Rabu, 31 Desember 2008

Surat di Akhir Tahun

Tak berapa lama lagi, tahun ini akan berakhir. Berganti dengan tahun berikutnya. Tak ada sesuatu yang benar-benar berarti untuk berubah, tetapi betapa banyak yang menghabiskan waktu dengan sia-sia sambil mentertawakan Yang Maha Kuasa. Mereka menyibukkan diri menunggu berubahnya waktu, padahal waktu akan berubah dengan sendirinya tanpa harus ditunggui. Mereka banyak menghabiskan uang, tenaga dan usia. Sementara terhadap tuhannya, hampir-hampir mereka lupa.

Alangkah zalim kita pada diri sendiri. Seakan kita mampu memperpanjang usia kita seukuran kehendak kita. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla yang lebih berhak mengakhiri. Dialah Tuhan yang apabila menghendaki sesuatu, cukuplah berkata “Kun! Jadilah!”, maka jadilah apa yang dikehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi.
Atas diri kita yang pongah dan menyombongkan kekayaan, Allah Maha Kuasa untuk mencabutnya setiap saat. Atau menghapuskan kenikmatan darinya, sehingga tak berguna lagi, meski ada dalam genggaman kita. Dan tidakkah engkau lihat kesudahan orang-orang sebelum kamu?
Sungguh telah berlalu umat-umat sebelum kita, sebagaimana berlalunya waktu. Telah berlalu kaum Tsamud yang Allah musnahkan mereka dengan air yang menenggelamkan. Telah berlalu pula kaum Aad. Mereka terkubur bersama seluruh kebesaran dan kekayaannya, dengan cara yang begitu cepat dan tak terduga.
Maka, apakah engkau akan mengundang kemurkaan-Nya malam ini dengan tiupan terompet yang memekakkan telinga? Padahal ada tangis-tangis bayi yang kelaparan, dan ada kesengsaraan saudara-saudaramu yang ditimpa bencana! Apakah engkau mengingini suatu masa ketika tiupan terompet berubah menjadi jeritan panjang yang tak terdengar, kecuali oleh ombak-ombak yang menjalankan perintah-Nya dengan penuh ketaatan.
Sungguh, Allah Maha Kuasa untuk membalikkan gunung menjadi serpihan batu-batu pijar yang panas, dan meluapkan air laut sehingga menenggelamkan apa saja yang harus ditenggelamkan.
Maka, apakah engkau masih akan menyelenggarakan pesta-pesta untuk bermaksiat kepada-Nya secara sengaja? Padahal setiap saat rasanya kita lebih banyak bermaksiat daripada berbuat taat, meski kita tidak mengingininya.
Dan apakah engkau masih akan meragukan kekuasaan-Nya, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla tunjukkan kedahsyatan yang lebih mengerikan di hadapanmu? Ingatlah kepada seorang manusia yang atas kesanggupannya membuat kapal yang kokoh, lalu mengira ia dapat mengalahkan Tuhannya. Ia pongah terhadap kekuatannya yang tak seberapa, sehingga keluarlah dari mulutnya kata-kata, “Bahkan Tuhan pun tak akan sanggup menenggelamkannya.” Tetapi kita semua telah belajar dari sejarah bagaimana kapal yang disebut Titanic itu, terbelah menjadi dua oleh air tanpa bisa ditolong lagi.
Tak ada waktu bagi kita untuk berhura-hura malam ini, ketika kita tahu ada ribuan anak yang tiba-tiba menjadi yatim di seberang sana. Tak ada waktu bagi kita untuk menghabiskan umur dan kekayaan demi merayakan apa yang seharusnya kita renungi sambil menangis, sementara kita tahu ribuan jiwa membutuhkan uluran tangan dan ketulusan kasih-sayang.
Tak ada waktu bagi kita untuk meniupkan terompet kegembiraan, sementara kita tahu ribuan saudara kita sedang dicekam oleh kesedihan. Mereka tak memiliki harapan. Mereka tak memiliki masa depan. Mereka tak memiliki sanak-saudara. Maka sudah saatnya kita menyapa mereka, memeluk mereka dengan penuh ketulusan meski kita tak sanggup meraih tangannya, dan memberikan kedamaian dengan ikatan iman. Kalau kerabat yang mengikat mereka dengan hubungan darah sudah tiada, maka kitalah saudara mereka karena iman yang sama. Sebab, setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Lalu apakah yang sudah engkau lakukan untuk mereka?
Semoga ada yang dapat kita lakukan untuk mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Bukan murka-Nya.
Semoga kita dapat merenungkan hal-hal yang demikian. Semoga pula Allah datangkan kebaikan bagi saudara-saudara kita di Nangroe Aceh Darussalam, sesudah datangnya musibah dan kesedihan.
Selengkapnya...

Selasa, 30 Desember 2008

Belajar Menulis Pada Al-Qur'an

Saya tulis jejak belajar ini awal bulan November 2005. Sempat menjadi bahan diskusi di beberapa forum, tetapi sengaja saya simpan meski ada penerbit yang memintanya untuk diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku tentang kepenulisan. Sederhana saja. Di dalamnya ada komentar terhadap beberapa buku yang sedang laris-larisnya saat itu, tetapi berdasar sedikit ilmu yang sempat saya pelajari, sepertinya tak cukup kuat untuk bertahan.
Hari ini, saya ingin berbagi. Bukan untuk membuktikan kebenarannya, tetapi untuk sama-sama berbenah. Ingatkanlah jika ada yang salah.

Betul sekali. Saya seorang muslim, karena itu kebiasaan dasar yang harus saya miliki agar bisa berislam dengan baik adalah membaca dan me¬nyampaikan ilmu melalui tulisan. Ayat yang pertama turun menyu¬ruh kita membaca. Bukan shalat atau berpuasa! Allah menurunkan ayat-ayat pertamanya juga dengan menggunakan kata bertutur yang menarik, dan kalau eng¬kau ingin mengajak orang kepada Islam sistematika ini harus engkau perhatikan. Allah mem¬perkenalkan diri-Nya dengan menggunakan kata “rabb”. Bukan Allah. Rabb artinya Tuhan. Kalau ditelisik lagi berkait dengan tauhid rububiyah, meyakini bahwa yang menciptakan dan merawat alam semesta se¬isinya adalah tuhan. Tuhan yang mana? Nanti dululah. Yang jelas Tuhan Yang Maha Mencip¬takan, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Begitu sete¬rusnya sampai akhirnya Allah tunjukkan bahwa rabb yang dimaksud adalah Allah, satu-sa¬tunya yang layak menjadi al-ilah (tuhan yang disembah dan dipatuhi).
Kalau engkau punya waktu sejenak saja untuk mempelajari sistematika turunnya wahyu, akan engkau dapati pelajaran-pelajaran berharga yang luar biasa. Belum lagi kalau kita mempelajari tafsirnya, semakin banyak yang tergali dan semakin terbentang petunjuk yang bisa kita dapatkan. Begitu juga jika engkau mau meluangkan waktu sejenak untuk menyimak stilistika Al-Qur’an, bertumpuk pelajaran psikologi komunikasi yang akan engkau dapatkan.
Maaf, saya menggunakan kata bertumpuk karena kerap saya jumpai kita memperoleh banyak pelajaran melalui berbagai seminar yang digelar, tapi hanya kita tumpuk saja; di meja atau di otak kita. Bukan kita gunakan untuk menggerakkan diri kita sehingga melahirkan kekuatan dahsyat yang luar biasa.
Ah, saya ingin bincang-bincang sejenak tentang ini. Satu syaratnya, engkau percaya bahwa surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an semuanya mengajak kepada iman dan taqwa, mendekati surga dan menjauhi neraka, menggemarkan berbuat baik dan menjauhi perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa, mempercayai adanya hari kiamat dan surga yang kekal abadi serta pengadilan yang tak seorang pun bisa lari (termasuk koruptor yang sekarang masih terlindungi, juga nggak bisa lari). Engkau percaya ini? Kalau percaya, mari kita teruskan. Kalau tidak, sampai jumpa di lain kesempatan.
Yupp, naam. Benar sekali setiap surat dalam Al-Qur’an selalu mengajak kepada iman dan amal shaleh serta mensucikan tauhid dan membersihkan diri dari syirik? Tapi periksa judul surat dalam Al-Qur’an! Berapa yang berhubungan dengan tauhid? Hanya sekitar sepuluh persen. Tepatnya? Coba kita hitung. Biar lebih mudah, pada bagian akhir tulisan ini saya akan sajikan daftar nama surat dalam Al-Qur’an.
Mari kita periksa nama surat-surat permulaan dalam Al-Qur’an. Ah, ya…. Betul sekali. Al-Faatihah –The Opening—sesuai namanya menjadi pembuka. Surat kedua Al-Baqarah, Sapi Betina, tetapi bukan tentang peternakan sapi. Struktur surat ini juga unik. Jika engkau ingin bikin tulisan persuasif, alur penuturan surat ini bisa engkau tiru. Ingat hasil penelitian tentang persepsi terhadap sifat orang, kan? Itu lho penelitian eksperimental Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Jika saya ceritakan kepadamu bahwa calon isterimu cerdas, rajin, lincah, kritis, kepala batu dan dengki, engkau akan membayangkan dia sebagai orang yang “bahagia”, humoris, dan “mudah bergaul”. Tetapi jika engkau membalik rangkaian kata itu mulai dari dengki, kepala batu dan seterusnya, kesanmu tentang dia segera berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang engkau dengar pertama kali akan mengarahkan pada penilaian selanjutnya. Kata “kritis” pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif; pada rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini, kata Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (o ya, saya kutip penelitian Asch dari buku Kang Jalal ini), kemudian terkenal sebagai primacy effect. Dalam beberapa kesempatan, penelitian eksperimental Asch ini saya ulang dan hasilnya… hampir semua sama, kecuali ketika saya cobakan pada ustadz-ustadz Hidayatullah (mereka memelototi cukup lama sebelum memutuskan).
Satu lagi. Jika engkau menghadapi orang yang membantah pendapatmu, atau ingin menyampaikan gagasan kepada orang lain, mulailah dari yang positif dan menimbulkan hasrat untuk mencapainya. Bukan hal-hal negatif yang ingin kita jauhi, sebab otak kita cenderung bekerja lebih efektif pada pesan-pesan positif. Komentar “Masakanmu enak sekali hari ini. Kalau garamnya dikurangi sedikit, pasti lebih enak” insya-Allah akan segera membuat isterimu tersenyum lebar selebar-lebarnya. Tetapi tidak demikian ketika engkau mengatakan, “Lain kali kalau kasih garam jangan terlalu banyak. Pasti masakanmu akan lebih enak lagi.” Apalagi kalau engkau berkata, “Kamu itu tahu bedanya gula dengan garam nggak, sih? Bikin masakan kok terlalu asin?”
Bisa merakan bedanya ketiga kalimat tadi? Saya harap engkau dapat merasakan. Kalau tidak, cobalah. Kalau sulit, mungkin engkau belum menikah. “Oh, tidak. Saya sudah menikah,” barangkali ada yang protes begitu. Kalau benar sudah menikah, ada satu pertanyaan buatmu, “Seberapa baik engkau mengenal isterimu sehingga sulit merasakan perbedaan akibat dari ketiga kalimat yang mungkin paling sering engkau ungkapkan?”
Ketika menulis buku Indahnya Pernikahan Dini, saya mencoba menggunakan pendekatan ini. Yang namanya menikah, ya jelas ada tantangan yang harus dihadapi. Masalah pasti ada. Sama seperti kuliah, dari S-1 sampai S-3 pasti ada ujiannya. Cara kita menyampaikanlah yang akan membedakan persepsi pembaca.
Di buku Indahnya Pernikahan Dini, saya memulai dengan paparan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seputar kenapa kita harus menikah dini?; kenapa menikah dini jauh lebih baik dibanding menikah saat usia sudah di atas kepala tiga?; apa manfaat menyegerakan nikah?; serta pertanyaan sejenis. Saya paparkan dengan menghadirkan contoh, argumentasi ilmiah dan sentuhan perasaan. Baru sesudah itu pembicaraan bergeser ke arah yang “lebih berat” dan “kurang menyenangkan”. Ada bagian akhir pembahasan tentang mereka yang sukses dan yang terhempas (ohoi, lihat strukturnya! Sekali lagi positif dulu baru negatif) serta bagaimana menghadapi orangtua jika mereka menentang pernikahan kita (ini masalah yang bikin grogi juga kan buat menikah dini?). Alhasil, tulisan terasa lincah, positif, menggugah dan membangkitkan semangat. Coba kalau di balik, lain lagi ceritanya.
Baiklah, saya tidak berpanjang-panjang dengan ini. Kita bukan sedang berbicara pernikahan (maafkan saya kalau contoh yang saya berikan berbau pernikahan). Saya paparkan contoh-contoh tersebut untuk mengajak melihat kekuatan pendekatan positif. Gaya bertutur Al-Baqarah begitu. Pertama, menyebut golongan muttaqin, berlanjut dengan menyebut iman dan golongan orang-orang beruntung (muflihun) yang secara keseluruhan menunjukkan ciri orang-orang mukmin. Kedua, menyebut golongan orang-orang kafir dan munafik. Sesudah itu menginjak bagian berikutnya, mulai memasuki ayat-ayat yang berisi perintah. Sebagaimana bagian sebelumnya, bagian ini juga dimulai dengan perintah bagi orang-orang yang beriman, lalu diikuti dengan tantangan bagi orang-orang musyrik; balasan bagi orang-orang yang beriman, perumpamaan dalam Al-Qur’an dan hikmah-hikmahnya, bukti-bukti keesaan Allah, penciptaan manusia dan penguasaannya di muka bumi, lalu berlanjut dengan peringatan kepada Bani Israel. Berikutnya masih panjang, tetapi engkau bisa memeriksa langsung Al-Qur’an yang ada di tanganmu.
Coba perhatikan, misalnya, surat Al-Ikhlash. Surat ini membantah perkataan manusia bahwa Tuhan beranak dan diperanakkan. Tapi lihat, bagaimana Al-Qur’an memulai bantahannya? Pertanyaan positif. Bukan bantahan yang bersifat negasi. Pada kalimat ketiga baru Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kalimat negatif. Lengkapnya, mari kita perhatikan: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa//Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu//Tidaklah Dia beranak dan tidaklah Dia diperanakkan//Dan tidaklah ada seorang pun yang setara dengan Dia//”. (QS. Al-Ikhlash: 1-4).
To make the story short, ada beberapa hal yang kita pelajari. Pertama, tulisan yang islami dan kita maksudkan untuk berdakwah secara keseluruhan harus berisi hal-hal yang baik. Sedangkan cara mengkomunikasikan sangat berkait dengan pembaca sasaran (target readers). Tulisan yang islami tidak mesti bertabur dengan dalil dan kalimat-kalimat yang bisa bikin pening orang apabila belum akrab. Kita mulai dari hal-hal yang pembaca lebih mudah menerima.
Kedua, selalu pertimbangkan judul yang hidup, menggugah, romantis dan sesuai dengan konteks zamannya. Kalau mau mengajak anak-anak ABG yang biasa nongkrong di kafe-kafe mall untuk berjilbab, bikinlah judul “Suer! Gue Cantik Banget”. Bukan “Urgensi Hijab bagi Ukhti Muslimah” (awas, mereka bisa lari terbirit-birit). Rasulullah saw. bilang, “Mudahkan dan janganlah engkau mempersulit. Gembirakanlah dan jangan engkau buat mereka lari.” Ini prinsip komunikasi dan sekaligus sikap dakwah. Maka, mulailah buku “Suer! Gue Cantik Banget” dari hal-hal positif yang dekat dengan dunia mereka (Thanks God You Make Me Pretty, Are You Pretty Enough, The Real Beauty –kalau engkau setuju dengan pembagian bab ini—baru memasuki bab yang bertutur tentang kenapa mereka harus berjilbab, misalnya dengan judul bab “Beautiful Forever” atau “Everlasting Beauty”).
Kitab para ulama terdahulu banyak yang menggunakan judul indah dan romantis. Kitab Qathrunnada bukan berbicara tentang pagi yang indah maupun asal usul air. Kitab ini berbicara tentang nahwu. Tata Bahasa Arab. Padahal artinya setetes embun. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis buku dengan judul yang sangat indah Raudhatul Muhibbin. Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Bukan “Rambu-rambu Islam bagi Orang yang Sedang Jatuh Cinta”. Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan ‘Ilmu-‘ilmu Agama) merupakan kitab fenomenal Imam Al-Ghazali. Judulnya hidup dan positif. Bukan Rudud ala Abathil. Bantahan terhadap Pendapat-pendapat yang Sesat. Emm… saya bukan menolak kitab yang sangat berharga ini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa judul semacam Rudud ala Abathil biasanya sulit menjadi karya fenomenal dan legendaris (so, kalau bikin judul yang menggugah, deh. Jangan bikin pusing).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, buku Mbak Asma Nadia berjudul Jangan Jadi Muslimah Nyebelin rasanya akan lebih menggugah minat baca (dan beli) kalau menggunakan judul positif. Saudara-saudara kita yang masih pacaran, setidaknya masih menyimpan sebuah nama di hatinya dengan perasaan yang amat mendalam, tidak akan menyentuh buku “Islam Menolak Pacaran”, kecuali kalau mereka sudah ada keinginan untuk bertaubat. Sementara buku Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, rasanya hanya para murabiyyah yang akan bergegas membaca buku tersebut. Bukan mutarabi. Apalagi yang masih muter-muter. Padahal buku ini sangat bagus, dan isinya penuh gizi bagi siapa saja yang merasa dirinya wanita atau yang isterinya seorang wanita.
Apakah judul negatif tidak bisa laris? O, bisa saja. La Tahzan contohnya. Karya besar ‘Aidh Al-Qarni ini menjadi buku paling dicari di berbagai negeri. Kita juga bisa melihat karya Oleh Solihin yang berjudul Jangan Jadi Bebek. Buku ini laris manis, meski saya tidak terlalu yakin akan dapat mempertahankan posisinya sebagai buku terlaris dalam lima tahun. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin juga memungkinkan untuk laris dan bahkan laris manis banget. Kok bisa? Saya berharap bisa meluangkan waktu secara lebih khusus untuk membahas masalah ini dengan gamblang. Kali ini, saya hanya ingin menyebut satu hal saja: kredibilitas dalam “komunitas” dan efek karambol yang ditimbulkannya (emm…, tapi kalau buku Jangan Jadi Seleb karya Kang Oleh tidak selaris Jangan Jadi Bebek, sebabnya bukan semata karena judul yang negatif).
Ketiga, biasakan menggunakan pendekatan positif. Sebuah Cerpen atau bahkan novel yang baik tidak mutlak membutuhkan tokoh antagonis yang bikin eneg. Ingat penelitiannya David McClelland. Tulisan yang secara keseluruhan inspiring good ‘menggugah inspirasi yang baik”, jauh lebih bergizi bagi jiwa daripada kisah yang suddenly good. Habis mabuk-mabukan, susah dinasehati, kacau balau hidupnya, lalu secara spontan berubah jadi orang baik tanpa kita bisa mempelajari prosesnya. Kita tidak merasakan dorongan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayah. Alih-alih berdakwah, bisa terjadi justru sebaliknya. Kisah-kisah itu secara keseluruhan atau sebagian besar inspiring bad. Menginspirasikan gagasan buruk: “belajar suka-suka, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ibarat taubat, yang kita peroleh dari kisah-kisah semacam ini bukan dorongan untuk melakukan taubatan-nashuhah. Dan inilah yang sekarang ada di sinetron-sinetron kita: menjadi baik secara instant dan mengejek Tuhan sebagai tukang marah dan memberi hukuman yang aneh-aneh. Padahal rahmat Allah mendahului murka-Nya.
Saya sepakat sekali dengan Deddy Mizwar dalam perkara ini. Dalam wawancaranya dengan majalah Hidayatullah, November 2005, Deddy Mizwar mengatakan, film “religius” menghina Allah. Berikut saya petikkan untukmu sebagian dari penuturan sineas kita ini:
“Yang kita lihat selama ini,” kata Deddy Mizwar mengomentari maraknya sinetron yang dianggap islami, “adalah tontonan yang memperlihatkan gaya tidak islami di layar kaca. Padahal katanya agama itu diturunkan untuk membawa manusia dari kegelapan ke tempat terang benderang. Namun, kita tidak melihat pesan itu di tayangan yang katanya “religius” sekarang ini. Yang ada tayangan berantem sama jin, dan kekejaman Allah. Seolah Allah itu tidak rahman dan rahiim. Yang ada wajah Allah yang beringas.”
“Menurut saya,” kata Deddy Mizwar melanjutkan, “itu penghinaan terhadap Allah. Karena Allah memuliakan yang namanya manusia. Sampai-sampai, malaikat pun bersujud pada manusia. Tapi kita sebagai manusia terus bikin citra bahwa manusia itu makhluk yang selalu berbuat maksiat. Itu penghinaan terhadap ciptaan Allah. Na’udzubillahi min dzaalik.”
Nah.

Emmm… bagaimana jika kita menulis dengan niat yang baik? Bukankah segala sesuatu tergantung pada niatnya?
Tepat sekali. Inilah ungkapan yang paling banyak kita pakai untuk membela diri. Benar, segala sesuatu tergantung niatnya sepanjang sesuatu itu baik. Artinya, kalau kita menulis yang baik, belum tentu pahala kita dapatkan jika tulisan itu tidak kita maksudkan untuk hal-hal yang baik; hal-hal yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla sehingga terhitung sebagai ibadah. Sementara keburukan, tak akan berubah nilainya sekalipun kita maksudkan sebagai kebaikan. Itu sebabnya, kita perlu membekali diri dengan ilmu sebelum beramal. Al-‘ilmu qabla al-‘amal. Ilmu itu mendahului amal. Bukan sebaliknya.
Ini sama halnya dengan orang yang menebak-nebak maksud Al-Qur’an, menggunakan ra’yu (rasio) tanpa bekal, lalu secara kebetulan yang ia simpulkan itu bersesuaian dengan maksud Al-Qur’an. Pada yang demikian ini, tak ada pahala baginya (awas, jangan keliru. Saya bukan sedang merendahkan kemampuan akal. Ada sendiri takarannya, dan engkau bisa membaca uraian yang sangat memuaskan di buku Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam).
Tulislah karya-karya yang sedari awal menggerakkan orang pada kebaikan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an bertutur dan Rasulullah saw. berkisah. Lihatlah banyak kisah bertebaran dalam Al-Qur’an, dan tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla banyak menggunakan kisah untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya melainkan pasti ada kekuatan besar di dalamnya. Maka, sekaranglah saatnya engkau belajar menghimpun kekuatan, mengolahnya dan menggunakannya dengan setepat-tepatnya. Sesungguhnya, ada kekuatan luar biasa di balik jalinan kata yang dirangkai.
Rasulullah saw. bertutur bahwa sesungguhnya di antara bayan itu as-sihru. Sihir. Bayan itu untaian kata untuk mengkomunikasikan sesuatu. Penjelasan. Penuturan, dan yang semakna dengan itu. Artinya, ada kekuatan yang luar biasa pada kata-kata yang tersusun rapi, baik secara lisan maupun melalui tulisan. Ka¬lau kita bisa menggunakan dengan baik, dampaknya juga akan sangat dahsyat.
Bagaimana dengan kisah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang itu? Lihatlah elan vitalnya. Semangat hidupnya. Ruh dari kisah itu dari awal hingga akhir. Bukan menggambarkan tentang pembunuhan, tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan keinginan yang kuat untuk bertaubat. Keinginan yang menyala-nyala untuk menjemput hidayah, dan untuk itu ia rela menempuh perjalanan hingga ia menemui kematiannya sebelum tiba di tempat tujuan. Dari awal hingga akhir, usaha menemukan pintu taubat yang menjiwai. Bukan kisah kriminalnya sebagaimana tayangan-tayangan menjijikkan di TV-TV kita hari ini.
Kisah tentang pelacur yang masuk surga juga demikian. Elan vital kisah ini adalah tulus kasih-sayang yang muncul secara spontan untuk menyantuni seekor anjing yang sedang kehausan. Tak ada yang bisa ia gunakan untuk menolong binatang yang air liurnya najis tersebut, kecuali sepatunya. Tak ada tali yang bisa ia gunakan untuk mengambil air dari sumur kecuali ikat pinggangnya. Tetapi ketika ada kesungguhan yang luar biasa untuk menolong, Allah ‘Azza wa Jalla mengaruniakan kepadanya ampunan dan surga. Padahal ia seorang pela¬cur, sedangkan binatang yang ia tolong adalah seekor anjing.
Apa yang bisa kita petik? Kekuatan penggerak (driving force) untuk berbuat kebaikan dari awal hingga akhir yang melahirkan usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Inilah yang akan melahirkan kekuatan untuk menginspirasi dari setiap tetes tinta yang kita goreskan.
Engkau lihat, Al-Qur’an sudah bertutur kepadamu. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut, 29: 69).
Alhasil, kalau mau menulis, jangan bawa bekal pas-pasan. Mau menulis kisah yang mengajak orang pada kebenaran, ya pelajari apa kebenaran itu dan bagaimana orang bisa mencapai hidayah. Kemampuan berimajinasi adalah bekal minimal menulis fiksi. Penulis memang punya hak untuk berkhayal, tapi kebenaran tak bisa ditawar. Seperti saya bilang dalam buku Inspiring Words for Writers, “Keindahan tanpa kebenaran, ibarat makanan lezat tanpa gizi. Kebenaran tanpa keindahan ibarat obat sakit gigi. Ia hanya dicerna saat sakit; saat benar-benar membutuhkan.”
Jadi, bawalah perbekalan yang banyak sebelum menulis agar setiap tetes tintamu penuh gizi. Kalau memang harus menguras tangis, biarlah karya-karyamu membangkitkan tangis yang mulia di sisi-Nya. Bukan karena menangisi karyamu. Sungguh, sebuah karya yang benar-benar bergizi dan mengantarkan menu-menu hidayah jauh lebih berharga daripada berpuluh-puluh buku yang hanya menghasilkan peluh karena capek membaca.
Sesudah hidayah datang, ia harus melalui ujian. Perintang-perintang hidayah itu ada di dalam diri kita sendiri maupun dari bisikan-bisikan orang lain. Ini yang paling ringan. Tetapi siapa bilang yang paling ringan itu ringan pula menghadapinya? Cobalah tanya kenapa saudara-saudara kita yang pakaiannya amat mengenaskan karena sedikitnya kain, padahal ia telah tahu kemuliaan berjilbab, apa yang menghalanginya untuk segera menutup auratnya secara sempurna. Jangan kaget, penghalang terbesarnya boleh jadi dirinya sendiri. “Nanti kalau diketawain orang, bagaimana?” “Ah, saya kan belum bisa jadi orang baik, masak sudah pakai jilbab” “Sebenarnya sih sudah pingin banget pakai jilbab, tapi tanggung-jawabnya itu, lho” dan beribu-ribu pikiran lain yang menari-nari dan sekaligus menakut-nakuti.
Jadi, bagaimana? Coba deh engkau tuliskan karya yang membuat mereka memiliki penguat hati dan orang lain bisa belajar berempati. Tulislah novel misalnya, yang sedari awal berisi perjuangan seorang ayah melawan kebiasaan memarahi anak (kalau ada yang tahu resep mengubah ayah yang galak menjadi lembut tanpa amarah secara instant, beritahukan pada saya!) sampai akhirnya benar-benar mampu meredam kemarahannya. Sehari tidak marah sama sekali karena jiwa telah berubah. Bukan karena pingsan.
Tulis pula misalnya bagaimana perjuangan Si Katty yang seksi untuk sekedar berjilbab. Benar-benar berjilbab karena mentaati perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari awal, novel ini merekam gejolak jiwa Katty untuk mulai mengenakan busana muslimah sejati. Gambarkan perjuangan Katty melawan dirinya sendiri. Atau bikinlah cerita tentang bagaimana perjuangan melawan diri sendiri agar bisa qiyamul-lail setiap hari (beritahukan padaku kalau ada yang punya resep menjadi ahli qiyamul-lail dalam sekejab agar kuubah seluruh penduduk negeri ini menjadi orang-orang yang banyak bermunajat di hadapan Allah menjelang dini hari).
Lho, kok nyinyir gitu, sih? Ah, nggak. Saya cuma teringat pada firman Allah di surat Huud ayat 7. Tentang ujian bagi orang yang beriman, Allah berkata:
“…agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Huud, 11: 7).
Berkaca pada ayat ini, rasanya kurang sesuai dengan spirit Islam kalau kita menyibukkan pembaca dengan hal-hal yang tidak berguna, kecuali ujungnya saja. Tokohnya urakan, akhlaknya tidak karu-karuan dan bahkan sampai pada tingkat yang sangat menjijikkan, tetapi di akhir cerita tiba-tiba tersadar ketika melihat perilaku seorang akhwat yang shalihah, ikhwan yang hanif atau ustadz yang sangat bersahaja. Di berbagai cerita lain saya baca, tokoh antagonis –ironisnya jadi tokoh utama—menjalani hidup yang sangat berantakan. Di akhir cerita, tiba-tiba ia berubah oleh peristiwa sederhana. Tak ada proses mental dapat dinalar oleh para pembaca. Tak ada pergulatan emosi yang bisa dirasakan.
Kisah semacam ini tidak sesuai dengan fitrah manusia! Tidak Islami.
Ouw, memang bisa saja seseorang berubah karena peristiwa-peristiwa sepele, sebagaimana seseorang bisa masuk surga karena perbuatan sepele. Tetapi sesuatu yang sepele hanya akan berarti apabila proses mental yang memadai. Kita menangkap what’s behind the fact; memahami prinsip-prinsip yang bekerja di balik fakta.
Pernah lihat Miracle? Ini film tentang Herb Brooks, pelatih team hockey Amerika ketika harus menghadapi team Soviet di Olimpiade 1980. Sedari awal, film ini menuturkan kesungguhan Brooks untuk membawa team pecundang (Amerika bukan pemain hockey yang hebat) agar mampu menaklukkan Soviet –team terbaik dunia. Tantangan –dan juga hambatan—tentu saja ada. Tetapi kisah ini memusatkan perhatian pada bagaimana Brooks berjuang dengan gigih menjadikan teamnya layak menyandang gelar juara. Sebuah rangkaian kisah yang benar-benar menggugah. Menginspirasi.
Film ini akan berbeda pengaruhnya jika lebih banyak menampilkan sepak terjang para penentangnya. Bukan upaya gigih Brooks membangun kehebatan team hockey-nya. Kita cenderung berempati dan tergugah berbuat baik jika membaca kisah seorang polisi yang berjuang melawan korupsi di kesatuannya dan pada saat yang sama harus menggulung sindikat kejahatan yang di-back up komandannya. Tetapi akan berbeda akibatnya jika kita melihat visualisasi cerita seorang penjahat tentang apa yang mendorong ia memperkosa dan bagaimana ia melakukannya. Yang terakhir ini, meski kita juga melihat bagaimana penjahat itu telah babak belur, justru mendorong inisiatif jahat. Berbagai studi menunjukkan, kejahatan justru meningkat ketika berita kriminal bertambah seru. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi di negeri kita yang semata wayang.
Kenapa demikian?
Tanpa sadar, kita cenderung melakukan identifikasi psikis dengan tokoh utama; fiksi ataupun non-fiksi. Kita terlibat secara emosi dengan tokoh utama. Apalagi kalau penulisnya mampu membangun emosi karakter (character emotions) dengan baik. Kita bisa menangis dan tidak rela seorang penjahat yang paling busuk dieksekusi ketika membaca feature tentang perasaan keluarga, istri dan sang penjahat itu sendiri. Kita bisa berdemonstrasi menentang hukuman mati setelah terharu membaca penyesalan sang penjahat; bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa dan khilaf. Kita tidak ingat bahwa keluarga korban mengalami trauma yang sulit terhapuskan.
Nah.
Masih mau ngobrol? Sabar dulu, ya.... InsyaAllah saya akan hadir dengan tulisan berikutnya.
Selengkapnya...

Pesan Ini, Nak Kutulis Untukmu

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.
Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap….
Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.
Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada do’a yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw. pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.
Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.
Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?
Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.
Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdo’a kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban –ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdo’a. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.
Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq: 1-5).
Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan do’a, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih-sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.
Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”
Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).
Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatuLlah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.
Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam ‘aqidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.
Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung-jawab dan lupa pada diri sendiri.
Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.
Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.
Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.
Selengkapnya...

Ada Tanda Di Wajah Kita

Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat utama Nabi saw. yang sekaligus menantu beliau, pernah berkata, “Tidak seorang pun bisa menyembunyikan suatu rahasia karena Allah akan menampakkan semua itu melalui roman muka dan ucapannya.”
Tak seorang pun dari kita yang dapat menyembunyikan rahasia dari wajah dan diri kita, kecuali pada ungkapan-ungkapan yang diatur dan kalimat-kalimat yang tersusun rapi. Tetapi secara keseluruhan, kita tak sanggup menyembunyikan rahasia. Susunan kata yang indah dan kalimat yang mempesona, tak sanggup menyimpan rahasia. Hanya saja, kepekaan kita bertingkat-tingkat dalam menangkap dan memahami. Semakin bersih hati kita dalam membangkitkan kewaspadaan diri, maka akan semakin peka. Orang-orang yang banyak bersujud dengan hati ikhlas, akan lebih cepat membedakan siapa yang tulus dan siapa yang ingkar. Sebab ruh itu seperti pasukan. Ia akan cepat mengenali yang serupa dengannya.
Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an, kata Ibnu Taymiyyah Al-Harrani dalam Al-Jamal: Fadhluh, Haqiiqatuh, Aqsaamuh, bahwa hal itu (rahasia) kadangkala nampak pada wajah: “Dan, seandainya Kami kehendaki, niscaya Kami perlihatkan mereka dengan tanda-tandanya.” karena semua itu ada di bawah kehendak (masyi’ah)-Nya. Kemudian Dia berfirman, “Dan, niscaya kamu akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (QS. Muhammad, 47: 30). Semua ini merupakan kepastian. Sesuatu yang disembunyikan oleh jiwa akan lebih jelas melalui kata-katanya daripada jiwanya. Kesaksian wajah sangatlah tipis, sedangkan dari ucapannya sangatlah jelas.
Orang-orang yang menyembunyikan dalam dirinya kedustaan yang bercampur ketakutan akan tersingkapnya rahasia misalnya, akan tercekat tenggorokannya sehingga sulit menelan. Ini membuatnya merasa tidak nyaman, sehingga justru berusaha untuk terus-menerus menelan. Semakin besar kecemasannya, semakin tercekat tenggorokannya. Semakin ia berusaha untuk menyembunyikan rahasia, menutup rapat-rapat keburukannya, seraya menahan rasa takut akan terbongkarnya keburukan, semakin tak sanggup untuk menelan. Dan ini menyebabkan ia semakin merasa tidak nyaman.
Kening kita juga memberi tanda. Kalau ada kebohongan besar yang kita ucapkan, di kening kita membentuk kerutan yang tidak bisa kita kendalikan. Kerutan itu muncul di bawah kehendak (masyi’ah)-Nya. Tak ada yang sanggup mengelak. Bahkan seorang Bill Clinton sekalipun, tersingkap dustanya ketika ia mencoba mengingkari perbuatan maksiat yang pernah ia lakukan. Penelitian tentang wajah manusia dan seribu rahasia yang ada di dalamnya, memberi kita pelajaran yang besar bahwa ada tanda di wajah kita.
Ada kekuatan dalam diri kita yang membuat wajah tampak bercahaya, meski kulitnya hitam legam. Begitu pun sebaliknya, wajah yang cantik dengan kulit putih bersih bisa kehilangan pesonanya sama sekali karena keruhnya jiwa, rusuhnya hati dan buruknya iktikad. Tak ada yang dapat diharap dari senyum yang tersungging apabila tak disertai oleh jiwa yang hidup, kecuali jika kita sendiri telah demikian keruh.
Pada awalnya, kita bisa memoles senyuman agar tampak lebih mengesankan. Tetapi seiring perjalanan waktu, akan datang tanda di wajah kita apakah pada senyum-senyum kita ada ketulusan atau tidak. Anda akan tahu bahagia tidaknya seseorang di hari tua dari wajah mereka. Atau kalau Anda tidak tahu, wajah itu yang akan mengabarkannya kepada Anda.
Wallahu a’lam bishawab. Hanya Allah saja yang menggenggam semua rahasia. Pengetahuan kita amat terbatas. Selebihnya ada pelajaran yang patut kita renungkan. Jika di dunia ini saja kita sanggup menyimpan rahasia, maka apakah yang sanggup kita andalkan kelak ketika bumi telah dilipat dan langit telah digulung?
Semoga Allah menolong kita semua dari kesesatan kita sendiri.
Selengkapnya...

Sekolah yang Menggairahkan

Perkembangan otak yang paling pesat terjadi pada rentang usia 0-8 tahun, baik secara fisik maupun intelektual. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi antara usia nol sampai dengan enam tahun. Selama rentang waktu tersebut, IQ anak dapat melonjak secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orangtua maupun pengasuh di day-care -kita menyebutnya TPA-dan play-group. Selanjutnya, peran strategis tersebut dipegang oleh guru TK dan SD kelas bawah, yakni kelas satu sampai dengan kelas tiga (itu sebabnya, perencanaan kurikulum TK perlu dikerjakan bersama dalam satu kesatuan dengan penyusunan kurikulum SD). Inilah masa paling penting untuk membangun budaya belajar. Jika pada masa ini anak sudah memiliki budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari kecakapan belajar (learning skills) pada periode berikutnya, yakni orientation stage, termasuk membangun orientasi hidup maupun orientasi akademiknya.
Jadi, yang perlu kita bangun pada masa awal perkembangan anak di sekolah adalah budaya belajar (learning culture). Bukan sekedar kebiasaan belajar (learning habit) dimana anak belajar karena sekolah memang menciptakan lingkungan akademik yang menuntut anak belajar, termasuk di dalamnya memberikan tugas-tugas. Setingkat lebih baik adalah munculnya kebiasaan belajar karena lingkungan akademik yang merangsang gairah anak belajar. Anak bersemangat di sekolah sehingga kegiatan belajar terasa menyenangkan.
Apakah sebenarnya semangat itu? Keterlibatan emosi saat melakukan suatu kegiatan sehingga kita merasakan situasi yang mengalir. Keadaan ini bisa terjadi karena hati kita yang gembira, peristiwa sebelumnya yang meluapkan perasaan positif, suasana yang menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan antusiasme yang menyala-nyala, rancangan lingkungan fisik sekolah yang menggugah, dan berbagai aspek lain yang mempengaruhi emosi saat belajar. Semakin tinggi keterlibatan emosi saat belajar, semakin efektif otak kita bekerja. Belajar seharian penuh, tetapi anak merasakannya seperti bermain. Asyik dan menyenangkan.
Sekolah yang menerapkan model belajar sehari penuh (full day), harus memperhatikan ini. Sekolah harus merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, antusias dan positif agar anak memiliki semangat menyala-nyala saat belajar. Jika tidak, anak bisa mengalami stress karena beban belajar yang melampaui "ambang kesanggupan mental". Stress yang berlangsung secara terus-menerus bukan saja melemahkan kemampuan anak. Lebih dari itu, stress berkelanjutan merusak mental dan kepribadian.

Nah.
'Alaa kulli hal, ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Suasana belajar yang menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan penuh antusiasme dan rangsangan fisik sekolah yang menggugah memang mempengaruhi emosi anak. Mereka belajar dengan penuh semangat. Tetapi semangat yang meluap-luap hanyalah bekal awal. Perlu ada upaya terencana membangun motivasi anak -tidak terkecuali guru-sehingga melahirkan budaya belajar yang kuat.

Istilah motivasi sering jumbuh dengan semangat. Saya sendiri kadang menggunakan dua istilah tersebut secara tidak tepat. Jika semangat adalah keterlibatan emosi saat melakukan aktivitas, maka motivasi adalah alasan yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Semakin kuat motivasi seseorang, semakin menyala semangatnya. Artinya, motivasi merupakan salah satu faktor pemacu semangat anak. Semakin kuat motivasi, semakin menyala-nyala semangat dalam diri anak.

Budaya belajar (learning culture) sangat dipengaruhi oleh kekuatan motivasi. Jika anak memiliki alasan yang kuat untuk bertindak, dan alasan itu mengakar dalam dirinya, maka ia akan memiliki energi untuk terus belajar. Semakin kuat ia membentuk budaya belajar dalam dirinya, semakin tangguh semangatnya menggali ilmu meskipun lingkungan sekeliling tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya budaya belajar menjamin berlangsungnya kebiasaan belajar (learning habit) hingga jenjang pendidikan berikutnya, meskipun suasana belajar di jenjang tersebut tak sebaiknya jenjang sebelumnya.

Inilah yang perlu kita sadari ketika ingin mengembangkan budaya belajar. Lingkungan yang mendukung memang sangat perlu. Guru-guru yang ramah, hangat dan bersahabat juga tak dapat ditawar-tawar. Begitu pula lingkungan fisik sekolah yang merangsang minat belajar, betapa pun sederhananya, sangat diperlukan.

Tetapi…
Tanpa membangun motivasi intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gairah belajarnya -bahkan perilaku positifnya-begitu mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika masih berada di jenjang sekolah dasar, semangat belajarnya sangat tinggi dan prestasi akademiknya menakjubkan. Begitu memasuki jenjang pendidikan berikutnya, minat belajar ambruk dan perilakunya kurang terarah karena -misalnya-anak kecewa dengan sekolah barunya.

Pada kasus seperti ini, kita bisa menyalahkan jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi sekolah sebelumnya, yakni SD, tetap ikut bertanggung-jawab atas kegagalannya membangun motivasi siswa. Keadaan ini bisa terjadi, antara lain karena pihak SD tidak bisa membedakan -atau sengaja tidak membedakan-antara kebiasaan belajar dan budaya belajar. Mirip sekali wujudnya, lain sekali hakekatnya.

Apa yang diperlukan untuk membangun motivasi intrinsik anak? Banyak hal. Yang sangat pokok adalah menanamkan keimanan yang aktif. Maksud saya, sekolah mengajarkan 'aqidah kepada anak bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif. Lebih dari itu, sebagaimana sifat ayat-ayat yang pertama diturunkan -secara umum ayat-ayat Makkiyah-menggerakkan mereka untuk bertindak karena Allah dan untuk Allah Yang Menciptakan. Sekolah menggerakkan jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalatnya, 'ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah 'Azza wa Jalla semata.

Artinya, 'aqidah yang kuat menjadi daya penggerak (driving force) bagi anak untuk bertindak dan menentukan arah hidup.
Agar guru mampu menanamkan keimanan yang aktif dengan 'aqidah shahihah, tak dapat ditawar-tawar lagi 'aqidah mereka juga harus kuat. Sedemikian kuatnya sehingga ketika berbicara, yang berkelebat dalam benaknya bukan sekedar teknik berbicara, tetapi sudah menyatu dalam dirinya kata-kata bertenaga yang menggelorakan motivasi anak-anak dan membakar semangat mereka untuk melakukan yang terbaik. Kata-kata ini mengalir setiap saat karena memang sudah menyatu dalam diri guru.

Di luar itu, secara terencana sekolah dapat mengadakan kegiatan yang secara khusus dimaksudkan untuk membangun motivasi anak, baik yang bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau berdasar rencana kegiatan insidentil. Motivasi harian misalnya diwujudkan dalam bentuk kegiatan apel motivasi setiap pagi.
Selebihnya, guru perlu memberi tantangan yang cukup agar motivasi tersebut tertanam lebih kuat. Tanpa tantangan, anak tidak belajar hidup dalam "dunia nyata". Apalagi jika mereka hanya kita besarkan dengan fasilitas, tanpa tantangan akan membuat mereka seperti ayam sayur. Bukan ayam kampung yang tak jatuh oleh panas dan tak tersungkur oleh hujan.
Artinya, harus ada keseimbangan antara fasilitas dan tantangan. Awalnya tantangan sederhana yang bersifat fisik, lalu secara berangsur kita hadapkan pada tantangan yang lebih memeras pikiran dan tenaga. Pada akhirnya, kita tumbuhkan pada diri mereka kepekaan untuk membaca tantangan bagi keyakinan dan ummat ini.
Wallahu a'lam bishawab.
Masih banyak yang ingin saya perbincangkan, tetapi amat sedikit kesempatan. InsyaAllah lain waktu kita berjumpa lagi di ruang ini untuk berbincang tentang sekolah kita. (Mohammad Fauzil Adhim, SchoolMarketing Yogyakarta).
Selengkapnya...

Sekolah yang Mencerdaskan

Mencerdaskan anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia dan produktif dikarenakan kuatnya keyakinan yang berpijak pada fondasi bernama aqidah. Bersebab pada kuatnya aqidah, sekolah juga berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda-pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah hidupnya. Begitu mereka memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala-nyala, maka mereka akan memiliki energi besar untuk mencapai apa yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya tahan untuk terus gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh makna atas setiap tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa yang baik dan penting. Insya-Allah!
Semangat yang berkobar-kobar memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecer¬dasan yang tinggi dan bermanfaat. Saya perlu menambahkan kata bermanfaat karena kepeka¬an terhadap apa yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi diri sendiri dan terutama bagi umat manusia, hari ini sangat sulit kita dapati (bahkan mungkin pada diri kita sendiri). Sebabnya, mereka memang tidak memperoleh pengalaman belajar yang secara sengaja menumbuhkan kepekaan mereka. Alih-alih mengembangkan kapasitas mental, anak-anak itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran, terutama yang menjadi materi ujian nasional. Padahal penguasaan materi pelajaran seharusnya merupakan akibat saja dari berkobarnya semangat dan kepekaan terhadap apa yang bermanfaat bagi umat manusia.
Inilah yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita. Kita dorong mereka untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan karena itu mereka harus bersungguh-sungguh pada hal yang bermanfaat baginya. Ada sebuah hadis yang perlu kita renungkan. Rasulullah saww. bersabda, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Ya, bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu. Tapi mengapa anak-anak tidak peka terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari mereka tujuan hidup, empati dan integritas. Mereka juga tidak belajar merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka hanya dipacu untuk berhasil menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya, tidak sedikit orangtua maupun sekolah yang masih berorientasi pada ujian, sehingga tidak mendorong anak untuk “belajar” kecuali saat menghadapi ujian. Mereka tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan yang bermanfaat. Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat sehingga setiap hal jadi bermakna, sangat jarang disentuh.
Para orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar. Tetapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu seharusnya dipergunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk yang sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar. Darimana angka itu diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu bermula. Anak belajar melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut kelalaian.
Apa yang ingin saya sampaikan? Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas sekolah adalah mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka un¬tuk mampu memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekedar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka. Lebih-lebih jika hanya pada tataran kognitif terendah.
Sekedar menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang kemampuan kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Ada enam jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu pada kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf ini, meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal-soal yang diajukan, tidak membuat seseorang mampu memahami prinsip-prinsip serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dengan mudah akan mengenali dan menguasai apa-apa yang prinsipnya sama maupun mirip.
Bimbingan belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan kognitif jenjang terendah. Mereka terlihat pandai, tetapi diam-diam membawa resiko serius, yakni tidak berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah yang sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi. Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.
Tentu saja bukan berarti ujian akhir nasional tidak boleh ada. Jika sekolah kita memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang ujian nasional ditabuh. Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang kita jalankan, benar-benar mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai ujian memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar di sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai enam mata pelajaran. Tetapi ujian akhir nasional merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan dasar-dasar kemampuan akademik pada siswa. Artinya, prestasi cemerlang di ujian akhir nasional hanyalah konsekuensi logis pendidikan yang baik.
Berkenaan dengan prestasi akademik ini, ada baiknya kita berbincang sejenak ten¬tang empat tujuan operasional pendidikan. Secara ringkas, mari kita cermati satu per satu:
1. Mastery Goals, proses pembelajaran membuat siswa mampu menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan sangat baik. Siswa mampu memahami prinsip-prinsip, teori dan konsep matematika sehingga mampu memecahkan problem matematika dengan baik.
2. Performance Goals, proses pembelajaran –apa pun mata pelajarannya—harus membuat siswa mampu melakukan aktivitas atau mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Artinya, apa pun mata pelajarannya harus menjadikan siswa sebagai orang yang mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, bukan hanya tugas akademik.
3. Social Goals, proses pembelajaran di sekolah secara keseluruhan dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kecakapan sosial, termasuk di dalamnya kepekaan sosial dan hasrat untuk memberi manfaat secara sosial. Sekurang-kurangnya, proses pembelajaran menjadikan siswa mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya maupun orang-orang yang baru ditemui.
4. Affective Goals, pendidikan adalah proses yang membentuk kekuatan emosi siswa sehingga menjadi pribadi yang empatik, mampu mengendalikan emosi, dapat menunda kesenangan (delayed gratification) demi memperoleh tujuan yang jauh lebih besar di masa mendatang, mampu memotivasi diri sendiri dan memiliki peng¬hayatan nilai yang baik.
Prestasi yang paling mudah diukur adalah kemampuan akademik yang berkait de¬ngan tujuan operasional pertama, yakni mastery goals. Di sinilah letak kesalahan itu biasanya terjadi. Sekolah hanya menyibukkan pada proses pembelajaran yang memberi kecakapan pada siswa untuk mengerjakan soal –bahkan bukan untuk memahami dan menguasai mata pela¬jaran dengan baik—sehingga menyebabkan siswa kehilangan kesempatan untuk mengembang¬kan potensi dirinya secara utuh. Ini juga menyebabkan kemampuan kognitif siswa bahkan tidak berkembang secara optimal. Padahal, alur yang seharusnya justru kita mulai dari penguatan tujuan afektif dengan mengasah kepekaan, empati, membangun kecerdasan emosi, menata orientasi hidup serta meletakkan visi hidup yang kuat.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar anak-anak memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam proses pendidikan di sekolah? Apakah kita perlu melaku¬kan reformasi total pada sistem pendidikan kita?
Tidak. Reformasi tanpa melakukan perubahan cara pandang dan sikap, hampir pasti tidak akan membawa hasil yang memadai. Perlu upaya terencana untuk mengubah cara pandang dan sikap pelaksana pendidikan secara keseluruhan, terutama guru, tidak terkecuali orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan. Kurikulum mungkin tidak berubah. Tetapi berubahnya cara pandang mampu menghasilkan perubahan dramatis pada antusiasme belajar, orientasi hidup, budaya belajar dan tentu saja akan berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Proses perubahan yang lebih memusatkan perhatian pada cara pandang, sikap dan pada akhirnya perilaku inilah yang biasa disebut reinventing.
Saya ingin sekali membahas tentang reinventing sekolah bersama-sama dengan Anda. Tetapi kesempatan belum memungkinkan. Karena itu, izinkan saya menutup perbincangan kita kali ini. Satu hal, dari pembicaraan yang baru saja kita lalui, kunci untuk melejitkan kecerdasan bukan pada melatih kecakapan belajarnya, tetapi justru bagaimana menggerakkan jiwanya untuk memiliki tujuan hidup yang kuat dan kesadaran agar senantiasa menjadi manusia yang bermanfaat.
Selengkapnya...