Selasa, 11 Agustus 2009

Motivasi Intrinsik

Seorang ibu bertanya tentang anaknya. Sejak kecil selalu memperoleh ranking bagus di kelasnya. Prestasi akademik selalu cemerlang. Tetapi belakangan minat belajarnya merosot drastis. Tak ada gairah belajar. Tak ada minat untuk mengerjakan PR. Ketika ibunya mengingatkan untuk belajar lebih giat agar rankingnya tidak jeblok, ia berkata, “Aku bosan sama ranking.”

Pertanyaan ibu ini mengingatkan saya pada teori motivasi. Ada motivasi ekstrinsik, ada motivasi intrinsik. Anak kita menyapu lantai agar mendapat sebiji permen dari orangtua, tekun belajar agar dapat ranking satu (karena nanti kita belikan ia sebuah sepeda mungil), atau bersemangat memberesi kamar agar diajak jalan-jalan, adalah contoh motivasi ekstrinsik. Anak melakukan aktivitas apa pun, termasuk shalat dan mengaji, karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan kepadanya merupakan bentuk motivasi ekstrinsik. Kita rajin puasa Senin-Kamis karena ingin lulus ujian, bukan karena berserah diri kepada Allah Yang Maha Tinggi.
Motivasi ekstrinsik cepat pudar. Anak mudah kehilangan semangat karena hadiah yang dijanjikan –termasuk hadiah berupa “ranking”—tidak lagi memiliki daya tarik. Semangatnya melemah (less zeal) karena imbalan yang diberikan meaningless (kehilangan makna), sehingga tak ada lagi alasan untuk mengejar. Seperti anak ibu tadi, mereka bisa bosan dapat ranking yang bagus.
Kapan anak merasa bosan? Ketika anak merasa hadiah itu tak memberi manfaat apa-apa. Anak-anak tidak membutuhkan. Kalau dulu anak bersemangat menyapu untuk memperoleh permen, sekarang permen sudah tidak menarik lagi. Anak butuh rangsangan lebih besar untuk bertindak.
Cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi sekurangnya oleh dua hal. Pertama, nilai imbalan atau hadiah yang dijanjikan kepada anak. Setiap hadiah akan mengalami penyusutan nilai bagi anak. Saat anak belum pernah memegang, sebuah mobil mainan sangat menggiurkan bagi anak. Tetapi ketika berbagai jenis mainan sudah sering ia pegang, mobil-mobilan yang bagus lengkap dengan remote controlnya pun sudah tidak menarik lagi.
Melemahnya daya tarik imbalan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang memberi daya tarik lebih besar. Video-game, misalnya. Semakin kuat keasyikan yang diperoleh anak saat bermain play-station, semakin lemah daya tarik imbalan yang kita janjikan agar anak mau belajar yang rajin. Lebih-lebih jika aktivitas lain yang mengasyikkan itu pada saat yang sama juga menyerap seluruh energi psikis anak sekaligus membuat anak pasif. Berbagai jenis game –juga tayangan TV—membuat anak terpaku secara pasif. Mereka dibombardir dengan gambar-gambar kekerasan yang berganti dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga memaksa mereka untuk terus memperhatikan tanpa berkedip.
Aktivitas semacam ini membuat anak mengalami kelelahan secara psikis. Ibarat truk, bebannya berlebih. Ibarat komputer, sistemnya hang. Macet. Meskipun kemampuannya sangat besar dan kecepatan prosesor sangat tinggi, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik. Anak-anak yang sedang hang, tidak mampu memusatkan perhatian saat belajar dan sulit mencerna buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang permainan yang ia pelototi di video-game. Dalam bahasa komputer, anak ini mengalami registry error. Badannya ada di kelas, telinganya mendengar suara guru, tetapi pikirannya ada di play-station.
Ketika anak mengalami hang, ia kehilangan rasa ingin tahu. Kreativitasnya tumpul. Ia tidak betah berpikir, mencari tahu dan menekuni kegiatan yang menuntutnya berpikir aktif. Ia kehilangan gagasan dan kecemerlangan berpikir, kecuali pikiran untuk kembali menyibukkan diri dengan video-game atau tayangan TV. Pada tingkat yang parah, anak mengalami kecanduan.
Anak yang terlalu banyak memelototi video-game sampai pada tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.
Bisa juga terjadi anak pasif sekaligus impulsif. Secara sosial, mereka terputus dari lingkungan. Pada anak-anak yang tingkat kecanduannya sudah sangat akut, boleh dikata mereka tidak mempunyai kontak dengan orang lain, termasuk orangtua. Interaksinya cuma dengan benda bernama TV, play-station atau layar komputer yang menyajikan game. Mereka tidak betah berinteraksi dengan orang lain. Di saat yang sama, adegan kekerasan yang bertubi-tubi –khususnya dalam video-game—memberi efek desensitisasi. Perasaan mereka tumpul. Hati mereka keras.
Berapa jam waktu menonton yang sehat bagi anak? Sekitar 8 sampai 10 jam seminggu. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat. Dalam The Smart Parent’s Guide to KIDS’ TV, Milton Chen menunjukkan bahwa durasi 4 jam sehari (28 jam seminggu) sudah termasuk kategori yang sangat menakutkan. Benar-benar membahayakan mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.
Alhasil, tak ada yang perlu kita salahkan kecuali diri sendiri kalau anak-anak kita kehilangan motivasi belajar, sementara setiap hari mereka memelototi TV enam jam sehari! Agaknya, ada benarnya ketika Fred Rogers berkata, “Barangkali televisi adalah satu-satunya peralatan elektronik yang lebih bermanfaat justru setelah dimatikan.”
Kedua, cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi oleh tekanan yang mereka terima. Anak yang sering dibebani untuk mendapatkan ranking, cenderung cepat kehilangan minat. Ia belajar di bawah tekanan karena tidak ingin orangtuanya cemberut. Selebihnya, tak ada alasan yang menggerakkan jiwa untuk tekun membaca.
Motivasi ekstrinsik terbagi menjadi dua, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya permen yang kita berikan begitu anak menyapu, jangka panjang misalnya iming-iming pada anak kelas 4 SD kalau lulus UASBN dengan nilai tinggi akan dibelikan laptop baru. Semakin pendek dan nyata iming-iming yang kita berikan, semakin cepat kelihatan reaksinya, sekaligus semakin mudah hilang kekuatannya. Anak-anak yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik jangka pendek, ibaratnya sama dengan mobil mewah tanpa bensin. Kalau lagi didorong, jalan. Tapi kalau tak ada yang mendorong, mogok. Mobil tak bisa berjalan lagi.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, sebaliknya, merasa asyik dengan apa yang dikerjakan, menemukan kegembiraan saat menghadapi tantangan, bahagia ketika mengerjakan tugas-tugas sehingga ia terlibat penuh secara emosional. Mereka berpartisipasi melakukan kegiatan karena menemukan kegembiraan, kebahagiaan, keasyikan atau makna dari apa yang dilakukannya. Bukan demi memperoleh hadiah. Dalam tindakan itu sendiri, ada yang ia dapatkan sebagaimana pendaki gunung memperoleh kepuasan. Kebahagiaannya terletak pada kemampuannya mengatasi rintangan. Bukan pada decak kagum orang yang memandang.
Dalam bukunya berjudul Adolescence (2001), John W. Santrock menulis bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Anak-anak yang motivasi intrinsiknya kuat cenderung lebih kreatif, kaya gagasan, senantiasa menemukan ide-ide segar –pada tahap awal adalah ide-ide permainan—serta ketertarikan yang kuat dalam melakukan berbagai aktivitas. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas dan cenderung memiliki semangat belajar mandiri yang kuat.
Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, betah membaca berjam-jam meskipun tidak ditunggui orangtua. Mereka merasa membaca sebagai kebutuhan. Bukan tuntutan orangtua dan sekolah.
Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk suatu bidang, tetapi tidak untuk bidang yang lain. Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk hampir semua bidang. Kapan saja, dimana saja dan mengerjakan apa saja, ia bersemangat. Bersungguh-sungguh ia belajar, meskipun tidak begitu menguasai.
Kuatnya motivasi intrinsik mampu membuat seseorang berani menghadapi kesulitan. Kisah tentang Imam Bukhari adalah kisah tentang manusia yang memiliki motivasi intrinsik luar biasa. Ia menempuh perjalanan beratus-ratus kilo, memenuhi kakinya dengan kepenatan, dan membiarkan tubuhnya disengat oleh panasnya matahari demi mendapatkan sebuah hadis. Kalau ia menginginkan harta dari penguasa, tak perlu ia menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang belum tentu ia ambil (karena hadis itu ternyata dha’if, misalnya). Tetapi ada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Ada kecintaan pada agama yang membuatnya tak pernah berhenti mencari ilmu.
Kalau motivasi intrinsiknya sudah kuat, tanpa fasilitas yang memadai pun mereka bisa tumbuh menjadi manusia cerdas luar biasa. Nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal atau –apalagi—Abu Hurairah, bukanlah orang yang memiliki cukup sarana untuk belajar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jiwa menakjubkan. Dahsyatnya motivasi mereka untuk menolong agama membuat daya ingat mereka sangat hebat dan pikiran mereka amat jernih.
Kisah para penemu juga merupakan kisah tentang motivasi intrinsik yang kuat. Bukan kisah tentang banyaknya fasilitas yang mereka miliki. Orang-orang super kreatif bukanlah mereka yang memperoleh latihan gerak dengan iringan musik yang –kadang tanpa disadari guru—sensual. Pernah, saya merasa amat sedih ketika menghadiri acara tutup tahun sebuah lembaga pendidikan. Atas nama kreativitas, anak-anak disuruh lenggak-lenggok memutar badan รก la peragawati, diiringi dengan alunan musik menggoda. Seorang guru berdiri di samping, di seberang panggung, untuk mengawasi sekaligus mengarahkan dengan gerak mulut dan mata.
Mereka lupa –atau tidak tahu—bahwa ketika seorang anak menggerakkan dadanya, lalu memperoleh tepuk tangan meriah, yang menari-nari di benaknya bukanlah “isyhadu bi anna muslimun”, melainkan sensualitas. Bukan kreativitas.
Selengkapnya...

Jumat, 07 Agustus 2009

Menakar Manfaat Training

Suatu ketika sebuah sekolah meminta kesediaan saya memberi training untuk para guru dari jenjang TK sampai SLTP. Ceritanya, salah satu guru di sekolah tersebut pernah mengikuti seminar saya, lalu menceritakan pengalamannya kepada rekan sejawat dan atasan. Dari cerita inilah lembaga tersebut tergerak untuk meminta saya memberi training. Training tentang apa? Pokoknya yang bagus untuk guru. Lalu disebutkan beberapa “kebutuhan mendesak” yang ingin diatasi melalui training. Persoalannya, apakah betul masalah tersebut merupakan masalah sesungguhnya? Dan apakah betul training yang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang sedang meruyak lembaga pendidikan tersebut?

Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, ketepatan memetakan masalah. Kerapkali yang hendak diselesaikan bukan akar masalah, melainkan gejala penyakitnya atau bahkan sekedar masalah ikutan yang kesekian. Jika gegabah memetakan masalah, puluhan kali training tidak akan memberi manfaat apa pun bagi para peserta dan khususnya lembaga (sekolah) yang mengundang, kecuali sekedar menambah wawasan. Bisa terjadi, tingginya frekuensi training hanya sekedar menambah pengalaman menikmati training sehingga bisa membandingkan mana trainer yang lebih menarik. Bukan meningkatkan keterlibatan emosi peserta untuk memperoleh manfaat training bagi kemajuan sekolah.
Kedua, ketepatan memilih bentuk training, termasuk menetapkan skala prioritas training mana yang perlu didahulukan. Kerap terjadi, sebuah lembaga mempunyai sejumlah masalah dan mediator menawarkan sejumlah paket tanpa melakukan asesmen kebutuhan terlebih dulu. Dalam hal ini mediator bisa manajer dari seorang trainer, broker training, atau training center. Berdasarkan tawaran ini, sekolah mengambil paket yang menarik. Umumnya yang diambil adalah paket training yang memperoleh reaksi paling antusias dari peserta di berbagai tempat atau kedekatan materi acara dengan masalah yang terjadi. Sekali lagi, dasar pengambilan keputusan adalah tingkat daya tarik acara. Bukan kesesuaian training dengan kebutuhan riil sekolah. Itu sebabnya sebuah training yang paling baik sekalipun bisa tidak membawa pengaruh apa-apa bagi sekolah, meskipun training dilaksanakan setiap minggu.
Sebelum menentukan jenis, bentuk dan materi training, sekolah perlu melakukan asesmen terlebih dulu untuk menentukan secara tepat kebutuhannya apa; peningkatan kinerja (improving current performance) atau penanganan defisiensi (correcting deficiency). Sekolah yang kinerjanya tidak sehat, potensial konflik dan secara organisasi bermasalah kerapkali menemui hambatan dalam menentukan kebutuhan organisasi karena terlanjur tidak mengenali standar kinerja atau bahkan tidak memilikinya lagi. Standar kinerja dirancukan dengan target yang hendak dicapai atau bahkan visi sekolah maupun yayasan sebagai organisasi induk. Letak kekeliruan itu adalah, training yang seharusnya dimaksudkan untuk menangani defisiensi, tetapi dirumuskan sebagai peningkatan kinerja. Padahal jika masih terjadi defisiensi, maka training peningkatan kinerja tidak akan efektif. Sesering apa pun dilakukan, training tetap saja cuma menjadi hiburan yang menyedot banyak biaya.
Training untuk memperbaiki defisiensi apabila kinerja sekolah tidak sesuai dengan standar yang ada saat ini. Jika sebuah sekolah belum memiliki standar, maka ini sudah menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki masalah serius dalam defisiensi kinerja, sehingga apa pun trainingnya harus bertujuan mengoreksi defisiensi. Bukan meningkatkan kinerja. Sebab training yang dirancang untuk meningkatkan kinerja tidak akan membawa hasil yang sesuai. Bahkan boleh jadi tidak membawa perubahan apa pun selain pengalaman menikmati kegiatan ice breaking berupa game yang menarik.
Jika training yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan lembaga (sekolah), berikutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi pasca training. Apa saja itu? Pertama, reaksi peserta begitu training usai sampai beberapa saat berikutnya. Kedua, pembelajaran apa yang telah terjadi. Ini meliputi pengetahuan apa yang telah dipelajari, keterampilan apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, serta sikap apa saja yang berhasil diubah melalui training. Ketiga, evaluasi terhadap perilaku pasca training. Evaluasi perilaku ini menitikberatkan pada perubahan perilaku yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah training sampai pada kurun waktu tertentu. Apakah perubahan perilaku tersebut bersifat sesaat (immediate effect), jangka pendek (short term effect) ataukah membawa perubahan perilaku yang berkelanjutan. Keempat, evaluasi hasil. Ini berkait dengan peningkatan kualitas apa yang terjadi akibat training, seberapa besar produktivitas meningkat, apa keuntungan teraba (tangible benefits) dari training serta berbagai pertanyaan penting lainnya.
Satu hal lagi. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa training yang dilaksanakan sekolah hanya memberi efek sesaat atau bahkan hiburan semata, maka ini merupakan peringatan agar Anda menghentikan atau meninjau kembali training yang Anda pilih. Tetapi jika hasilnya sangat positif, sebuah PR menanti Anda. Hasil yang bagus itu dalam waktu yang tidak lama akan hilang bekasnya jika tidak dikelola dengan baik. Perlu ada tindak-lanjut yang kongkret, positif dan berkelanjutan. Tidak lanjut ini bukan berarti menyelenggarakan training berikutnya, tetapi merumuskan langkah yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Boleh jadi, hasil dari salah satu rumusan itu adalah menyelenggarakan training lagi. Hanya saja, training yang seperti apa? Kembali lagi, Anda perlu melakukan asesmen kebutuhan training.
Nah, bagaimana dengan training Anda?
Selengkapnya...