggup untuk menelan. Dan ini menyebabkan ia semakin merasa tidak nyaman.<br />Kening kita juga memberi tanda. Kalau ada kebohongan besar yang kita ucapkan, di kening kita membentuk kerutan yang tidak bisa kita kendalikan. Kerutan itu muncul di bawah kehendak (masyi’ah)-Nya. Tak ada yang sanggup mengelak. Bahkan seorang Bill Clinton sekalipun, tersingkap dustanya ketika ia mencoba mengingkari perbuatan maksiat yang pernah ia lakukan. Penelitian tentang wajah manusia dan seribu rahasia yang ada di dalamnya, memberi kita pelajaran yang besar bahwa ada tanda di wajah kita.<br />Ada kekuatan dalam diri kita yang membuat wajah tampak bercahaya, meski kulitnya hitam legam. Begitu pun sebaliknya, wajah yang cantik dengan kulit putih bersih bisa kehilangan pesonanya sama sekali karena keruhnya jiwa, rusuhnya hati dan buruknya iktikad. Tak ada yang dapat diharap dari senyum yang tersungging apabila tak disertai oleh jiwa yang hidup, kecuali jika kita sendiri telah demikian keruh.<br />Pada awalnya, kita bisa memoles senyuman agar tampak lebih mengesankan. Tetapi seiring perjalanan waktu, akan datang tanda di wajah kita apakah pada senyum-senyum kita ada ketulusan atau tidak. Anda akan tahu bahagia tidaknya seseorang di hari tua dari wajah mereka. Atau kalau Anda tidak tahu, wajah itu yang akan mengabarkannya kepada Anda.<br />Wallahu a’lam bishawab. Hanya Allah saja yang menggenggam semua rahasia. Pengetahuan kita amat terbatas. Selebihnya ada pelajaran yang patut kita renungkan. Jika di dunia ini saja kita sanggup menyimpan rahasia, maka apakah yang sanggup kita andalkan kelak ketika bumi telah dilipat dan langit telah digulung?<br />Semoga Allah menolong kita semua dari kesesatan kita sendiri.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-21777686390068074202008-12-30T23:03:00.002+07:002008-12-31T00:22:59.479+07:00Sekolah yang MenggairahkanPerkembangan otak yang paling pesat terjadi pada rentang usia 0-8 tahun, baik secara fisik maupun intelektual. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi antara usia nol sampai dengan enam tahun. Selama rentang waktu tersebut, IQ anak dapat melonjak secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orangtua maupun pengasuh di day-care -kita menyebutnya TPA-dan play-group. Selanjutnya, peran strategis tersebut dipegang oleh guru TK dan SD kelas bawah, yakni kelas satu sampai dengan kelas tiga (itu sebabnya, perencanaan kurikulum TK perlu dikerjakan bersama dalam satu kesatuan dengan penyusunan kurikulum SD). Inilah masa paling penting untuk membangun budaya belajar. Jika pada masa ini anak sudah memiliki budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari kecakapan belajar (learning skills) pada periode berikutnya, yakni orientation stage, termasuk membangun orientasi hidup maupun orientasi akademiknya.<span class="fullpost"><br /> Jadi, yang perlu kita bangun pada masa awal perkembangan anak di sekolah adalah budaya belajar (learning culture). Bukan sekedar kebiasaan belajar (learning habit) dimana anak belajar karena sekolah memang menciptakan lingkungan akademik yang menuntut anak belajar, termasuk di dalamnya memberikan tugas-tugas. Setingkat lebih baik adalah munculnya kebiasaan belajar karena lingkungan akademik yang merangsang gairah anak belajar. Anak bersemangat di sekolah sehingga kegiatan belajar terasa menyenangkan.<br />Apakah sebenarnya semangat itu? Keterlibatan emosi saat melakukan suatu kegiatan sehingga kita merasakan situasi yang mengalir. Keadaan ini bisa terjadi karena hati kita yang gembira, peristiwa sebelumnya yang meluapkan perasaan positif, suasana yang menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan antusiasme yang menyala-nyala, rancangan lingkungan fisik sekolah yang menggugah, dan berbagai aspek lain yang mempengaruhi emosi saat belajar. Semakin tinggi keterlibatan emosi saat belajar, semakin efektif otak kita bekerja. Belajar seharian penuh, tetapi anak merasakannya seperti bermain. Asyik dan menyenangkan.<br />Sekolah yang menerapkan model belajar sehari penuh (full day), harus memperhatikan ini. Sekolah harus merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, antusias dan positif agar anak memiliki semangat menyala-nyala saat belajar. Jika tidak, anak bisa mengalami stress karena beban belajar yang melampaui "ambang kesanggupan mental". Stress yang berlangsung secara terus-menerus bukan saja melemahkan kemampuan anak. Lebih dari itu, stress berkelanjutan merusak mental dan kepribadian.<br /><br />Nah.<br />'Alaa kulli hal, ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Suasana belajar yang menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan penuh antusiasme dan rangsangan fisik sekolah yang menggugah memang mempengaruhi emosi anak. Mereka belajar dengan penuh semangat. Tetapi semangat yang meluap-luap hanyalah bekal awal. Perlu ada upaya terencana membangun motivasi anak -tidak terkecuali guru-sehingga melahirkan budaya belajar yang kuat.<br /><br />Istilah motivasi sering jumbuh dengan semangat. Saya sendiri kadang menggunakan dua istilah tersebut secara tidak tepat. Jika semangat adalah keterlibatan emosi saat melakukan aktivitas, maka motivasi adalah alasan yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Semakin kuat motivasi seseorang, semakin menyala semangatnya. Artinya, motivasi merupakan salah satu faktor pemacu semangat anak. Semakin kuat motivasi, semakin menyala-nyala semangat dalam diri anak.<br /><br />Budaya belajar (learning culture) sangat dipengaruhi oleh kekuatan motivasi. Jika anak memiliki alasan yang kuat untuk bertindak, dan alasan itu mengakar dalam dirinya, maka ia akan memiliki energi untuk terus belajar. Semakin kuat ia membentuk budaya belajar dalam dirinya, semakin tangguh semangatnya menggali ilmu meskipun lingkungan sekeliling tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya budaya belajar menjamin berlangsungnya kebiasaan belajar (learning habit) hingga jenjang pendidikan berikutnya, meskipun suasana belajar di jenjang tersebut tak sebaiknya jenjang sebelumnya.<br /><br />Inilah yang perlu kita sadari ketika ingin mengembangkan budaya belajar. Lingkungan yang mendukung memang sangat perlu. Guru-guru yang ramah, hangat dan bersahabat juga tak dapat ditawar-tawar. Begitu pula lingkungan fisik sekolah yang merangsang minat belajar, betapa pun sederhananya, sangat diperlukan.<br /><br />Tetapi…<br />Tanpa membangun motivasi intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gairah belajarnya -bahkan perilaku positifnya-begitu mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika masih berada di jenjang sekolah dasar, semangat belajarnya sangat tinggi dan prestasi akademiknya menakjubkan. Begitu memasuki jenjang pendidikan berikutnya, minat belajar ambruk dan perilakunya kurang terarah karena -misalnya-anak kecewa dengan sekolah barunya.<br /><br />Pada kasus seperti ini, kita bisa menyalahkan jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi sekolah sebelumnya, yakni SD, tetap ikut bertanggung-jawab atas kegagalannya membangun motivasi siswa. Keadaan ini bisa terjadi, antara lain karena pihak SD tidak bisa membedakan -atau sengaja tidak membedakan-antara kebiasaan belajar dan budaya belajar. Mirip sekali wujudnya, lain sekali hakekatnya.<br /><br />Apa yang diperlukan untuk membangun motivasi intrinsik anak? Banyak hal. Yang sangat pokok adalah menanamkan keimanan yang aktif. Maksud saya, sekolah mengajarkan 'aqidah kepada anak bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif. Lebih dari itu, sebagaimana sifat ayat-ayat yang pertama diturunkan -secara umum ayat-ayat Makkiyah-menggerakkan mereka untuk bertindak karena Allah dan untuk Allah Yang Menciptakan. Sekolah menggerakkan jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalatnya, 'ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah 'Azza wa Jalla semata.<br /><br />Artinya, 'aqidah yang kuat menjadi daya penggerak (driving force) bagi anak untuk bertindak dan menentukan arah hidup.<br />Agar guru mampu menanamkan keimanan yang aktif dengan 'aqidah shahihah, tak dapat ditawar-tawar lagi 'aqidah mereka juga harus kuat. Sedemikian kuatnya sehingga ketika berbicara, yang berkelebat dalam benaknya bukan sekedar teknik berbicara, tetapi sudah menyatu dalam dirinya kata-kata bertenaga yang menggelorakan motivasi anak-anak dan membakar semangat mereka untuk melakukan yang terbaik. Kata-kata ini mengalir setiap saat karena memang sudah menyatu dalam diri guru.<br /><br />Di luar itu, secara terencana sekolah dapat mengadakan kegiatan yang secara khusus dimaksudkan untuk membangun motivasi anak, baik yang bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau berdasar rencana kegiatan insidentil. Motivasi harian misalnya diwujudkan dalam bentuk kegiatan apel motivasi setiap pagi.<br />Selebihnya, guru perlu memberi tantangan yang cukup agar motivasi tersebut tertanam lebih kuat. Tanpa tantangan, anak tidak belajar hidup dalam "dunia nyata". Apalagi jika mereka hanya kita besarkan dengan fasilitas, tanpa tantangan akan membuat mereka seperti ayam sayur. Bukan ayam kampung yang tak jatuh oleh panas dan tak tersungkur oleh hujan.<br />Artinya, harus ada keseimbangan antara fasilitas dan tantangan. Awalnya tantangan sederhana yang bersifat fisik, lalu secara berangsur kita hadapkan pada tantangan yang lebih memeras pikiran dan tenaga. Pada akhirnya, kita tumbuhkan pada diri mereka kepekaan untuk membaca tantangan bagi keyakinan dan ummat ini.<br />Wallahu a'lam bishawab.<br />Masih banyak yang ingin saya perbincangkan, tetapi amat sedikit kesempatan. InsyaAllah lain waktu kita berjumpa lagi di ruang ini untuk berbincang tentang sekolah kita. (Mohammad Fauzil Adhim, <a href="http://sekolah-laris.co.cc">SchoolMarketing</a> Yogyakarta).<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4796493982962145331.post-20993553043615331252008-12-30T22:22:00.001+07:002008-12-31T00:23:29.634+07:00Sekolah yang MencerdaskanMencerdaskan anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia dan produktif dikarenakan kuatnya keyakinan yang berpijak pada fondasi bernama aqidah. Bersebab pada kuatnya aqidah, sekolah juga berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda-pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah hidupnya. Begitu mereka memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala-nyala, maka mereka akan memiliki energi besar untuk mencapai apa yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya tahan untuk terus gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh makna atas setiap tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa yang baik dan penting. Insya-Allah!<span class="fullpost"><br /> Semangat yang berkobar-kobar memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecer¬dasan yang tinggi dan bermanfaat. Saya perlu menambahkan kata bermanfaat karena kepeka¬an terhadap apa yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi diri sendiri dan terutama bagi umat manusia, hari ini sangat sulit kita dapati (bahkan mungkin pada diri kita sendiri). Sebabnya, mereka memang tidak memperoleh pengalaman belajar yang secara sengaja menumbuhkan kepekaan mereka. Alih-alih mengembangkan kapasitas mental, anak-anak itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran, terutama yang menjadi materi ujian nasional. Padahal penguasaan materi pelajaran seharusnya merupakan akibat saja dari berkobarnya semangat dan kepekaan terhadap apa yang bermanfaat bagi umat manusia.<br />Inilah yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita. Kita dorong mereka untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan karena itu mereka harus bersungguh-sungguh pada hal yang bermanfaat baginya. Ada sebuah hadis yang perlu kita renungkan. Rasulullah saww. bersabda, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” <span style="font-weight:bold;">(HR. Muslim).<br /></span>Ya, bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu. Tapi mengapa anak-anak tidak peka terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari mereka tujuan hidup, empati dan integritas. Mereka juga tidak belajar merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka hanya dipacu untuk berhasil menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya, tidak sedikit orangtua maupun sekolah yang masih berorientasi pada ujian, sehingga tidak mendorong anak untuk “belajar” kecuali saat menghadapi ujian. Mereka tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan yang bermanfaat. Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat sehingga setiap hal jadi bermakna, sangat jarang disentuh.<br />Para orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar. Tetapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu seharusnya dipergunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk yang sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar. Darimana angka itu diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu bermula. Anak belajar melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut kelalaian.<br />Apa yang ingin saya sampaikan? Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas sekolah adalah mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka un¬tuk mampu memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekedar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka. Lebih-lebih jika hanya pada tataran kognitif terendah.<br />Sekedar menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang kemampuan kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Ada enam jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu pada kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf ini, meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal-soal yang diajukan, tidak membuat seseorang mampu memahami prinsip-prinsip serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dengan mudah akan mengenali dan menguasai apa-apa yang prinsipnya sama maupun mirip.<br />Bimbingan belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan kognitif jenjang terendah. Mereka terlihat pandai, tetapi diam-diam membawa resiko serius, yakni tidak berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah yang sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi. Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.<br />Tentu saja bukan berarti ujian akhir nasional tidak boleh ada. Jika sekolah kita memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang ujian nasional ditabuh. Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang kita jalankan, benar-benar mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai ujian memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar di sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai enam mata pelajaran. Tetapi ujian akhir nasional merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan dasar-dasar kemampuan akademik pada siswa. Artinya, prestasi cemerlang di ujian akhir nasional hanyalah konsekuensi logis pendidikan yang baik.<br />Berkenaan dengan prestasi akademik ini, ada baiknya kita berbincang sejenak ten¬tang empat tujuan operasional pendidikan. Secara ringkas, mari kita cermati satu per satu:<br />1. Mastery Goals, proses pembelajaran membuat siswa mampu menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan sangat baik. Siswa mampu memahami prinsip-prinsip, teori dan konsep matematika sehingga mampu memecahkan problem matematika dengan baik.<br />2. Performance Goals, proses pembelajaran –apa pun mata pelajarannya—harus membuat siswa mampu melakukan aktivitas atau mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Artinya, apa pun mata pelajarannya harus menjadikan siswa sebagai orang yang mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, bukan hanya tugas akademik.<br />3. Social Goals, proses pembelajaran di sekolah secara keseluruhan dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kecakapan sosial, termasuk di dalamnya kepekaan sosial dan hasrat untuk memberi manfaat secara sosial. Sekurang-kurangnya, proses pembelajaran menjadikan siswa mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya maupun orang-orang yang baru ditemui.<br />4. Affective Goals, pendidikan adalah proses yang membentuk kekuatan emosi siswa sehingga menjadi pribadi yang empatik, mampu mengendalikan emosi, dapat menunda kesenangan (delayed gratification) demi memperoleh tujuan yang jauh lebih besar di masa mendatang, mampu memotivasi diri sendiri dan memiliki peng¬hayatan nilai yang baik.<br />Prestasi yang paling mudah diukur adalah kemampuan akademik yang berkait de¬ngan tujuan operasional pertama, yakni mastery goals. Di sinilah letak kesalahan itu biasanya terjadi. Sekolah hanya menyibukkan pada proses pembelajaran yang memberi kecakapan pada siswa untuk mengerjakan soal –bahkan bukan untuk memahami dan menguasai mata pela¬jaran dengan baik—sehingga menyebabkan siswa kehilangan kesempatan untuk mengembang¬kan potensi dirinya secara utuh. Ini juga menyebabkan kemampuan kognitif siswa bahkan tidak berkembang secara optimal. Padahal, alur yang seharusnya justru kita mulai dari penguatan tujuan afektif dengan mengasah kepekaan, empati, membangun kecerdasan emosi, menata orientasi hidup serta meletakkan visi hidup yang kuat.<br />Lalu apa yang harus kita lakukan agar anak-anak memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam proses pendidikan di sekolah? Apakah kita perlu melaku¬kan reformasi total pada sistem pendidikan kita?<br />Tidak. Reformasi tanpa melakukan perubahan cara pandang dan sikap, hampir pasti tidak akan membawa hasil yang memadai. Perlu upaya terencana untuk mengubah cara pandang dan sikap pelaksana pendidikan secara keseluruhan, terutama guru, tidak terkecuali orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan. Kurikulum mungkin tidak berubah. Tetapi berubahnya cara pandang mampu menghasilkan perubahan dramatis pada antusiasme belajar, orientasi hidup, budaya belajar dan tentu saja akan berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Proses perubahan yang lebih memusatkan perhatian pada cara pandang, sikap dan pada akhirnya perilaku inilah yang biasa disebut <span style="font-style:italic;">reinventing</span>.<br />Saya ingin sekali membahas tentang reinventing sekolah bersama-sama dengan Anda. Tetapi kesempatan belum memungkinkan. Karena itu, izinkan saya menutup perbincangan kita kali ini. Satu hal, dari pembicaraan yang baru saja kita lalui, kunci untuk melejitkan kecerdasan bukan pada melatih kecakapan belajarnya, tetapi justru bagaimana menggerakkan jiwanya untuk memiliki tujuan hidup yang kuat dan kesadaran agar senantiasa menjadi manusia yang bermanfaat.<br /></span>belajar untuk berbagihttp://www.blogger.com/profile/02290197956186766974noreply@blogger.com0