Anak-anak yang keras itu, dengan apakah kita melembutkan hatinya?
Dulu saya percaya seni bisa melunakkannya. Tetapi tak ada satu pun jaminan ilmiah, tidak juga jaminan dari Allah Ta’ala bahwa seni akan melembutkan jiwa, menghaluskan budi, mengasah kepekaan anak-anak maupun orang dewasa untuk lebih hidup empatinya kepada sesama. Tak ada satu pun bukti ilmiah bahwa musik dengan sendirinya, secara pasti akan membuat anak-anak lebih cerdas, perkembangan emosinya lebih baik dan jiwanya lebih hidup. Sebagaimana bukan seni yang bisa membahagiakan manusia.
Musik memang bisa menghibur, tetapi bukan membahagiakan. Sejumlah riset memang menunjukkan bahwa rangsangan musik klasik merangsang kecerdasan anak, terutama yang masih bayi. Tetapi tidak dengan sendirinya setiap musik klasik mencerdaskan. Musik klasik yang variasi ritmenya dinamis memberi rangsang otak yang lebih kaya dibanding musik klasik yang tenang. Ini senada dengan riset Bradley & Caldwell bahwa ibu yang “ramai”, banyak mengajak bayinya bicara, akan mampu meningkatkan kecerdasan si bayi secara mengesankan. Paul Madaule, penulis buku Earobics, memperkuat hal ini. Ia menunjukkan bahwa suara ibu merupakan gizi terbaik untuk jiwa dan pikiran bayi.
Merujuk catatan Bradley & Caldwell, sering-seringlah mengajak bayi Anda ngobrol, dan berbicaralah kepadanya dengan “meriah” jika Anda ingin punya anak cerdas. Banyak-banyaklah menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang, ceritakan kepadanya apa yang sedang Anda lakukan dan tunjukkanlah apa yang ada di sekelilingnya agar otaknya berkembang pesat. Sampaikan kepadanya pesan-pesan Anda karena masa komunikasi pra-simbolik (sebelum anak bisa berbicara) sangat mempengaruhi perkembangan pikiran dan emosi anak di waktu-waktu berikutnya.
Jika ini Anda lakukan, manfaatnya akan jauh lebih besar dibanding musik klasik yang Anda perdengarkan kepadanya. Apalagi yang sekedar senandung tanpa makna, meskipun itu lagu anak-anak. Sebab banyak lagu anak-anak yang tidak bergizi bagi jiwa anak.
Saya bukan mengatakan bahwa seni tidak bisa memberi manfaat. Tetapi harus kita perhatikan bahwa tidak dengan sendirinya setiap seni, setiap musik dan bahkan setiap lagu anak-anak bermanfaat untuk memberi rangsangan kecerdasan yang memadai serta sentuhan emosi yang positif. Sebagian lagu anak-anak justru merusak kemampuan berpikir logis matematis mereka. Lagu berikut ini contohnya:
“Anak monyet di atas pohon. Anak kelinci di bawah tanah.
Anak burung di dalam sangkar. Anak pintar di meja belajar.
Panjang leher namanya Zebra. Panjang hidung namanya gajah.
Panjang tangan itu pencuri. Panjang sabar, kekasih Ilahi.”
Ini berarti bahwa kita selaku orangtua maupun guru harus memperhatikan apa yang kita berikan pada anak-anak kita. Perlu ilmu untuk menjadi orangtua, sebagaimana untuk menjadi seorang guru kita juga harus memiliki ilmu yang memadai agar tidak cuma mengaminkan apa yang dikatakan orang tentang bagaimana harus mendidik anak. Atas pendapat yang tampaknya benar, kita perlu tahu dasar ilmunya agar tidak bertindak gegabah.
Hari ini saya merasakan hal itu!
Kita merasa “keliru” hanya karena tidak mengikuti apa yang “umum” dan yang “umumnya dianggap benar”. Padahal tak ada ilmu yang kita miliki. Salah satu contohnya ya tentang seni tadi. Banyak dari kita mengangguk-anggukkan kepala begitu saja, menganggap benar bahwa menyanyi dengan sendirinya akan melembutkan jiwa, menghaluskan perasaan dan membaguskan budi. Padahal sudah banyak pelajaran di sekeliling kita tentang bagaimana seorang penyanyi harus mengakhiri hidupnya karena tak kuat menahan beban mental. Stress.
Banyak pula yang terlalu menyederhanakan persoalan bahwa gejolak remaja akan terselesaikan apabila mereka menyalurkan energinya dengan olah raga. Padahal sebagian jenis olah raga justru memperkuat syahwat.
Tampaknya kita perlu lebih cerdas menjadi orangtua. Tentu saja bukan dengan menolak apa saja tanpa ilmu, sebab ini sama buruknya dengan menerima apa saja karena ikut-ikutan. Di antara bentuk kesenian, juga ada yang bermanfaat untuk melembutkan jiwa. Sebagaimana olahraga juga banyak manfaatnya. Bukankah Rasulullah saw. menganjurkan kita untuk mengajari anak-anak kita berenang, memanah dan berkuda?
Selengkapnya...
Minggu, 11 Januari 2009
Nyanyian untuk Anak Kita
Jumat, 09 Januari 2009
Awalnya Pikiran Kita
Ada benarnya nasehat Frank Outlaw. Ya, hati-hati dengan pikiranmu karena akan menjelma menjadi kata. Hati-hati dengan kata-kata yang kau ucapkan karena akan melahirkan tindakan. Hati-hati dengan tindakan-tindakanmu karena akan membentuk kebiasaan. Hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan menentukan karaktermu. Dan, awas, perhatikan karaktermu karena akan menentukan nasibmu.
Mari kita ingat ungkapan terkenal Frank Outlaw sebelum kita lanjutkan perbincangan ini. Kata Outlaw, “Watch your thoughts; they become words. Watch your words; they become actions. Watch your actions; they become habits. Watch your habits; they become character. Watch your character; it becomes your destiny.”
Sesungguhnya, tak pedang yang tajamnya melebihi ucapan kita. Ia mampu membelah dada anak-anak kita, atau membangkitkan kekuatan jiwanya sehingga tak ada yang ia takuti kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ucapan kita dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan anak-anak kepada kita dan kepada Allah Yang Maha Menciptakan. Baiknya buruknya kehidupan anak-anak kita, lisan kitalah yang menentukan. Sebab dari kata akan lahir tindakan, dan tindakan yang terus menerus akan melahirkan kebiasaan. Jika kata itu keluar melalui pemikiran yang jernih dan matang, ia akan mampu melahirkan karakter pribadi anak yang sangat kuat; menghunjam dalam dada, mewujud dalam sikap yang jelas dan tindakan yang mengesankan.
Maka, marilah kita memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas ucapan-ucapan kita yang tidak dibimbing kebenaran. Semoga atas kesalahan kita dalam berbicara, Allah ‘Azza wa Jalla berikan ampunan. Semoga pula Allah meluruskan ucapan-ucapan kita yang salah kepada anak-anak kita. Sungguh, kalau Allah tidak memberikan ampunan dan pertolongan-Nya, maka tak ada yang bisa kita harapkan atas diri kita dan anak-anak kita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).
Mari kita lihat, betapa dekat kaitannya antara menguatkan generasi dengan menjaga ucapan. Allah Ta’ala berikan dua kunci saja agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita; yakni bertakwa (fal yattaqullah) dan berbicara dengan perkataan yang benar (wal yaquulu qaulan sadiida).
Hanya dua ini? Ya. Hanya dua inilah kunci pokok menyiapkan generasi agar mereka tak hanya cerdas otaknya, lebih penting dari itu bangkit jiwanya; Agar mereka tak hanya cerdas emosinya, lebih mendasar lagi kuat imannya kokoh jiwanya.
Hanya dua ini. Tetapi dari dua ini, jika kita mampu melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, akan lahir kebaikan-kebaikan berikutnya. Allah ‘Azza wa Jalla akan baguskan amal-amal kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Sungguh, terhapusnya dosa pada diri kita dan orang-orang yang ada di rumah kita akan memancarkan keteduhan, ketenangan, kebaikan dan semangat untuk terus-menerus memperbaiki diri meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Rasa saling percaya dan merasa tenteram dengan kehadiran masing-masing anggota keluarga, akan lebih kuat terasa dalam diri kita. Dan inilah jalan membangun kekompakan. Ini pula jalan untuk membangun kekuatan ruhiyah kita, sebab ruh itu seperti pasukan tentara. Ia akan segera menyatu dengan ruh kawannya (ruh yang sama).
Kesenjangan komunikasi antar generasi –antara orangtua dengan anaknya yang mulai beranjak remaja, misalnya—kerapkali bukan soal kesenjangan wawasan, tetapi karena jauhnya perbedaan ruhiyah antar mereka.
Belajar tentang teknik berkomunikasi dengan anak memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah penggerak komunikasi yang ada dalam hati kita. Harus kita bedakan antara yang pokok (taqaddum) dan yang bersifat turunan atau derivat (ta-akhkhur); antara teknik berkomunikasi dengan prinsip utama komunikasi antara orangtua dan anak.
Ingin sekali saya berbincang tentang masalah penting ini: berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadiida) dan yang menjadi pijakan sangat menentukan, yakni bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi saya dapati diri saya belum termasuk orang-orang yang bertakwa. Saya hanyalah orangtua dari lima orang anak –setidaknya sampai hari ini—yang sedang memancang keinginan untuk bertakwa dengan sebenar-benar takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadiida) kepada anak-anak saya.
Hampir tak ada yang bisa saya uraikan kepada Anda tentang bagaimana berbicara yang benar pada anak akan membangkitkan kepercayaan mereka kepada kita, sehingga ucapan-ucapan kita akan mereka dengarkan dengan sepenuh hati. Karna itu, izinkan saya menutup perbincangan ini dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (qaulan sadiida), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).
Begitu. Awalnya dari pikiran kita; pikiran yang mempengaruhi ucapan. Penjaganya adalah hati kita; fujur (menyimpang dari kebenaran) atau takwa.
Wallahu a’lam bishawab.
Selengkapnya...
Kamis, 08 Januari 2009
Solilokui Pagi Hari
Astaghfirullahal ‘adzim.
Telah terjaga tubuh ini, ya Allah di pagi yang matahari bersinar cerah mengikuti perintah-Mu. Telah terbangun badan ini dari pembaringan membuai mimpi. Telah terbelalak pula mata ini menyaksikan irama alam yang Engkau ciptakan. Tetapi jiwa ini, ya Allah, rasanya masih lelap dengan tidurnya. Di luar sana, di negeri tempat cucu nabi-Mu Engkau wafatkan, ratusan saudara kami meneteskan darah dari matanya. Tapi tak sedikit pun dada kami terguncang.
Telah terbentang lebar mata ini menikmati pagi yang burung-burung Engkau jadikan berkicau merdu, indah terdengar di telinga. Di pagi ini, ya Allah, kami duduk menikmati berita tentang saudara-saudara kami yang dicungkil matanya oleh tentara Amerika. Bagai sebuah pesta, kami asyik memandangi foto-foto saudara kami yang ditelanjangi tubuhnya, disengat listrik kemaluannya, dikuliti tubuhnya seperti jagal yang menguliti seekor kambing yang hendak diperdagangkan dagingnya, sembari pada saat yang sama kami belajar demokrasi ke negeri para penyiksa itu. Kepada kaum barbar itu, kami belajar hak asasi dan kemanusiaan, sambil mengutuk setiap anak kecil Palestina yang melempari tentara Israel dengan batu kecil, semata demi mengharapkan berhentinya sebuah tank besar yang kemarin telah membunuh bapaknya.
Alangkah segar pagi ini, ya Allah. Engkau ciptakan kesempurnaan alam yang indah. Sinar matahari menyemburat di cela-cela dedaunan, sebagaimana darah perempuan-perempuan muslimah di Irak menyemburat dari daun telinga mereka. Hari ini, mereka tak lagi mengenal kata sakit karena gigi yang patah, sebab yang sekarang mereka rasakan sebagai derita adalah tusukan bayonet di tubuh oleh tentara yang pergi ke sana untuk menciptakaan negeri yang damai. Para wanita itu harus kehilangan giginya dan juga biji matanya hanya karena mereka tak mau berhenti menangisi suaminya yang mati. Di sini, kami belajar dari negeri yang barbar itu, bahwa setiap bentuk kemarahan seorang Muslim yang tidak rela ditindas adalah terorisme, meskipun mereka hanya melempar sebiji kerikil ke pesawat tempur yang sedang diparkir.
Saudara-saudara kami disiksa, ya Allah, oleh tentara-tentara Amerika yang baik hati. Hati kami marah, ya Allah, dan membicarakannya bersama keluarga sambil menik¬mati sedapnya kopi instant panas buatan pendukung Yahudi. Kami kutuk mereka, ya Allah, sambil kami belanjakan uang kami kepada sahabat-sahabat mereka dengan bangga. Kami lakukan itu dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya demi merebut sepotong kenikmatan yang memanjakan lidah, sementara anak-anak yang baru lahir di Palestina tak lagi bisa mengeluarkan airmata.
Ya Allah, sekali waktu kami masih punya rasa malu. Tetapi untuk bertindak yang lebih jauh, tak ada pemimpin yang dapat kami tiru. Orang-orang pintar di sekeliling kami, masih sibuk bertengkar berebut kekuasaan. Sedangkan orang-orang yang menyandang banyak gelar besar, hanya pandai berkelakar daripada memikirkan masalah dengan benar. Ataukah kami ini ya Allah yang keliru menilai pemimpin-pemimpin kami? Kami mengira mereka pemimpin sejati, padahal sesungguhnya adalah pemimpi yang sibuk memperjuangkan kursi. Adapun nasib kami ini ya Allah, atau lebih-lebih saudara kami yang hampir mati itu ya Allah, tergantung apa kata Tuan Besar yang menentukan hitam-putihnya hak asasi dan kemanusiaan.
Ya Allah…, ataukah di dalam tubuh kami yang sehat dan mata kami yang dapat melihat dengan amat jelas, sesungguhnya hati kami buta, tuli dan bisu sehingga kami tak dapat mendengar suara-suara saudara kami yang nyata-nyata sedang disiksa oleh Polisi Dunia? Ataukah ‘ízzah –harga diri—kami yang telah runtuh sehingga kami tak tahu kebenaran yang harus kami suarakan hanya karena penderitaan itu bukan kami sendiri yang mengalami? Ataukah iman kami yang sedang sakit, sehingga tidak merasa takut dengan peringatan nabi-Mu?
Sungguh, nabi-Mu pernah mengingatkan kami, ya Allah. Nabi-Mu pernah bersabda sebagaimana kuketahui dari Adz-Dzahaby dalam Al-Kabaairnya, “Allah melaknat orang yang membiarkan seorang Muslim dalam kesulitannya dan tidak membantunya.”
Hari ini, mereka bukan hanya dalam kesulitan. Mereka dalam penderitaan dan penyiksaan. Sementara kami di sini asyik membantu musuh-musuh mereka dengan membelanjakan uang kami untuk para penyiksa itu.
Ampunilah kami, ya Allah… meski kami masih sering lupa.
Selengkapnya...
Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah
Seperti seruan adzan, awalnya mengagungkan Allah dan mengakui kebesarannya. Permulaannya kesaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sesudah itu seruan untuk menegakkan shalat dan merebut kemenangan. Sedangkan ujungnya adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Seperti itu juga seharusnya hidup kita….
Awalnya kita bergerak untuk mengagungkan Allah. Setiap jengkal bumi ini, di setiap sudut kampung-kampung dan negeri, harus kita penuhi dengan takbir. Takbir dengan lisan kita dengan menyebut Allahu akbar. Hanya Allah Yang Maha Besar dan Maha Lebih Besar. Tak ada kebesaran yang melebihi kebesaran-Nya. Tak ada tempat bagi kita untuk menganggap kecil orang lain, karena kita melihat pada pencipta-Nya. Sebaliknya, tak ada yang layak kita besar-besarkan atas orang-orang yang membesarkan dirinya di hadapan manusia, karena sebesar apa pun mereka, sesungguhnya Allah Maha Besar.
Berangkat dari kesadaran bahwa hanya Allah Yang Maha Besar, kita menyatakan kesaksian (syahadat) dengan lisan dan hati kita. Kemudian kita mengarahkan diri kita, pikiran kita, hati kita dan tindakan kita agar apa pun yang kita lakukan adalah dalam rangka untuk menyembah Allah. Bukankah kita diciptakan untuk menyembah-Nya?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 56-58).
Karenanya, kita perlu berupaya agar seluruh aktivitas dan hidup kita memmpunyai nilai ‘ibadah. Tidaklah kita shalat kecuali untuk Allah. Tidaklah kita mati kecuali untuk Allah. Dan kesadaran ini harus kita hidupkan dalam diri kita. Jika tidak, shalat yang kita lakukan pun bisa terlepas dari kebaikan. Betapa banyak orang yang tampaknya sedang mengagungkan Allah dan menyungkurkan keningnya ke tanah, tetapi sesungguhnya ia sedang menyibukkan diri dengan dunia. Ia basahi lisannya dengan takbir, tetapi ia penuhi hatinya dengan dunia.
Astaghfirullahal ‘azhiim. Atau jangan-jangan, kitalah yang lebih banyak lupa daripada ingat, yang lebih banyak menyibukkan diri dengan dunia daripada menyempatkan berpikir akhirat.
Ah, agaknya kita perlu mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-An’aam ayat 162-163:
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Tentu saja ayat ini bukan untuk memalingkan kita dari dunia dan tidak memedulikannya. Tetapi agar seluruh yang kita lakukan, termasuk kerja keras kita dalam mencari nafkah, semata-semata untuk Allah. Kita menggenapi apa yang diperintahkan, menunaikan apa yang diserukan-Nya dan mempergunakan apa yang ada pada kita untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Boleh jadi hari-hari kita penuh dengan kesibukan, sehingga seakan-akan seluruh hidup kita untuk dunia. Tetapi jika ia jadikan itu semua untuk memuji dan menyembah-Nya, mematuhi aturan-Nya dan tidak menentang perintah-Nya, maka ia terhitung sedang melakukan ketaatan.
Saya teringat dengan sebuah hadis. Rasulullah saww. bersabda, “Allah kagum kepada seseorang yang menggembala kambingnya di atas gunung. Ia azan dan melaksanakan shalat. Allah berfirman, “Lihatlah oleh kalian (wahai para malaikat) hamba-Ku itu! Ia azan dan shalat. Ia takut kepada-Ku. Aku mengampuni dosanya dan aku akan memasukkannya ke dalam surga.”” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’ie & Ahmad).
Hari ini, ketika iman kita terasa amat lemah, semoga kita dapat menggerakkan diri kita untuk menuju ketaatan hanya kepada-Nya. Semoga ujung hidup kita adalah peneguhan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Ya, tidak ada tuhan kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.
Selengkapnya...
Setetes Darah Istri Tercinta
Subuh itu kami baru saja menikmati sahur pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya. Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.
Bu Sri mendampingi beberapa saat. Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata yang hampir menetes.
Saya ingin sekali rasanya berlari memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya lahir. Seorang laki-laki. Saya namai ia Muhammad Husain, agar kelak ia menjadi orang yang pengasih kepada sesama manusia sebagaimana akhlak Rasulullah saw. dan cucunya, Al-Husain. Dan kutambahkan di belakangnya nama As-Sajjad agar ia menjadi orang yang banyak bersujud. Biarlah malam-malamnya nanti banyak ia habiskan untuk bersyukur dan menyembah-Nya. Biarlah ia menjadi orang yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Sehingga, lengkaplah namanya menjadi Muhammad Husain As-Sajjad.
Tidak sedih, tidak gembira. Hanya perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya.
Diam-diam kupandangi anakku. Ingin kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku Bersikap terhadap Anak (Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).
Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “… hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.
Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi. Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.
Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak.
Kedekatan psikis (attachment) antara ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian.
Saya tidak tahu apakah istri saya lebih bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan Anda. Bagaimana?
Selengkapnya...
Rabu, 07 Januari 2009
Merenungi Penciptaan Alam
Ada perbedaan yang sangat tipis antara berpikir dan mempertanyakan. Berpikir menuntun kita memperoleh jawaban menyeluruh yang matang dan mendalam, sehingga berguna bagi kita dalam bersikap dan menentukan tindakan. Semakin matang jawaban yang kita peroleh akan semakin baik kita memahami segala sesuatu, sehingga semakin menyadarkan bahwa sangat banyak hal yang belum kita pahami. Ini berarti semakin tinggi ilmu kita justru semakin menyadarkan betapa sedikit ilmu yang kita miliki, semakin tahu letak ketidaktahuan kita, sehingga atas apa-apa yang kita belum memiliki ilmunya, kita tidak menafikannya.
Berpikir membuat akal kita bekerja. Sedangkan bekerjanya akal membuat kita menyadari keteraturan yang berlaku di alam semesta ini. Selanjutnya, insya-Allah penggunaan akal yang tepat akan mengantarkan kita tunduk kepada Yang Maha Menciptakan.
Mirip dengan berpikir adalah kemampuan mengingat dan memahami penjelasan. Orang yang unggul dalam mengingat dan memahami penjelasan bisa menjadi penceramah yang baik, tetapi tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menyadari keteraturan alam semesta ini. Mereka tahu, tapi bukan menyadari. Semakin banyak pengetahuan bukan jaminan akan semakin matangnya diri seseorang. Bahkan bisa mendorong ia untuk banyak mempertanyakan.
Jika kemampuan bertanya merangsang orang untuk berpikir dengan cerdas, maka tidak demikian dengan mempertanyakan. Sikap mempertanyakan mendorong kita untuk menolak kebenaran dan berhenti berpikir maupun meneliti.
Ketika Allah ‘Azza wa Jalla hendak menciptakan khalifah di muka bumi, yakni Adam ‘alaihissalam, malaikat bertanya kepada Allah tentang alasan penciptaan. Ini terekam dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30. Sedangkan syaithan mempertanyakan mengapa harus bersujud kepada Adam. Syaithan mempertanyakan karena merasa tinggi, lebih tinggi kedudukannya daripada Adam. Syaithan tidak bisa melihat bahwa sujudnya kepada Adam sesungguhnya bukanlah menyembah Adam, melainkan ketundukan terhadap yang memberi perintah, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
Apa yang bisa kita petik dari diskusi tentang berpikir? Dalam kaitannya dengan pembelajaran, kita memiliki tugas untuk merangsang anak-anak cerdas dalam bertanya. Sesungguhnya bertanya adalah separo ilmu. Pertanyaan yang bagus akan mengantarkan pada jawaban yang bagus. Pertanyaan yang bagus mengantarkan anak untuk menggali lebih dalam, mempelajari lebih matang dan berpikir lebih mendalam. Sedangkan mempertanyakan cenderung mendorong kita untuk memprotes apa-apa yang kita tidak memiliki ilmunya atau apa yang kita belum sanggup menjangkau.
Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan untuk merangsang anak merenungi penciptaan alam ini. Pertama, memahamkan kepada anak pengetahuan tentang alam semesta untuk selanjutnya meningkat pada pemahaman tentang prinsip-prinsip ilmu alam, keteraturan pada mekanisme alam semesta, anomali hukum alam dan apa yang terjadi jika Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan anomali. Kedua, mengajak anak secara bertahap untuk melihat keteraturan dan segala proses yang terjadi pada alam semesta ini, baik berkait dengan alam semesta secara keseluruhan maupun bagian-bagian kecilnya seperti bagaimana daun menghijau dan menguning, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana air laut menguap menjadi awan dan selanjutnya turun sebagai hujan adalah tanda keteraturan hukum alam yang Allah Ta’ala ciptakan. Tetapi apakah hujan akan turun tepat di atas laut yang menguapkan airnya? Malaikat Allah yang bertugas untuk mengaturnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ketiga, selanjutnya guru mengajak murid memasuki wilayah yang bersifat ruhiyah. Apa pun mata pelajarannya, anak diajak untuk banyak mengingat Allah. Anak mengingati sifat Allah yang maha suci bukan terutama karena seringnya guru berucap subhanaLlah, melainkan karena seringnya guru mengajak anak menyadari sifat Allah. Keempat, guru senantiasa berusaha membangkitkan kesadaran tentang amanah penciptaan atas diri mereka. Kita dorong mereka untuk berbuat dan melakukan yang terbaik untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan menolong agama-Nya.
Kelima, kita ajak anak-anak untuk melihat betapa seriusnya Allah menciptakan setiap makhluknya dan tidak ada yang sia-sia dengan ciptaan-Nya. Dari ini, kita berharap anak-anak akan bisa bertasbih memuji-Nya. Maha Suci Ia. Sedangkan atas apa-apa yang belum mereka ketahui ilmunya, mereka akan belajar untuk meyakini bahwa pasti ada kebaikan besar di dalamnya.
Pada akhirnya, yang keenam, kita berharap melalui proses pembelajaran semacam ini anak-anak akan semakin besar rasa cintanya kepada Allah, semakin besar ketundukannya dan semakin kuat rasa takutnya disebabkan semakin bertambahnya ilmu mereka. Insya-Allah inilah yang menjaga diri mereka dari perbuatan sia-sia, dan di sisi lain, mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik. Inilah the basic of knowing (dasar berpengetahuan) yang perlu kita tanamkan!
Agar guru bisa menjalankan tugas tersebut, mereka perlu banyak berpikir. Tafakkur. Bukan hanya membaca. Tetapi jika membaca saja tidak pernah, bagaimana kita bisa berharap mereka cerdas dalam berpikir?
Selengkapnya...
Ia Lahir untuk Zamannya
Banyak tokoh telah berlalu. Mereka meninggalkan catatan dalam sejarah yang dapat kita buka lembarannya setiap saat. Sir Dr. Muhammad Iqbal salah satunya. Ia adalah pemikir besar Muslim yang sangat berpengaruh. Gagasan-gagasannya banyak dikaji orang hingga hari ini.
Apa yang menarik dari Dr. Muhammad Iqbal buat kita para orangtua? Visi ayahnya. Jika ibu bertugas menyayangi, melimpahi perhatian yang tulus, mengasuhnya dengan penuh kelembutan serta memberi rasa aman sejak hari pertama kelahiran; maka kita melihat bahwa para ayah dari orang-orang besar meletakkan visi yang kuat pada diri anak-anaknya. Inilah yang kita dapati pada diri Luqman Al-Hakiem, tukang kayu yang menggenggam hikmah dari Allah ‘Azza wa Jalla sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Begitu pula pada diri Nabi besar kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para Nabi. Dari seorang ayah yang memiliki visi Ilahiyah sangat kuat ini, lahir para nabi pembimbing ummat. Tidak terkecuali Nabi kita Muhammad saw..
Kenabian memang bukan soal visi orangtua. Ia merupakan hak mutlak Allah untuk memberikan kepada orang yang dipilih-Nya. Kenabian juga telah berakhir. Sesudah Muhammad saw., tak ada lagi Nabi dan Rasul yang akan dibangkitkan di tengah-tengah umat ini.
Tetapi…
Ada yang bisa kita petik dari ayah Dr. Muhammad Iqbal. Kepada Iqbal kecil, ayahnya memberi nasehat, “Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan untukmu.”
Tentu ada banyak nasehat yang pernah diberikan ayahnya. Tetapi nasehat inilah yang membekas di dada Iqbal kecil sehingga mempengaruhi perkembangan jiwanya.
Tentang nasehat ayahnya ini, ia memberi kesakasian:
“Setelah itu,” kata Dr. Muhammad Iqbal menuturkan, “Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku!”
Inilah nasehat yang sangat visioner. Ia mengingatkan hal-hal pokok yang apabila itu hidup dalam dirinya, maka seluruh pikiran dan tindakannya akan terwarnai. Hal yang sama berlaku untuk motivasi, dorongan belajar, nasehat tentang perilaku dan seterusnya. Ada nasehat yang hanya memiliki kekuatan satu dua jam, ada nasehat yang memiliki kekuatan satu dua minggu dan ada juga nasehat yang memiiki kekuatan hingga masa yang sangat panjang.
Kemampuan memberi nasehat yang paling tepat untuk menggerakkan kebaikan dalam diri anak, kerapkali bukan lahir dari kecerdasan orangtua. Betapa banyak anak-anak yang memiliki orangtua doktor sekaligus dokter, tetapi kualitas pengasuhan dan pendidikan keluarga yang ia terima hanya setingkat dengan mereka yang tidak mampu menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres yang paling buruk. Kenapa? Salah satunya karena orangtua tidak punya visi dalam mengasuh dan mendidik. Sebab lain yang kerap saya temui, mereka –para orangtua—menempuh pendidikan tinggi memang bukan untuk menyiapkan anak-anak masa depan. Kembali ke rumah setelah menempuh jenjang pendidikan yang sangat tinggi merupakan mimpi yang buruk. Mereka memilih menyerahkan anak-anaknya kepada orang yang sebenarnya tidak diciptakan untuk mendidik anak. Mereka mungkin bagus dalam mendidik anak-anaknya, tetapi bukan anak kita.
Contoh sederhana. Tugas orangtua mendidik anak, sedangkan tugas nenek memanjakan cucu. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan seandainya masing-masing menjalankan pe¬rannya dengan baik. Nenek secara alamiah akan cenderung memanjakan cucu. Tanpa disuruh, mereka akan melakukannya. Sebagian orangtua bahkan merasa kebingungan bagaimana meng¬hadapi nenek yang begitu memanjakan cucu. Alih-alih risau terhadap kelangsungan pendidikan anak, kita menuding nenek anak-anak kita sebagai penyebab kekacauan. Padahal akar masa¬lahnya terletak pada rendahnya komitmen kita menjalankan tugas sebagai orangtua. Atau, boleh jadi kita memiliki komitmen yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki visi yang jelas.
Apa yang Anda inginkan terhadap anak Anda?
“Saya ingin punya anak yang shalih.” Shalih yang seperti apa? Coba rumuskan.
“Saya ingin punya anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.” Wah, ini persis seperti petuah pada penataran P-4. Singkat, padat dan tidak jelas. Apakah yang Anda maksud berguna bagi nusa, bangsa dan agama itu berarti tukang sapu jalan yang rajin shalat lima waktu? Negara ini butuh tukang sapu, meski negara ini juga membutuhkan negarawan yang baik, memiliki keteladanan yang tinggi dan kerendah-hatian untuk mendengarkan suara rakyatnya langsung dari lisan mereka.
Lalu kenapa visi? Jika saya boleh menyepakati pengertian visi sebagai an ideal standard of excellence, maka visi yang kuat akan membangkitkan sense of purpose and direction. Kepekaan terhadap tujuan dan arah. Visi membentuk gambaran mental (mental image) pada diri kita sehingga mempengaruhi perasaan, pikiran, sikap dan tindakan kita. Semakin kuat visi kita, semakin peka kita terhadap apa yang bisa membawa kepada tujuan. Sebaliknya, kita juga semakin cepat menangkap apa yang menjauhkan dari tercapainya standar ideal kesempurnaan dan kehebatan.
Tetapi harap diingat, lamunan yang tak diikuti dengan upaya yang keras, gambaran yang jelas dan tujuan yang kuat, bukanlah visi. Ia adalah angan-angan kosong. Tak bernilai.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita, anak-anak kita beserta seluruh keturunan kita. Semoga kita semua dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya.
Allahumma amin.
Selengkapnya...