Kamis, 08 Januari 2009

Solilokui Pagi Hari

Astaghfirullahal ‘adzim.
Telah terjaga tubuh ini, ya Allah di pagi yang matahari bersinar cerah mengikuti perintah-Mu. Telah terbangun badan ini dari pembaringan membuai mimpi. Telah terbelalak pula mata ini menyaksikan irama alam yang Engkau ciptakan. Tetapi jiwa ini, ya Allah, rasanya masih lelap dengan tidurnya. Di luar sana, di negeri tempat cucu nabi-Mu Engkau wafatkan, ratusan saudara kami meneteskan darah dari matanya. Tapi tak sedikit pun dada kami terguncang.

Telah terbentang lebar mata ini menikmati pagi yang burung-burung Engkau jadikan berkicau merdu, indah terdengar di telinga. Di pagi ini, ya Allah, kami duduk menikmati berita tentang saudara-saudara kami yang dicungkil matanya oleh tentara Amerika. Bagai sebuah pesta, kami asyik memandangi foto-foto saudara kami yang ditelanjangi tubuhnya, disengat listrik kemaluannya, dikuliti tubuhnya seperti jagal yang menguliti seekor kambing yang hendak diperdagangkan dagingnya, sembari pada saat yang sama kami belajar demokrasi ke negeri para penyiksa itu. Kepada kaum barbar itu, kami belajar hak asasi dan kemanusiaan, sambil mengutuk setiap anak kecil Palestina yang melempari tentara Israel dengan batu kecil, semata demi mengharapkan berhentinya sebuah tank besar yang kemarin telah membunuh bapaknya.
Alangkah segar pagi ini, ya Allah. Engkau ciptakan kesempurnaan alam yang indah. Sinar matahari menyemburat di cela-cela dedaunan, sebagaimana darah perempuan-perempuan muslimah di Irak menyemburat dari daun telinga mereka. Hari ini, mereka tak lagi mengenal kata sakit karena gigi yang patah, sebab yang sekarang mereka rasakan sebagai derita adalah tusukan bayonet di tubuh oleh tentara yang pergi ke sana untuk menciptakaan negeri yang damai. Para wanita itu harus kehilangan giginya dan juga biji matanya hanya karena mereka tak mau berhenti menangisi suaminya yang mati. Di sini, kami belajar dari negeri yang barbar itu, bahwa setiap bentuk kemarahan seorang Muslim yang tidak rela ditindas adalah terorisme, meskipun mereka hanya melempar sebiji kerikil ke pesawat tempur yang sedang diparkir.
Saudara-saudara kami disiksa, ya Allah, oleh tentara-tentara Amerika yang baik hati. Hati kami marah, ya Allah, dan membicarakannya bersama keluarga sambil menik¬mati sedapnya kopi instant panas buatan pendukung Yahudi. Kami kutuk mereka, ya Allah, sambil kami belanjakan uang kami kepada sahabat-sahabat mereka dengan bangga. Kami lakukan itu dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya demi merebut sepotong kenikmatan yang memanjakan lidah, sementara anak-anak yang baru lahir di Palestina tak lagi bisa mengeluarkan airmata.
Ya Allah, sekali waktu kami masih punya rasa malu. Tetapi untuk bertindak yang lebih jauh, tak ada pemimpin yang dapat kami tiru. Orang-orang pintar di sekeliling kami, masih sibuk bertengkar berebut kekuasaan. Sedangkan orang-orang yang menyandang banyak gelar besar, hanya pandai berkelakar daripada memikirkan masalah dengan benar. Ataukah kami ini ya Allah yang keliru menilai pemimpin-pemimpin kami? Kami mengira mereka pemimpin sejati, padahal sesungguhnya adalah pemimpi yang sibuk memperjuangkan kursi. Adapun nasib kami ini ya Allah, atau lebih-lebih saudara kami yang hampir mati itu ya Allah, tergantung apa kata Tuan Besar yang menentukan hitam-putihnya hak asasi dan kemanusiaan.
Ya Allah…, ataukah di dalam tubuh kami yang sehat dan mata kami yang dapat melihat dengan amat jelas, sesungguhnya hati kami buta, tuli dan bisu sehingga kami tak dapat mendengar suara-suara saudara kami yang nyata-nyata sedang disiksa oleh Polisi Dunia? Ataukah ‘ízzah –harga diri—kami yang telah runtuh sehingga kami tak tahu kebenaran yang harus kami suarakan hanya karena penderitaan itu bukan kami sendiri yang mengalami? Ataukah iman kami yang sedang sakit, sehingga tidak merasa takut dengan peringatan nabi-Mu?
Sungguh, nabi-Mu pernah mengingatkan kami, ya Allah. Nabi-Mu pernah bersabda sebagaimana kuketahui dari Adz-Dzahaby dalam Al-Kabaairnya, “Allah melaknat orang yang membiarkan seorang Muslim dalam kesulitannya dan tidak membantunya.”
Hari ini, mereka bukan hanya dalam kesulitan. Mereka dalam penderitaan dan penyiksaan. Sementara kami di sini asyik membantu musuh-musuh mereka dengan membelanjakan uang kami untuk para penyiksa itu.
Ampunilah kami, ya Allah… meski kami masih sering lupa.

Tidak ada komentar: