Rabu, 07 Januari 2009

Terima Kasih, Sayang

Sudahkah engkau berterima kasih kepada isterimu hari ini? Kalau belum, tengoklah sejenak perjalananmu dari semenjak bangun tidur hingga saat engkau baca tulisan ini. Ingatlah kembali kebaikan-kebaikan isterimu, baik yang engkau anggap sebagai kebaikan maupun yang engkau anggap sewajarnya ada.

Ingatlah sejenak, betapa hampir-hampir tidak ada satu hari pun yang kita lewati kecuali di sana ada kebaikan-kebaikan isteri yang tak cukup kita balas hanya dengan ucapan terima kasih. Kalau masih saja engkau tak menemukan apa yang dapat membuatmu berterima kasih kepada isteri, tangisilah! Boleh jadi kerasnya hati (atau jangan-jangan hatimu sudah mati?) yang menyebabkan engkau tak sanggup menangkap kebaikan-kebaikannya. Padahal, sejudes apa pun isterimu –barangkali—pasti ada padanya kebaikan. Jika tidak, lalu apa yang menyebabkanmu memilihnya?
Boleh jadi engkau mengenal dia sebelumnya karena kebahagiaan perkawinan memang tidak berhubungan dengan seberapa kenal kita dengan orang yang akan kita nikahi. Tetapi bukankah ada yang membuatmu memilihnya? Mungkin karena rupa (ah…, kalau ini memang cepat sirna), mungkin juga karena sesuatu yang lebih tinggi nilainya; karena akhlaknya yang baik atau karena agamanya yang lurus.
Jika memang ada yang membuatmu untuk tergerak memilih, atau mengiyakan tawaran yang datang kepadamu, lalu apakah yang membuatmu sulit untuk sekedar mengucapkan terima kasih? Ataukah karena ada sesuatu yang menyakitkan hatimu darinya saat ini? Ataukah ada tindakannya yang tidak engkau sukai? Atau lebih dari itu, ada perkara yang membuatmu bukan saja tidak menyukai tindakannya, tetapi bahkan engkau berubah tidak menyukai dirinya?
Kalau itu yang membuat nyala api cinta mengecil di rumahmu, ingatlah sejenak ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’anul Kariim, kitab yang tak ada keraguan di dalamnya. Kata Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata . Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’, 4: 19).
Tidakkah engkau lihat di sana? Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Betapa luas ilmu Allah dan betapa sempit pandangan kita. Apa yang kita pikirkan dan rasakan dari isteri kita kerapkali bukan karena pengenalan yang baik terhadapnya, meski kita merasa telah mengenalnya luar dalam. Kadang kita mengenal dia dengan sebaik-baik pengenalan. Padahal yang lebih banyak bermain dalam pikiran dan perasaan kita adalah keinginan yang kadang bersambut kadang tidak, suasana hati yang kadang stabil kadang tidak, hasrat yang kadang meletup-letup kadang tenang, pengalaman yang kadang sangat kita yakini kebenarannya meski sangat besar kesalahannya. Betapa banyak orang yang menjadikan pengalaman sebagai “hukum” dalam bertindak tanpa mencoba menelusuri prinsip-prinsip yang ada di balik pengalamannya. Padahal sekian banyak orang mempunyai pengalaman yang berbeda.
Benar, ada peribahasa historia vitae magistra. Pengalaman adalah guru kehidupan yang paling baik. Tetapi menyimpulkan begitu saja apa yang kita alami sebagai kepastian adalah kekeliruan yang membuat kita tak bisa mengambil pelajaran. Itu sebabnya saya sering berkata, tidak penting apa pengalaman kita. Tidak penting pula fakta yang ada pada kita. Jauh lebih penting adalah menangkap prinsip-prinsip di balik fakta dan pengalaman itu. Jika tidak mampu, berpikir positif dengan berusaha mencari kebaikan yang bisa kita raih dan lakukan akan jauh lebih bermanfaat.
Saya teringat dengan sebuah seminar. Ketika itu saya bertutur tentang keutamaan menikah dini dan apa yang harus kita lakukan agar pernikahan dini itu mendatangkan kebaikan serta kebahagiaan. Saya ingin menghadirkan perbincangan tentang manfaat menikah dini sekaligus bagaimana meraihnya. Di dalamnya sebenarnya telah memuat prinsip-prinsip untuk meraih keindahan nikah dini, antara lain harus merupakan pilihan sadar dan berbekal ilmu. Tetapi seorang pembicara tiba-tiba dengan sengit membantah. Bukan dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan prinsip yang ajukan apabila ia menemukan kekeliruan di dalamnya, melainkan menunjukkan pengalaman temannya yang tidak sukses menikah dini.
Sesungguhnya, ini merupakan kesimpulan yang sangat gegabah. Jika tetangga kita mati setelah makan sebiji apel, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa apel merupakan buah yang mematikan meski ada fakta bahwa tetangga kita mati. Kesimpulan ini tidak memadai sebab tidak didukung penggalian yang mendalam tentang what’s behind the fact. Apa yang ada di balik fakta.
Uff…! Saya tidak akan berpanjang-panjang berbincang tentang pengambilan kesimpulan yang tepat dalam berseminar. Saya hanya ingin mengajak engkau untuk lebih banyak membuka ruang di jiwamu. Kalau sekali waktu engkau lihat isterimu tidak menampakkan wajah cerah di hadapanmu di saat engkau sedang penat-penatnya, maka ambillah waktu sejenak. Kenangkanlah betapa banyak kebaikan yang telah ia lakukan untukmu agar dapat engkau rasakan betapa baik ia bagimu.
Sejauh ia tidak berkhianat atas amanah yang Allah berikan kepadanya, rasa-rasanya hampir tak pernah ada alasan bagi kita untuk melupakan terima kasih kepadanya. Apakah engkau mengira bahwa hidangan sederhana ia suguhkan kepadamu adalah perkara biasa-biasa saja? Tidak. Sungguh, tidaklah segelas minuman hadir kepadamu begitu saja kecuali karena di dalamnya ada cinta, perhatian, ketulusan dan kasih-sayang. Pada sesendok gula yang ia tuangkan saat menyeduh kopi untukmu, di sana ada cinta dan perhatian. Pada kepekaannya menyiapkan minuman untukmu di pagi hari, di sana ada ketulusan. Setidak-tidaknya, andaikan pun itu semua tidak ada pada dirinya, tetap ada satu hal yang membuat engkau tetap perlu mengucapkan terima kasih yang tulus kepadanya. Satu hal itu adalah: ia masih menghormatimu. Tidak merendahkan.
Maka, alasan apa lagikah yang membuatmu sulit sekedar untuk mengucapkan terima kasih kepadanya?
Sungguh, aku lihat tak ada halangan bagi seorang suami mengucapkan terima kasih yang tulus, atau bila perlu mencium tangan, kening atau sekedar pelukan ringan baginya kecuali karena kerasnya hati atau gersangnya jiwa dari kasih-sayang. Tak ada halangan bagi kita untuk meminta maaf kepada isteri, kecuali karena tingginya hati dan angkuhnya jiwa. Ada nikmat yang berlimpah pada kita, tetapi kita lupa bersyukur kepada Allah.
Bukankah berterima kasih kepada manusia adalah salah satu jalan untuk bersyukur kepada-Nya? Dan manusia yang paling dekat dengan kita sesudah orangtua dan anak adalah isteri kita sendiri.
Tentang syukur ini, mari kita ingat sejenak ketika Rasulullah saw. bersabda, “Yang paling bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai berterima kasih kepada manusia.” (HR. ath-Thabrani).
Apakah buahnya syukur? Nikmat yang bertambah-tambah. Bukan isteri yang bertambah, tetapi makna kehadirannya di sisi kita yang bertambah. Itu sebabnya, kadang ketika ada yang datang mengeluhkan perkawinannya yang hambar, saya menyarankan kepadanya untuk membuat daftar yang harus terisi setiap hari. Daftar itu terdiri dari dua kolom. Tidak boleh lebih. Satu kolom berbunyi “kebaikan isteri (suami) saya hari ini” dan satu kolom lagi “kesalahan dan keburukan saya hari ini”.
Setiap hari, kedua kolom tersebut harus ada isinya. Bukan keberhasilan kalau pada kolom “kesalahan dan keburukan saya hari ini” tidak ada isinya sama sekali. Begitu juga, bukan buruk isteri kita kalau kita tidak mampu mengisi kolom “kebaikan isteri saya hari ini”. Sama sekali bukan. Kosongnya isian justru menandakan harus ada yang kita perbaiki pada diri kita. Barangkali kita sudah terlalu angkuh pada diri kita sendiri sehingga tak sanggup menemukan kekurangan diri sendiri dan pada saat yang sama kebaikan isteri kita.
Tentu saja saya tidak berharap kita sampai harus membuat daftar seperti itu, sekalipun tidak ada salahnya kita melakukan. Saya berharap masing-masing kita senantiasa menemukan makna atas hadirnya isteri di samping kita. Tidak hampa. Salah satu jalannya adalah mensyukuri kehadirannya dengan berterima kasih.
Nah, sudahkah engkau berterima kasih kepadanya hari ini?

Tidak ada komentar: