Jumat, 07 Agustus 2009

Menakar Manfaat Training

Suatu ketika sebuah sekolah meminta kesediaan saya memberi training untuk para guru dari jenjang TK sampai SLTP. Ceritanya, salah satu guru di sekolah tersebut pernah mengikuti seminar saya, lalu menceritakan pengalamannya kepada rekan sejawat dan atasan. Dari cerita inilah lembaga tersebut tergerak untuk meminta saya memberi training. Training tentang apa? Pokoknya yang bagus untuk guru. Lalu disebutkan beberapa “kebutuhan mendesak” yang ingin diatasi melalui training. Persoalannya, apakah betul masalah tersebut merupakan masalah sesungguhnya? Dan apakah betul training yang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang sedang meruyak lembaga pendidikan tersebut?

Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu dicermati. Pertama, ketepatan memetakan masalah. Kerapkali yang hendak diselesaikan bukan akar masalah, melainkan gejala penyakitnya atau bahkan sekedar masalah ikutan yang kesekian. Jika gegabah memetakan masalah, puluhan kali training tidak akan memberi manfaat apa pun bagi para peserta dan khususnya lembaga (sekolah) yang mengundang, kecuali sekedar menambah wawasan. Bisa terjadi, tingginya frekuensi training hanya sekedar menambah pengalaman menikmati training sehingga bisa membandingkan mana trainer yang lebih menarik. Bukan meningkatkan keterlibatan emosi peserta untuk memperoleh manfaat training bagi kemajuan sekolah.
Kedua, ketepatan memilih bentuk training, termasuk menetapkan skala prioritas training mana yang perlu didahulukan. Kerap terjadi, sebuah lembaga mempunyai sejumlah masalah dan mediator menawarkan sejumlah paket tanpa melakukan asesmen kebutuhan terlebih dulu. Dalam hal ini mediator bisa manajer dari seorang trainer, broker training, atau training center. Berdasarkan tawaran ini, sekolah mengambil paket yang menarik. Umumnya yang diambil adalah paket training yang memperoleh reaksi paling antusias dari peserta di berbagai tempat atau kedekatan materi acara dengan masalah yang terjadi. Sekali lagi, dasar pengambilan keputusan adalah tingkat daya tarik acara. Bukan kesesuaian training dengan kebutuhan riil sekolah. Itu sebabnya sebuah training yang paling baik sekalipun bisa tidak membawa pengaruh apa-apa bagi sekolah, meskipun training dilaksanakan setiap minggu.
Sebelum menentukan jenis, bentuk dan materi training, sekolah perlu melakukan asesmen terlebih dulu untuk menentukan secara tepat kebutuhannya apa; peningkatan kinerja (improving current performance) atau penanganan defisiensi (correcting deficiency). Sekolah yang kinerjanya tidak sehat, potensial konflik dan secara organisasi bermasalah kerapkali menemui hambatan dalam menentukan kebutuhan organisasi karena terlanjur tidak mengenali standar kinerja atau bahkan tidak memilikinya lagi. Standar kinerja dirancukan dengan target yang hendak dicapai atau bahkan visi sekolah maupun yayasan sebagai organisasi induk. Letak kekeliruan itu adalah, training yang seharusnya dimaksudkan untuk menangani defisiensi, tetapi dirumuskan sebagai peningkatan kinerja. Padahal jika masih terjadi defisiensi, maka training peningkatan kinerja tidak akan efektif. Sesering apa pun dilakukan, training tetap saja cuma menjadi hiburan yang menyedot banyak biaya.
Training untuk memperbaiki defisiensi apabila kinerja sekolah tidak sesuai dengan standar yang ada saat ini. Jika sebuah sekolah belum memiliki standar, maka ini sudah menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki masalah serius dalam defisiensi kinerja, sehingga apa pun trainingnya harus bertujuan mengoreksi defisiensi. Bukan meningkatkan kinerja. Sebab training yang dirancang untuk meningkatkan kinerja tidak akan membawa hasil yang sesuai. Bahkan boleh jadi tidak membawa perubahan apa pun selain pengalaman menikmati kegiatan ice breaking berupa game yang menarik.
Jika training yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan lembaga (sekolah), berikutnya ada empat hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi pasca training. Apa saja itu? Pertama, reaksi peserta begitu training usai sampai beberapa saat berikutnya. Kedua, pembelajaran apa yang telah terjadi. Ini meliputi pengetahuan apa yang telah dipelajari, keterampilan apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, serta sikap apa saja yang berhasil diubah melalui training. Ketiga, evaluasi terhadap perilaku pasca training. Evaluasi perilaku ini menitikberatkan pada perubahan perilaku yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah training sampai pada kurun waktu tertentu. Apakah perubahan perilaku tersebut bersifat sesaat (immediate effect), jangka pendek (short term effect) ataukah membawa perubahan perilaku yang berkelanjutan. Keempat, evaluasi hasil. Ini berkait dengan peningkatan kualitas apa yang terjadi akibat training, seberapa besar produktivitas meningkat, apa keuntungan teraba (tangible benefits) dari training serta berbagai pertanyaan penting lainnya.
Satu hal lagi. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa training yang dilaksanakan sekolah hanya memberi efek sesaat atau bahkan hiburan semata, maka ini merupakan peringatan agar Anda menghentikan atau meninjau kembali training yang Anda pilih. Tetapi jika hasilnya sangat positif, sebuah PR menanti Anda. Hasil yang bagus itu dalam waktu yang tidak lama akan hilang bekasnya jika tidak dikelola dengan baik. Perlu ada tindak-lanjut yang kongkret, positif dan berkelanjutan. Tidak lanjut ini bukan berarti menyelenggarakan training berikutnya, tetapi merumuskan langkah yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Boleh jadi, hasil dari salah satu rumusan itu adalah menyelenggarakan training lagi. Hanya saja, training yang seperti apa? Kembali lagi, Anda perlu melakukan asesmen kebutuhan training.
Nah, bagaimana dengan training Anda?

Tidak ada komentar: