Rabu, 07 Januari 2009

Ingatan yang Tajam

Bertanyalah kepada orang yang merasa daya ingatnya rendah, apa yang sulit mereka lupakan. Menarik! Ternyata hampir semua memiliki pengalaman yang tidak mudah mereka hapuskan; mudah sekali teringat setiap kali ada peristiwa yang berkait. Begitu juga, kita menjumpai betapa banyak peristiwa, tindakan, ucapan bahkan tulisan yang dengan mudah mereka rekam dan pahami sekaligus bisa segera mereka ingat tatkala memerlukan. Padahal, mereka merasa daya ingatnya rendah!

Kita melihat di sini sebuah kontradiksi menarik: daya ingat rendah, tetapi susah lupa!
Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena kita belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.
Anda sendiri saya kira juga memiliki hal-hal yang sulit dilupakan maupun hal-hal yang sangat mudah diingat. Yang sulit kita lupakan adalah peristiwa atau sesuatu yang memiliki bobot emosi sangat kuat. Gempa bumi misalnya, umumnya termasuk peristiwa yang sulit dilupakan. Peristiwa traumatis bahkan bisa menghantui seseorang sepanjang hidupnya sehingga menuntut usaha keras untuk melupakannya –bila perlu harus terapi ke seorang psikolog--, meski peristiwa yang sama tidak menimbulkan efek apa-apa bagi orang lain. Sementara yang mudah kita ingat adalah hal-hal yang kita minati, kita perhatikan atau yang berkaitan dengan tujuan kuat dalam diri kita, baik tujuan jangka pendek maupun cita-cita besar di masa mendatang yang benar-benar mempengaruhi diri kita.
Pengagum berat musik rock misalnya, dengan mudah akan hafal –bahkan tanpa menghafalkan—lagu baru yang dilantunkan oleh penyanyi pujaannya, cukup dengan satu kali mendengarkan. Padahal dalam bidang akademik, boleh jadi dia merasa susah mengingat materi pelajaran sederhana yang disampaikan oleh guru paling menarik sekalipun.
Apa sebabnya? Rasa suka. Karena ia sangat mengagumi sang penyanyi, maka muncul antusiasme saat mendengarkan. Antusiasme inilah yang menimbulkan semangat sehingga kita bisa menghafal lagu dengan sangat cepat. Kita belajar secara efektif bukan karena lagu tersebut ada musiknya, tetapi karena ada gairah besar saat mendengarkan. Tanpa sadar, kita telah belajar dengan mengerahkan kemampuan otak kita secara maksimal. Kita memperhatikan dengan sungguh-sungguh pada setiap kata yang menyusun syair lagu itu. Hasilnya, otak kita bekerja sangat efektif. Bukankah salah satu yang menguatkan daya ingat saat belajar adalah perhatian?
Nah, sebuah pelajaran baru saja kita catat, antusiasme menjadikan perhatikan kita meningkat terhadap apa yang kita pelajari.
Apakah lagu memang mudah dihafalkan? Tidak. Perbincangan kita tentang lagu hanyalah sekedar menyebut contoh. Saya termasuk orang yang sangat sulit menghafal lagu. Sebabnya, selera musik saya rendah sehingga semenjak SD saya memperoleh nilai yang buruk untuk seni suara. Salah satunya karena saya sangat kesulitan menghafal lagu. Padahal dalam bidang lain saya bisa mengingat pelajaran dengan sangat baik, tidak terkecuali dialek gurunya saat menerangkan.
Jika mencermati bagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in mendengarkan setiap tutur kata Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, kita merasakan betapa besar antusiasme mereka. Ada kecintaan yang luar biasa dalam diri setiap sahabat kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sehingga secara spontan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh disertai minat yang sangat tinggi terhadap setiap ucapan dan tindakan Rasulullah sang kekasih.
Maka, “wajarlah” jika para sahabat memiliki daya ingat yang tinggi terhadap perilaku maupun sabda Nabi, bahkan hingga titik komanya. Mereka mengingat secara persis seperti semut mengingat sarangnya. Apalagi bagi seorang Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu tidak punya kesibukan apa pun selain tinggal di masjid dan mengikuti kemana Rasulullah shallaLlahu ‘alahi wa sallam pergi. Sebagai ahlu suffah, seorang yang miskin papa tanpa tempat tinggal, Abu Hurairah mempunyai kesempatan mendengar, mengingat dan menghafal dengan lebih baik dibanding umumnya para sahabat utama yang memikul tanggung-jawab sangat banyak. Apa yang tampak sebagai kemalangan nasib bagi seorang Abu Hurairah, diam-diam merupakan barakah bagi agama ini karena mempunyai seorang penghafal sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang tekun dan total.
Blessing in disguise. Sebuah berkah tersembunyi di balik kemiskinannya.
Selain rasa suka yang membangkitkan antusiasme, tujuan yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya ingat. Kuatnya tujuan akan menciptakan konteks dalam otak sehingga kita mudah melihat hubungan antar berbagai pokok pembahasan yang kita dengar, lihat, simak dan baca. Ini memudahkan kita memahami sebuah masalah, menguasai konsepnya dengan baik dan memikirkan penerapannya, menganalisis permasalahan secara terampil dan bahkan memadukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh. Ini berarti, kuatnya tujuan memudahkan kita mengingat, mengetahui dengan baik, memahami secara matang hingga melakukan sintesis atas apa yang kita pelajari. Setidaknya, tujuan yang jelas dan kuat menjadikan kita mudah memahami apa yang bagi kebanyakan orang sulit untuk dimengerti.
Selain tujuan, daya ingat kita juga dipengaruhi oleh makna atau nilai yang kita hayati atas apa yang kita lakukan. Lebih-lebih jika nilai itu sudah menjadi karakter pribadi, kita akan mudah memahami apa yang kita pelajari.
Lalu, darimana makna itu kita peroleh? Ada dua hal. Pertama, penghayatan secara langsung terhadap makna kegiatan kita –dalam hal ini belajar— sehingga kita merasakan, menerima dan mengikatkan diri dengan nilai tersebut. Ini erat kaitannya dengan niat, disamping proses penanaman nilai yang bersifat terus menerus. Dimulai dengan membangun kesadaran sehingga anak-anak memiliki kemampuan untuk memperhatikan sesuatu dengan nilai yang diyakininya, lalu berangsur meningkat kepada partisipasi, penghayatan nilai, membentuk sistem nilai hingga akhirnya terbentuk karakter diri yang kuat. Itu sebabnya, pendidik perlu terus-menerus menyegarkan niat murid maupun dirinya sendiri. Jika guru mengajar dengan niat yang baik dan kuat, ia akan mengajar dengan penuh antusiasme dan kesungguhan. Dan karena antusiasme menular, anak-anak akan memiliki antusiasme yang besar pula!
Kedua, penanaman dan penguatan tujuan. Proses ini bisa dilakukan di rumah maupun sekolah. Akan lebih baik jika orangtua melakukannya dan guru menguatkannya di sekolah, sekaligus memperkaya wawasan siswa. Penguatan tujuan ini juga bisa kita lakukan dengan membangun visi hidup serta orientasi hidup anak. Jika visi hidup berkait dengan harapannya di masa yang akan datang, orientasi hidup adalah bagaimana dia memandang kehidupannya sehari-hari; untuk apa ia hidup.
Masih berkenaan dengan ingatan yang tajam. Selain beberapa hal yang baru saja kita bicarakan, daya ingat juga sangat dipengaruhi oleh emosi positif yang bernama optimisme. Salah satu faktor yang mendorong anak untuk optimis adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla; bahwa tuhan tak pernah tidur dan senantiasa menolong hamba-Nya yang memerlukan. Di sinilah kita bisa membangun pemahaman sekaligus orientasi hidup pada siswa tentang siapa saja orang yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah dan apa saja syaratnya.

Rasa Takut yang Positif
Jika optimisme berpengaruh terhadap daya ingat serta kemampuan memahami, maka kekhawatiran dan rasa takut membuat otak sulit mencerna informasi yang kita terima. Anak-anak yang cemas saat belajar cenderung lebih lamban dalam memahami pelajaran serta lemah dalam mengingat apa yang sudah pelajari. Lebih-lebih jika dibayang-bayangi oleh kegagalan, anak akan cenderung stress dan sulit memusatkan perhatian. Di saat konsentrasi lemah seperti itu, pelajaran yang mudah pun akan terasa sangat sulit.
Yang menyedihkan, kita justru sering menuntut mereka agar memperhatikan pelajaran di saat mereka sedang mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ini membuat anak merasa semakin cemas. Ia pesimis. Jangankan menghadapi ujian, memahami pelajaran saja ia sudah kewalahan. Tak berdaya. Ujung-ujungnya, ia mulai menunjukkan perilaku menyimpang, nakal dan sejenisnya. Tindakan ini justru menguatkan keyakinan orangtua mau¬pun guru bahwa anak-anaknya tidak bisa diatur, bodoh dan sejenisnya. Sebuah lingkaran setan yang sempurna!
Itu sebabnya, kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak dengan membangun kedekatan emosi antara guru (termasuk orangtua) dan anak, membangkitkan antusiasme, menumbuhkan tujuan yang kuat, optimisme serta tanamkan makna dan nilai (meaning & value) yang kokoh. Gugah mereka untuk mempunyai mimpi besar di masa yang akan datang. Mimpi untuk berbuat dan bermakna. Bukan angan-angan untuk mendapatkan dunia melalui kecerdasannya.
Selain motivasi secara langsung, penguatan tujuan juga bisa kita lakukan dengan menciptakan rasa takut yang positif. Apa itu?
Jika rasa takut menghadapi ujian akan melemahkan kemampuan mereka dalam belajar, maka ketakutan yang berpijak pada rasa tanggung-jawab terhadap masa depan ummat ini, akan menguatkan tujuan. Semakin efektif kita menanamkan rasa takut yang positif, akan semakin kuat tekad mereka untuk belajar. Jika perlu, guru merancang kegiatan untuk memberi pengalaman mengesankan sekaligus memotivasi, pengalaman yang sulit mereka lupakan melalui kegiatan yang dramatis. Kita ajak mereka untuk membayangkan masa depan yang mengerikan bagi bangsa, ummat atau keluarga, kecuali jika mereka bersungguh-sungguh merebut masa depan.
Wallahu a’lam bishawab.

1 komentar:

kalisom lis mengatakan...

insyaallah akan saya catat dalam hati dan menerapkannya pada anak2 dan murid saya.Li i'la kaliamatillah, izzul Islam wal muslimin.