Jumat, 09 Oktober 2009

Bangkitkan Kekuatan Mereka

Kita terlalu manja. Telah Allah limpahkan kekayaan yang sangat besar atas bumi tempat kita berpijak, tetapi kita asyik dengan angan-angan kita. Kita membiarkan tangan kita diam tak bergerak, di saat ribuan manusia berteriak-teriak mencari tempat yang memberi kesegaran. Kita tidak mengerahkan kekuatan dan membangkitkan kemauan untuk memeras keringat menggenggam kehidupan. Atas bumi tempat kita tinggal yang begitu indah, kita tidak mensyukurinya dengan kerja yang sungguh-sungguh. Atas tanah kita yang aman, kita tidak mensyukurinya dengan menajamkan otak kita, menguatkan pikir kita, menghidupkan jiwa dan melembutkan hati kita, sehingga kita akhirnya terpuruk di kampung sendiri.


Harus kita gerakkan jiwa mereka; anak-anak kita dan para orangtuanya. Harus kita bangkitkan kehendak mereka untuk meraih hidup yang baik dan kematian yang mulia. Kita tidak punya waktu untuk meratapi. Kita tak bisa mengubah masa lalu, sementara masa depan tidak mungkin kita ciptakan kalau kita menyibukkan diri berandai-andai dengan apa yang terjadi. Kita tidak memiliki masa depan kalau hari ini kita tidak bersedia memeras kita keringat untuk menggenggam dunia di tangan kita dan memasukkan akhirat di hati kita!

Ingatlah pada sabda Nabi saw., “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Maka, tak ada tempat bagi kita untuk berandai-andai. Yang harus kita lakukan adalah belajar dari Umar bin Khaththab ra. untuk mampu memandang setiap kejadian dan bencana, sejauh bukan bencana agama, sebagai rahmat yang membawa kebaikan apabila kita mengambil pe¬lajaran darinya. Ketika suatu hari Umar bin Khaththab ditimpa musibah, sahabat Nabi saw. yang terkenal ketegasannya ini berkata, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dalam segala keadaan.”

Bencana yang terjadi di tempat kita, jauh lebih ringan daripada yang pernah dialami oleh Jepang, Iran, Irak atau Lebanon yang hari ini anak-anaknya sedang disiksa oleh Israel. Tetapi Jepang bangkit menjadi negara yang sangat kuat, justru belajar dari bencana yang dialaminya. Sama seperti negara Singapore bisa sangat makmur, padahal tanah yang mereka miliki tidak memberi harapan untuk bercocok tanam. Andaikata seluruh lapangan sepak bola yang ada di sana diubah menjadi sawah –ketika itu—niscaya tidak mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk Singapore. Tetapi kita melihat, mereka mencapai kemajuan besar. Mereka bergerak dengan semangat yang ada di dalam jiwa mereka.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat. Kitalah yang memiliki perkebunan coklat sangat besar di dunia. Tetapi Swiss adalah negara pembuat coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11% wilayah Swiss yang bisa ditanami. Swiss juga mengelola susu dengan jangkauan pema¬saran seluruh dunia dan dikenal sebagai tempat berdirinya bank-bank paling aman di dunia. Padahal Swiss tidak memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.

Ada banyak contoh lain bagaimana negeri-negeri lain di dunia meraih kejayaan, sementara kondisi alamnya sangat tidak memadai. Jepang misalnya, sebagian besar wilayahnya pegu¬nungan. Delapan puluh persen wilayahnya adalah gunung, sehingga secara alamiah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan peternakan. Tetapi pertanian Jepang sangat maju.

Betapa pun demikian, negeri-negeri itu tidak dapat memberikan jaminan kebahagiaan bagi penduduknya. Mereka belajar dari bencana, tetapi tetap tidak sanggup melawan bencana. Negeri mana pun, betapa pun majunya, dapat terkena bencana yang sama besarnya. Hanya saja, mereka dapat meminimalkan bencana yang bersumber pada perilaku dan kecerobohan manusia.

Atas bencana-bencana yang terjadi, kita perlu menilik lebih jauh sebabnya. Di antara bencana-bencana yang ada, sebagian merupakan akibat kesalahan kita; sebagiannya lagi merupakan ujian; dan sebagian lainnya merupakan azab. Inilah perkara pertama yang perlu dipahami oleh anak-anak agar mereka tidak salah memahami Allah.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?”
(QS. Al-A’raaf, 7: 96-100).

Demikianlah. Ada yang perlu kita renungkan. Dan yang pasti, ada yang perlu kita persiapkan agar anak-anak kita kelak sanggup menegakkan kepala merebut masa depan. Insya-Allah.
Selengkapnya...

Jumat, 11 September 2009

Selamat Datang Bencana

Bencana yang baru saja datang mengguncang sehingga membuat kita lari tunggang-langgang, mungkin bukan yang terakhir. Tangis yang menyayat-nyayat di setiap ujung-ujung jalan karena perginya orang tersayang tanpa pernah bisa diharapkan kembali lagi, mungkin masih akan terulang lagi. Bisa lebih kecil, bisa lebih besar. Kalau kesempatan yang Allah berikan kepada kita saat ini tidak kita pergunakan, boleh jadi kita akan melihat datangnya bencana-bencana berikutnya yang lebih menakutkan.

Ada 351 ayat tentang adzab dalam Al-Qur’an dan puluhan lagi tentang bencana. Semua mewartakan kepada kita tentang apa yang harus kita benahi dalam diri kita. Sebab semua yang ada di langit dan di bumi; dari gunung yang Allah perintahkan menjadi pasak bagi bumi ini hingga laut, semua bertasbih memuji Allah. Maka apabila kemaksiatan dibiarkan merajalela, dan orang-orang yang baik tidak menganggap buruk orang-orang yang melakukan kekejian, para ulamanya diperkaya oleh penguasa, sungguh inilah saat ketika bencana akan datang susul menyusul. Awalnya ia adalah peringatan, meski tetap ada korban yang harus berjatuhan. Tetapi akan datang bencana yang lebih mengerikan dan lebih menghancurkan, apabila kita tidak segera mengambil pelajaran.
Sebagian dari kita Allah beri kesempatan untuk selamat, bukan karena kita lebih baik daripada mereka yang hari ini telah Allah panggil pulang. Tetapi karena Allah masih memberi kita kesempatan untuk berbenah. Allah beri kita kesempatan untuk memperbaiki al-wala’ wa al-bara’ kita. Sungguh, apabila sudah tidak ada lagi pada diri kita kehormatan sebagai seorang mukmin, sehingga tidak merah muka kita karena marah ketika agama ini direndahkan dan maksiat diagungkan, maka do’a orang-orang yang shaleh pun tak lagi dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadis.
Dan hari ini, majalah yang telah menginjak-injak agama ini telah diizinkan kembali untuk terbit dan mengagungkan kemaksiatan. Majalah Playboy telah datang menjumpai para suami untuk melihat aurat perempuan lain. Maka apakah engkau masih berharap bumi ini damai tanpa bencana, sedangkan mukamu tidak merah karena marah oleh kemaksiatan? Maka apakah engkau akan menyalahkan tuhanmu ketika bumi mengering, panasnya membakar dan dinginnya mematikan? Padahal engkau biarkan orang-orang fajir melecehkan kebenaran dan kebaikan.
Ingatlah sejenak ketika Allah berfirman:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.” (QS. Al-Mulk, 67: 16-18).
Sesungguhnya, bencana itu tidak di utara tidak di selatan, tetapi di tempat yang telah Allah takdirkan atau bagi manusia yang telah Allah tetapkan keadaan itu baginya. Maka jika engkau berlari ke selatan karena menghindari bahaya dari utara, boleh jadi kematian itu menyambutmu di tempat engkau mencari perlindungan.
Mari kita simak kembali firman Allah di bagian lain Al-Qur’an:
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) -Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS. Luqman, 31: 31-32).
Jika ombak setinggi gunung yang datang menerjang, maka hanya Allah tempat berlindung paling sempurna. Jika engkau mencari keselamatan dengan berlari ke atas bukit, bukankah putra Nabi Nuh as. ditenggelamkan oleh Allah pada saat dia mencari perlindungan di puncak gunung?
Selengkapnya...

Selasa, 11 Agustus 2009

Motivasi Intrinsik

Seorang ibu bertanya tentang anaknya. Sejak kecil selalu memperoleh ranking bagus di kelasnya. Prestasi akademik selalu cemerlang. Tetapi belakangan minat belajarnya merosot drastis. Tak ada gairah belajar. Tak ada minat untuk mengerjakan PR. Ketika ibunya mengingatkan untuk belajar lebih giat agar rankingnya tidak jeblok, ia berkata, “Aku bosan sama ranking.”

Pertanyaan ibu ini mengingatkan saya pada teori motivasi. Ada motivasi ekstrinsik, ada motivasi intrinsik. Anak kita menyapu lantai agar mendapat sebiji permen dari orangtua, tekun belajar agar dapat ranking satu (karena nanti kita belikan ia sebuah sepeda mungil), atau bersemangat memberesi kamar agar diajak jalan-jalan, adalah contoh motivasi ekstrinsik. Anak melakukan aktivitas apa pun, termasuk shalat dan mengaji, karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan kepadanya merupakan bentuk motivasi ekstrinsik. Kita rajin puasa Senin-Kamis karena ingin lulus ujian, bukan karena berserah diri kepada Allah Yang Maha Tinggi.
Motivasi ekstrinsik cepat pudar. Anak mudah kehilangan semangat karena hadiah yang dijanjikan –termasuk hadiah berupa “ranking”—tidak lagi memiliki daya tarik. Semangatnya melemah (less zeal) karena imbalan yang diberikan meaningless (kehilangan makna), sehingga tak ada lagi alasan untuk mengejar. Seperti anak ibu tadi, mereka bisa bosan dapat ranking yang bagus.
Kapan anak merasa bosan? Ketika anak merasa hadiah itu tak memberi manfaat apa-apa. Anak-anak tidak membutuhkan. Kalau dulu anak bersemangat menyapu untuk memperoleh permen, sekarang permen sudah tidak menarik lagi. Anak butuh rangsangan lebih besar untuk bertindak.
Cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi sekurangnya oleh dua hal. Pertama, nilai imbalan atau hadiah yang dijanjikan kepada anak. Setiap hadiah akan mengalami penyusutan nilai bagi anak. Saat anak belum pernah memegang, sebuah mobil mainan sangat menggiurkan bagi anak. Tetapi ketika berbagai jenis mainan sudah sering ia pegang, mobil-mobilan yang bagus lengkap dengan remote controlnya pun sudah tidak menarik lagi.
Melemahnya daya tarik imbalan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang memberi daya tarik lebih besar. Video-game, misalnya. Semakin kuat keasyikan yang diperoleh anak saat bermain play-station, semakin lemah daya tarik imbalan yang kita janjikan agar anak mau belajar yang rajin. Lebih-lebih jika aktivitas lain yang mengasyikkan itu pada saat yang sama juga menyerap seluruh energi psikis anak sekaligus membuat anak pasif. Berbagai jenis game –juga tayangan TV—membuat anak terpaku secara pasif. Mereka dibombardir dengan gambar-gambar kekerasan yang berganti dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga memaksa mereka untuk terus memperhatikan tanpa berkedip.
Aktivitas semacam ini membuat anak mengalami kelelahan secara psikis. Ibarat truk, bebannya berlebih. Ibarat komputer, sistemnya hang. Macet. Meskipun kemampuannya sangat besar dan kecepatan prosesor sangat tinggi, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik. Anak-anak yang sedang hang, tidak mampu memusatkan perhatian saat belajar dan sulit mencerna buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang permainan yang ia pelototi di video-game. Dalam bahasa komputer, anak ini mengalami registry error. Badannya ada di kelas, telinganya mendengar suara guru, tetapi pikirannya ada di play-station.
Ketika anak mengalami hang, ia kehilangan rasa ingin tahu. Kreativitasnya tumpul. Ia tidak betah berpikir, mencari tahu dan menekuni kegiatan yang menuntutnya berpikir aktif. Ia kehilangan gagasan dan kecemerlangan berpikir, kecuali pikiran untuk kembali menyibukkan diri dengan video-game atau tayangan TV. Pada tingkat yang parah, anak mengalami kecanduan.
Anak yang terlalu banyak memelototi video-game sampai pada tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.
Bisa juga terjadi anak pasif sekaligus impulsif. Secara sosial, mereka terputus dari lingkungan. Pada anak-anak yang tingkat kecanduannya sudah sangat akut, boleh dikata mereka tidak mempunyai kontak dengan orang lain, termasuk orangtua. Interaksinya cuma dengan benda bernama TV, play-station atau layar komputer yang menyajikan game. Mereka tidak betah berinteraksi dengan orang lain. Di saat yang sama, adegan kekerasan yang bertubi-tubi –khususnya dalam video-game—memberi efek desensitisasi. Perasaan mereka tumpul. Hati mereka keras.
Berapa jam waktu menonton yang sehat bagi anak? Sekitar 8 sampai 10 jam seminggu. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat. Dalam The Smart Parent’s Guide to KIDS’ TV, Milton Chen menunjukkan bahwa durasi 4 jam sehari (28 jam seminggu) sudah termasuk kategori yang sangat menakutkan. Benar-benar membahayakan mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.
Alhasil, tak ada yang perlu kita salahkan kecuali diri sendiri kalau anak-anak kita kehilangan motivasi belajar, sementara setiap hari mereka memelototi TV enam jam sehari! Agaknya, ada benarnya ketika Fred Rogers berkata, “Barangkali televisi adalah satu-satunya peralatan elektronik yang lebih bermanfaat justru setelah dimatikan.”
Kedua, cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi oleh tekanan yang mereka terima. Anak yang sering dibebani untuk mendapatkan ranking, cenderung cepat kehilangan minat. Ia belajar di bawah tekanan karena tidak ingin orangtuanya cemberut. Selebihnya, tak ada alasan yang menggerakkan jiwa untuk tekun membaca.
Motivasi ekstrinsik terbagi menjadi dua, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya permen yang kita berikan begitu anak menyapu, jangka panjang misalnya iming-iming pada anak kelas 4 SD kalau lulus UASBN dengan nilai tinggi akan dibelikan laptop baru. Semakin pendek dan nyata iming-iming yang kita berikan, semakin cepat kelihatan reaksinya, sekaligus semakin mudah hilang kekuatannya. Anak-anak yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik jangka pendek, ibaratnya sama dengan mobil mewah tanpa bensin. Kalau lagi didorong, jalan. Tapi kalau tak ada yang mendorong, mogok. Mobil tak bisa berjalan lagi.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, sebaliknya, merasa asyik dengan apa yang dikerjakan, menemukan kegembiraan saat menghadapi tantangan, bahagia ketika mengerjakan tugas-tugas sehingga ia terlibat penuh secara emosional. Mereka berpartisipasi melakukan kegiatan karena menemukan kegembiraan, kebahagiaan, keasyikan atau makna dari apa yang dilakukannya. Bukan demi memperoleh hadiah. Dalam tindakan itu sendiri, ada yang ia dapatkan sebagaimana pendaki gunung memperoleh kepuasan. Kebahagiaannya terletak pada kemampuannya mengatasi rintangan. Bukan pada decak kagum orang yang memandang.
Dalam bukunya berjudul Adolescence (2001), John W. Santrock menulis bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Anak-anak yang motivasi intrinsiknya kuat cenderung lebih kreatif, kaya gagasan, senantiasa menemukan ide-ide segar –pada tahap awal adalah ide-ide permainan—serta ketertarikan yang kuat dalam melakukan berbagai aktivitas. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas dan cenderung memiliki semangat belajar mandiri yang kuat.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, betah membaca berjam-jam meskipun tidak ditunggui orangtua. Mereka merasa membaca sebagai kebutuhan. Bukan tuntutan orangtua dan sekolah.
Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk suatu bidang, tetapi tidak untuk bidang yang lain. Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk hampir semua bidang. Kapan saja, dimana saja dan mengerjakan apa saja, ia bersemangat. Bersungguh-sungguh ia belajar, meskipun tidak begitu menguasai.
Kuatnya motivasi intrinsik mampu membuat seseorang berani menghadapi kesulitan. Kisah tentang Imam Bukhari adalah kisah tentang manusia yang memiliki motivasi intrinsik luar biasa. Ia menempuh perjalanan beratus-ratus kilo, memenuhi kakinya dengan kepenatan, dan membiarkan tubuhnya disengat oleh panasnya matahari demi mendapatkan sebuah hadis. Kalau ia menginginkan harta dari penguasa, tak perlu ia menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang belum tentu ia ambil (karena hadis itu ternyata dha’if, misalnya). Tetapi ada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Ada kecintaan pada agama yang membuatnya tak pernah berhenti mencari ilmu.
Kalau motivasi intrinsiknya sudah kuat, tanpa fasilitas yang memadai pun mereka bisa tumbuh menjadi manusia cerdas luar biasa. Nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal atau –apalagi—Abu Hurairah, bukanlah orang yang memiliki cukup sarana untuk belajar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jiwa menakjubkan. Dahsyatnya motivasi mereka untuk menolong agama membuat daya ingat mereka sangat hebat dan pikiran mereka amat jernih.
Kisah para penemu juga merupakan kisah tentang motivasi intrinsik yang kuat. Bukan kisah tentang banyaknya fasilitas yang mereka miliki. Orang-orang super kreatif bukanlah mereka yang memperoleh latihan gerak dengan iringan musik yang –kadang tanpa disadari guru—sensual. Pernah, saya merasa amat sedih ketika menghadiri acara tutup tahun sebuah lembaga pendidikan. Atas nama kreativitas, anak-anak disuruh lenggak-lenggok memutar badan รก la peragawati, diiringi dengan alunan musik menggoda. Seorang guru berdiri di samping, di seberang panggung, untuk mengawasi sekaligus mengarahkan dengan gerak mulut dan mata.
Mereka lupa –atau tidak tahu—bahwa ketika seorang anak menggerakkan dadanya, lalu memperoleh tepuk tangan meriah, yang menari-nari di benaknya bukanlah “isyhadu bi anna muslimun”, melainkan sensualitas. Bukan kreativitas.
Selengkapnya...

Jumat, 07 Agustus 2009

Menakar Manfaat Training

Suatu ketika sebuah sekolah meminta kesediaan saya memberi training untuk para guru dari jenjang TK sampai SLTP. Ceritanya, salah satu guru di sekolah tersebut pernah mengikuti seminar saya, lalu menceritakan pengalamannya kepada rekan sejawat dan atasan. Dari cerita inilah lembaga tersebut tergerak untuk meminta saya memberi training. Training tentang apa? Pokoknya yang bagus untuk guru. Lalu disebutkan beberapa “kebutuhan mendesak” yang ingin diatasi melalui training. Persoalannya, apakah betul masalah tersebut merupakan masalah sesungguhnya? Dan apakah betul training yang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang sedang meruyak lembaga pendidikan tersebut?

Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, ketepatan memetakan masalah. Kerapkali yang hendak diselesaikan bukan akar masalah, melainkan gejala penyakitnya atau bahkan sekedar masalah ikutan yang kesekian. Jika gegabah memetakan masalah, puluhan kali training tidak akan memberi manfaat apa pun bagi para peserta dan khususnya lembaga (sekolah) yang mengundang, kecuali sekedar menambah wawasan. Bisa terjadi, tingginya frekuensi training hanya sekedar menambah pengalaman menikmati training sehingga bisa membandingkan mana trainer yang lebih menarik. Bukan meningkatkan keterlibatan emosi peserta untuk memperoleh manfaat training bagi kemajuan sekolah.
Kedua, ketepatan memilih bentuk training, termasuk menetapkan skala prioritas training mana yang perlu didahulukan. Kerap terjadi, sebuah lembaga mempunyai sejumlah masalah dan mediator menawarkan sejumlah paket tanpa melakukan asesmen kebutuhan terlebih dulu. Dalam hal ini mediator bisa manajer dari seorang trainer, broker training, atau training center. Berdasarkan tawaran ini, sekolah mengambil paket yang menarik. Umumnya yang diambil adalah paket training yang memperoleh reaksi paling antusias dari peserta di berbagai tempat atau kedekatan materi acara dengan masalah yang terjadi. Sekali lagi, dasar pengambilan keputusan adalah tingkat daya tarik acara. Bukan kesesuaian training dengan kebutuhan riil sekolah. Itu sebabnya sebuah training yang paling baik sekalipun bisa tidak membawa pengaruh apa-apa bagi sekolah, meskipun training dilaksanakan setiap minggu.
Sebelum menentukan jenis, bentuk dan materi training, sekolah perlu melakukan asesmen terlebih dulu untuk menentukan secara tepat kebutuhannya apa; peningkatan kinerja (improving current performance) atau penanganan defisiensi (correcting deficiency). Sekolah yang kinerjanya tidak sehat, potensial konflik dan secara organisasi bermasalah kerapkali menemui hambatan dalam menentukan kebutuhan organisasi karena terlanjur tidak mengenali standar kinerja atau bahkan tidak memilikinya lagi. Standar kinerja dirancukan dengan target yang hendak dicapai atau bahkan visi sekolah maupun yayasan sebagai organisasi induk. Letak kekeliruan itu adalah, training yang seharusnya dimaksudkan untuk menangani defisiensi, tetapi dirumuskan sebagai peningkatan kinerja. Padahal jika masih terjadi defisiensi, maka training peningkatan kinerja tidak akan efektif. Sesering apa pun dilakukan, training tetap saja cuma menjadi hiburan yang menyedot banyak biaya.
Training untuk memperbaiki defisiensi apabila kinerja sekolah tidak sesuai dengan standar yang ada saat ini. Jika sebuah sekolah belum memiliki standar, maka ini sudah menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki masalah serius dalam defisiensi kinerja, sehingga apa pun trainingnya harus bertujuan mengoreksi defisiensi. Bukan meningkatkan kinerja. Sebab training yang dirancang untuk meningkatkan kinerja tidak akan membawa hasil yang sesuai. Bahkan boleh jadi tidak membawa perubahan apa pun selain pengalaman menikmati kegiatan ice breaking berupa game yang menarik.
Jika training yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan lembaga (sekolah), berikutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi pasca training. Apa saja itu? Pertama, reaksi peserta begitu training usai sampai beberapa saat berikutnya. Kedua, pembelajaran apa yang telah terjadi. Ini meliputi pengetahuan apa yang telah dipelajari, keterampilan apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, serta sikap apa saja yang berhasil diubah melalui training. Ketiga, evaluasi terhadap perilaku pasca training. Evaluasi perilaku ini menitikberatkan pada perubahan perilaku yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah training sampai pada kurun waktu tertentu. Apakah perubahan perilaku tersebut bersifat sesaat (immediate effect), jangka pendek (short term effect) ataukah membawa perubahan perilaku yang berkelanjutan. Keempat, evaluasi hasil. Ini berkait dengan peningkatan kualitas apa yang terjadi akibat training, seberapa besar produktivitas meningkat, apa keuntungan teraba (tangible benefits) dari training serta berbagai pertanyaan penting lainnya.
Satu hal lagi. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa training yang dilaksanakan sekolah hanya memberi efek sesaat atau bahkan hiburan semata, maka ini merupakan peringatan agar Anda menghentikan atau meninjau kembali training yang Anda pilih. Tetapi jika hasilnya sangat positif, sebuah PR menanti Anda. Hasil yang bagus itu dalam waktu yang tidak lama akan hilang bekasnya jika tidak dikelola dengan baik. Perlu ada tindak-lanjut yang kongkret, positif dan berkelanjutan. Tidak lanjut ini bukan berarti menyelenggarakan training berikutnya, tetapi merumuskan langkah yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Boleh jadi, hasil dari salah satu rumusan itu adalah menyelenggarakan training lagi. Hanya saja, training yang seperti apa? Kembali lagi, Anda perlu melakukan asesmen kebutuhan training.
Nah, bagaimana dengan training Anda?
Selengkapnya...

Sabtu, 06 Juni 2009

11 Faktor Keberhasilan Siswa

Baik,mari kita buka What Works in Schools: Translating Research into Action yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.

Lalu apa yang bisa kita petik dari What Works in Schools? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.
Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:
Sekolah. Faktor pertama yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukan drilling. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.
Kedua, tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif (challenging goals and effective feedback). Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.
Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.
Ketiga, keterlibatan orangtua dan komunitas. Ini bagian yang sangat penting. Keberhasilan program pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya. Keselarasan antara sekolah dan orangtua berperan besar dalam mempersiapkan anak meraih sukses. Itu sebabnya, sekolah perlu memiliki program yang secara khusus dirancang untuk membekali orangtua agar memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh anak serta keselarasan komunikasi dengan sekolah. Pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh bisa diberikan oleh sekolah melalui kegiatan-kegiatan seperti parenting skill class, in house workshop atau berbagai bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan keselarasan komunikasi bisa dibangun melalui kegiatan family gathering, breakfast with headmaster, atau blog dan milis orangtua yang dikelola oleh sekolah bersama komite sekolah.
Kegiatan breakfast with headmaster (sarapan bersama kepala sekolah) misalnya, bisa menjadi forum dimana orangtua dapat menyampaikan masukan dan protes secara terbuka. Sebaliknya sekolah bisa menyampaikan harapan maupun kebijakan kepada orangtua secara akrab. Melalui forum semacam ini, ganjalan bisa ditiadakan, komplain bisa segera ditangani dan orangtua tidak perlu melontarkan kritik di depan anaknya. Yang terakhir ini, selain tidak produktif, juga menyebabkan kepercayaan (trust) siswa kepada guru bisa melemah. Padahal kepercayaan merupakan kunci sangat penting bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Keempat, lingkungan yang aman dan teratur. Lingkungan yang aman memberi ketenangan bagi staf, guru dan siswa. Sedangkan keteraturan memudahkan siswa beradaptasi dengan peraturan sekolah, peraturan kelas, harapan guru serta keragaman teman. Sedangkan bagi guru, keteraturan memudahkan proses memunculkan perilaku yang diharapkan (expected behavior) dari siswa. Keteraturan juga memudahkan guru membentuk pola belajar.
Kelima, kolegialitas dan profesionalisme (collegiality & proffesionalism). Hubungan yang bersifat kolegial antara guru dengan guru lain, guru dengan kepala sekolah, staf maupun manajemen berperan besar menciptakan komunitas yang bersahabat, akrab, saling menghormati dan saling mendukung. Pada gilirannya, ini sangat menunjang keberhasilan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, terutama dalam menciptakan iklim sekolah (school climate) yang hangat dan saling mendukung.
Tentu saja hangatnya hubungan antar guru dan unsur lain di sekolah tidak boleh mengabaikan tugas pokok mereka masing-masing. Itu sebabnya, kolegialitas harus berjalan seiring dengan profesionalisme.
Nah.
***

Guru. Ini merupakan aspek yang paling menentukan. Studi yang dilakukan oleh Marzano menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun sekolahnya di bawah rata-rata, bahkan sangat tidak efektif. Lebih-lebih jika guru maupun sekolah sama-sama efektif, pengaruhnya akan lebih dahsyat. Sebaliknya, meskipun sekolah terbilang bermutu, prestasi siswa akan merosot jika guru tidak efektif. Artinya, peran guru dalam menciptakan keberhasilan siswa betul-betul sangat menentukan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dari aspek guru. Pertama, strategi instruksional. Ini berkait dengan kecakapan guru menyampaikan materi di depan kelas. Ada 9 aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan menyampaikan materi. Tetapi kita belum bisa mendiskusikannya saat ini.
Kedua, kecakapan mengelola kelas (classroom management). Ada empat aspek yang terkait dengan manajemen kelas, yakni penerapan dan penegakan aturan di kelas, strategi pendisiplinan siswa, menjaga dan memperkuat hubungan yang baik antara guru dengan siswa, serta merawat dan menguatkan sikap mental siswa.
Faktor kedua ini sebenarnya perlu pembahasan yang sangat panjang, tetapi kali ini rasanya cukup sampai di sini mengingat kesempatan yang sangat terbatas. InsyaAllah pada lain kesempatan bisa kita perbincangkan secara lebih serius, termasuk terkait dengan bagaimana mengelola anak-anak dengan perilaku bermasalah agar mereka bisa belajar dengan normal sebagaimana yang lain dan tidak mengganggu teman sekelasnya tatkala mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
Ketiga, desain kurikulum kelas. Ini berkait dengan bagaimana guru merancang kegiatan di kelas secara terstruktur agar tujuan pembelajaran di kelas secara keseluruhan dapat tercapai.
***

Siswa. Ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni lingkungan rumah, kecerdasan yang dipelajari atau pengetahuan yang melatarbelakangi serta motivasi. Saya berharap kita bisa berbincang tentang motivasi siswa secara lebih serius pada lain kesempatan.
Semoga bermanfaat.
Selengkapnya...

Sabtu, 28 Maret 2009

Bekerja untuk Berbagi

Inilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi.
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”
Abu Bakar menjawab, “Aku.”
Maka Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).
Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.
Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.
Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.
Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.
Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.
Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.
Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.
Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.
Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!
Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Sukses Ujian!

Fantastis! Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional. Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.

Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, Exam Success (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.
Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:

Positive Frame of Mind

“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang diperlukan untuk sukses menghadapi ujian, dengan mengabaikan adanya bimbingan belajar dan proses latihan mengerjakan soal yang bersifat terus-menerus, terlebih dulu kita harus memastikan bahwa anak-anak kita –juga guru dan orangtua—memiliki kerangka berpikir yang positif terhadap ujian. Sama realitas yang dihadapi, beda cara pandangnya, akan beda pula dampaknya bagi anak dalam menghadapi ujian nasional.
Berkenaan kerangka berpikir positif ini, ada empat masalah yang perlu kita diskusikan. Pertama, kecemasan menghadapi ujian (test anxiety). Ini masalah pertama yang kerap menyebabkan anak-anak cerdas tak berdaya menghadapi soal ujian yang paling mudah sekalipun. Ibarat kaki, kecemasan menghadapi ujian membuat anak-anak lumpuh tak berdaya. Tetapi pada kadar tertentu, kecemasan bermanfaat meningkatkan gairah dan kesungguhan belajar anak sehingga ujian terasa begitu menantang. Bukan menakutkan. Kecemasan pada tingkat ini justru meningkatkan prestasi siswa (Hembree, 1988).
Ini berarti, guru maupun orangtua bertugas menjaga kadar kecemasan anak agar tidak melebihi ambang batas.
Tetapi bagaimana mungkin guru dan orangtua mampu menjalankan tugas tersebut jika mereka memandang ujian nasional terlalu penting? Sebegitu pentingnya, sampai-sampai mereka sendiri menghadapi kecemasan yang jauh lebih menakutkan dibanding anak-anak.
Kedua, kendali emosi pasca ujian. Setelah ujian usai, atau dalam istilah McIlroy after the horse has bolted, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali dan mengoreksi kekeliruan yang terjadi selama ujian. Kita juga tidak bisa memperbaiki dan meminta orang lain menambahkan jawaban yang baru teringat sekarang jawabannya, meskipun 100% kita tidak nyotek. Situasi ini jika tidak terkendali akan menimbulkan kekhawatiran dan menjadi pemicu bagi patah semangatnya anak. Lemahnya kendali emosi pasca ujian juga bisa menyebabkan anak kehilangan gairah belajar, mengalami kecemasan yang sangat tinggi atau anjlok sikap optimisnya menghadapi ujian sehingga kehilangan kemampuan puncaknya dalam menghadapi ujian yang tersisa.
Ketiga, umpan balik dari ujian. Masalah ketiga ini umumnya bersumber dari guru!! Sangat sering terjadi, guru tidak memberi umpan balik sama sekali terhadap ulangan harian maupun ujian semester. Paling-paling guru hanya membahas soal yang diujikan. Atau yang sedikit lebih baik, guru memberi umpan balik secara umum. Tetapi tidak memberi umpan balik yang bersifat personal.
Apa pengaruhnya? Tidak adanya umpan balik menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk:
1. Mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering terjadi pada dirinya ketika menghadapi ujian.
2. Mengembangkan ujian diagnosis untuk melacak kelemahan anak.
3. Memberi perhatian pada strategi ujian yang efektif untuk membantu mengambil tindakan yang tepat sebelum ujian.
4. Guru dan orangtua kehilangan kesempatan menyiapkan latihan (exercises) yang merangsang anak belajar lebih cerdas dan lebih serius, sehingga kita tidak perlu lagi memberikan latihan yang bersifat drilling.
Keempat, merasa terisolasi. Ketika anak sedang menghadapi ujian, kerapkali mereka merasa sendiri dan terisolasi. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.
Merupakan tugas guru maupun orangtua untuk menyiapkan mental anak agar mereka merasa nyaman dengan ujian. Meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri, ada orangtua yang mendukung mereka secara tulus dan menerima apa adanya, ada sekian banyak teman yang mengharapkan kesuksesannya, dan ada masa depan yang menanti untuk sebuah kesempatan belajar yang lebih baik, serta berbagai aspek mental lain sangat bermanfaat bagi anak dalam meraih sukses. Dan ini sebaiknya kita berikan jauh sebelum mereka ujian. Jika persiapan mental kita berikan secara terpadu dengan proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun, maka ujian nasional seharusnya merupakan pesta kecil yang dinanti. Bukan bencana besar yang mengerikan.

***

Kalau kita perhatikan, empat masalah tersebut semuanya berkait dengan sikap mental. Ini berarti bahwa penyiapan mental anak menghadapi ujian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka. Kesiapan mental juga mempengaruhi gairah belajar dan tingkat kesungguhan dalam berusaha.
Secara sederhana, kita bisa memacu munculnya sikap mental positif secara cepat melalui berbagai program instant. Tetapi ini cukup melelahkan dan beresiko. Sikap mental positif yang melejit secara cepat akan beresiko menyebabkan mereka secara mental juga akan terhempas sampai pada titik nadir tatkala mereka gagal meraih target yang diimpikan. Selain itu, mereka juga cenderung kurang siap menghadapi situasi yang mengejutkan. Ini sangat berbeda dengan pembentukan sikap mental positif melalui proses edukasi yang bersifat jangka panjang, terstruktur dan terencana.
Nah, mana yang Anda pilih? (Mohammad Fauzil Adhim, SchoolMarketing).
Selengkapnya...