Sabtu, 28 Maret 2009

Bekerja untuk Berbagi

Inilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi.
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”
Abu Bakar menjawab, “Aku.”
Maka Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).
Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.
Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.
Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.
Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.
Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.
Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.
Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.
Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.
Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!
Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Sukses Ujian!

Fantastis! Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional. Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.

Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, Exam Success (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.
Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:

Positive Frame of Mind

“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang diperlukan untuk sukses menghadapi ujian, dengan mengabaikan adanya bimbingan belajar dan proses latihan mengerjakan soal yang bersifat terus-menerus, terlebih dulu kita harus memastikan bahwa anak-anak kita –juga guru dan orangtua—memiliki kerangka berpikir yang positif terhadap ujian. Sama realitas yang dihadapi, beda cara pandangnya, akan beda pula dampaknya bagi anak dalam menghadapi ujian nasional.
Berkenaan kerangka berpikir positif ini, ada empat masalah yang perlu kita diskusikan. Pertama, kecemasan menghadapi ujian (test anxiety). Ini masalah pertama yang kerap menyebabkan anak-anak cerdas tak berdaya menghadapi soal ujian yang paling mudah sekalipun. Ibarat kaki, kecemasan menghadapi ujian membuat anak-anak lumpuh tak berdaya. Tetapi pada kadar tertentu, kecemasan bermanfaat meningkatkan gairah dan kesungguhan belajar anak sehingga ujian terasa begitu menantang. Bukan menakutkan. Kecemasan pada tingkat ini justru meningkatkan prestasi siswa (Hembree, 1988).
Ini berarti, guru maupun orangtua bertugas menjaga kadar kecemasan anak agar tidak melebihi ambang batas.
Tetapi bagaimana mungkin guru dan orangtua mampu menjalankan tugas tersebut jika mereka memandang ujian nasional terlalu penting? Sebegitu pentingnya, sampai-sampai mereka sendiri menghadapi kecemasan yang jauh lebih menakutkan dibanding anak-anak.
Kedua, kendali emosi pasca ujian. Setelah ujian usai, atau dalam istilah McIlroy after the horse has bolted, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali dan mengoreksi kekeliruan yang terjadi selama ujian. Kita juga tidak bisa memperbaiki dan meminta orang lain menambahkan jawaban yang baru teringat sekarang jawabannya, meskipun 100% kita tidak nyotek. Situasi ini jika tidak terkendali akan menimbulkan kekhawatiran dan menjadi pemicu bagi patah semangatnya anak. Lemahnya kendali emosi pasca ujian juga bisa menyebabkan anak kehilangan gairah belajar, mengalami kecemasan yang sangat tinggi atau anjlok sikap optimisnya menghadapi ujian sehingga kehilangan kemampuan puncaknya dalam menghadapi ujian yang tersisa.
Ketiga, umpan balik dari ujian. Masalah ketiga ini umumnya bersumber dari guru!! Sangat sering terjadi, guru tidak memberi umpan balik sama sekali terhadap ulangan harian maupun ujian semester. Paling-paling guru hanya membahas soal yang diujikan. Atau yang sedikit lebih baik, guru memberi umpan balik secara umum. Tetapi tidak memberi umpan balik yang bersifat personal.
Apa pengaruhnya? Tidak adanya umpan balik menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk:
1. Mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering terjadi pada dirinya ketika menghadapi ujian.
2. Mengembangkan ujian diagnosis untuk melacak kelemahan anak.
3. Memberi perhatian pada strategi ujian yang efektif untuk membantu mengambil tindakan yang tepat sebelum ujian.
4. Guru dan orangtua kehilangan kesempatan menyiapkan latihan (exercises) yang merangsang anak belajar lebih cerdas dan lebih serius, sehingga kita tidak perlu lagi memberikan latihan yang bersifat drilling.
Keempat, merasa terisolasi. Ketika anak sedang menghadapi ujian, kerapkali mereka merasa sendiri dan terisolasi. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.
Merupakan tugas guru maupun orangtua untuk menyiapkan mental anak agar mereka merasa nyaman dengan ujian. Meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri, ada orangtua yang mendukung mereka secara tulus dan menerima apa adanya, ada sekian banyak teman yang mengharapkan kesuksesannya, dan ada masa depan yang menanti untuk sebuah kesempatan belajar yang lebih baik, serta berbagai aspek mental lain sangat bermanfaat bagi anak dalam meraih sukses. Dan ini sebaiknya kita berikan jauh sebelum mereka ujian. Jika persiapan mental kita berikan secara terpadu dengan proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun, maka ujian nasional seharusnya merupakan pesta kecil yang dinanti. Bukan bencana besar yang mengerikan.

***

Kalau kita perhatikan, empat masalah tersebut semuanya berkait dengan sikap mental. Ini berarti bahwa penyiapan mental anak menghadapi ujian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka. Kesiapan mental juga mempengaruhi gairah belajar dan tingkat kesungguhan dalam berusaha.
Secara sederhana, kita bisa memacu munculnya sikap mental positif secara cepat melalui berbagai program instant. Tetapi ini cukup melelahkan dan beresiko. Sikap mental positif yang melejit secara cepat akan beresiko menyebabkan mereka secara mental juga akan terhempas sampai pada titik nadir tatkala mereka gagal meraih target yang diimpikan. Selain itu, mereka juga cenderung kurang siap menghadapi situasi yang mengejutkan. Ini sangat berbeda dengan pembentukan sikap mental positif melalui proses edukasi yang bersifat jangka panjang, terstruktur dan terencana.
Nah, mana yang Anda pilih? (Mohammad Fauzil Adhim, SchoolMarketing).
Selengkapnya...