Selasa, 30 Desember 2008

Sekolah yang Mencerdaskan

Mencerdaskan anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia dan produktif dikarenakan kuatnya keyakinan yang berpijak pada fondasi bernama aqidah. Bersebab pada kuatnya aqidah, sekolah juga berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda-pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah hidupnya. Begitu mereka memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala-nyala, maka mereka akan memiliki energi besar untuk mencapai apa yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya tahan untuk terus gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh makna atas setiap tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa yang baik dan penting. Insya-Allah!
Semangat yang berkobar-kobar memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecer¬dasan yang tinggi dan bermanfaat. Saya perlu menambahkan kata bermanfaat karena kepeka¬an terhadap apa yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi diri sendiri dan terutama bagi umat manusia, hari ini sangat sulit kita dapati (bahkan mungkin pada diri kita sendiri). Sebabnya, mereka memang tidak memperoleh pengalaman belajar yang secara sengaja menumbuhkan kepekaan mereka. Alih-alih mengembangkan kapasitas mental, anak-anak itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran, terutama yang menjadi materi ujian nasional. Padahal penguasaan materi pelajaran seharusnya merupakan akibat saja dari berkobarnya semangat dan kepekaan terhadap apa yang bermanfaat bagi umat manusia.
Inilah yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita. Kita dorong mereka untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan karena itu mereka harus bersungguh-sungguh pada hal yang bermanfaat baginya. Ada sebuah hadis yang perlu kita renungkan. Rasulullah saww. bersabda, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Ya, bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu. Tapi mengapa anak-anak tidak peka terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari mereka tujuan hidup, empati dan integritas. Mereka juga tidak belajar merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka hanya dipacu untuk berhasil menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya, tidak sedikit orangtua maupun sekolah yang masih berorientasi pada ujian, sehingga tidak mendorong anak untuk “belajar” kecuali saat menghadapi ujian. Mereka tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan yang bermanfaat. Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat sehingga setiap hal jadi bermakna, sangat jarang disentuh.
Para orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar. Tetapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu seharusnya dipergunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk yang sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar. Darimana angka itu diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu bermula. Anak belajar melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut kelalaian.
Apa yang ingin saya sampaikan? Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas sekolah adalah mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka un¬tuk mampu memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekedar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka. Lebih-lebih jika hanya pada tataran kognitif terendah.
Sekedar menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang kemampuan kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Ada enam jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu pada kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf ini, meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal-soal yang diajukan, tidak membuat seseorang mampu memahami prinsip-prinsip serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dengan mudah akan mengenali dan menguasai apa-apa yang prinsipnya sama maupun mirip.
Bimbingan belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan kognitif jenjang terendah. Mereka terlihat pandai, tetapi diam-diam membawa resiko serius, yakni tidak berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah yang sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi. Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.
Tentu saja bukan berarti ujian akhir nasional tidak boleh ada. Jika sekolah kita memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang ujian nasional ditabuh. Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang kita jalankan, benar-benar mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai ujian memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar di sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai enam mata pelajaran. Tetapi ujian akhir nasional merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan dasar-dasar kemampuan akademik pada siswa. Artinya, prestasi cemerlang di ujian akhir nasional hanyalah konsekuensi logis pendidikan yang baik.
Berkenaan dengan prestasi akademik ini, ada baiknya kita berbincang sejenak ten¬tang empat tujuan operasional pendidikan. Secara ringkas, mari kita cermati satu per satu:
1. Mastery Goals, proses pembelajaran membuat siswa mampu menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan sangat baik. Siswa mampu memahami prinsip-prinsip, teori dan konsep matematika sehingga mampu memecahkan problem matematika dengan baik.
2. Performance Goals, proses pembelajaran –apa pun mata pelajarannya—harus membuat siswa mampu melakukan aktivitas atau mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Artinya, apa pun mata pelajarannya harus menjadikan siswa sebagai orang yang mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, bukan hanya tugas akademik.
3. Social Goals, proses pembelajaran di sekolah secara keseluruhan dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kecakapan sosial, termasuk di dalamnya kepekaan sosial dan hasrat untuk memberi manfaat secara sosial. Sekurang-kurangnya, proses pembelajaran menjadikan siswa mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya maupun orang-orang yang baru ditemui.
4. Affective Goals, pendidikan adalah proses yang membentuk kekuatan emosi siswa sehingga menjadi pribadi yang empatik, mampu mengendalikan emosi, dapat menunda kesenangan (delayed gratification) demi memperoleh tujuan yang jauh lebih besar di masa mendatang, mampu memotivasi diri sendiri dan memiliki peng¬hayatan nilai yang baik.
Prestasi yang paling mudah diukur adalah kemampuan akademik yang berkait de¬ngan tujuan operasional pertama, yakni mastery goals. Di sinilah letak kesalahan itu biasanya terjadi. Sekolah hanya menyibukkan pada proses pembelajaran yang memberi kecakapan pada siswa untuk mengerjakan soal –bahkan bukan untuk memahami dan menguasai mata pela¬jaran dengan baik—sehingga menyebabkan siswa kehilangan kesempatan untuk mengembang¬kan potensi dirinya secara utuh. Ini juga menyebabkan kemampuan kognitif siswa bahkan tidak berkembang secara optimal. Padahal, alur yang seharusnya justru kita mulai dari penguatan tujuan afektif dengan mengasah kepekaan, empati, membangun kecerdasan emosi, menata orientasi hidup serta meletakkan visi hidup yang kuat.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar anak-anak memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam proses pendidikan di sekolah? Apakah kita perlu melaku¬kan reformasi total pada sistem pendidikan kita?
Tidak. Reformasi tanpa melakukan perubahan cara pandang dan sikap, hampir pasti tidak akan membawa hasil yang memadai. Perlu upaya terencana untuk mengubah cara pandang dan sikap pelaksana pendidikan secara keseluruhan, terutama guru, tidak terkecuali orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan. Kurikulum mungkin tidak berubah. Tetapi berubahnya cara pandang mampu menghasilkan perubahan dramatis pada antusiasme belajar, orientasi hidup, budaya belajar dan tentu saja akan berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Proses perubahan yang lebih memusatkan perhatian pada cara pandang, sikap dan pada akhirnya perilaku inilah yang biasa disebut reinventing.
Saya ingin sekali membahas tentang reinventing sekolah bersama-sama dengan Anda. Tetapi kesempatan belum memungkinkan. Karena itu, izinkan saya menutup perbincangan kita kali ini. Satu hal, dari pembicaraan yang baru saja kita lalui, kunci untuk melejitkan kecerdasan bukan pada melatih kecakapan belajarnya, tetapi justru bagaimana menggerakkan jiwanya untuk memiliki tujuan hidup yang kuat dan kesadaran agar senantiasa menjadi manusia yang bermanfaat.

Tidak ada komentar: