Rabu, 07 Januari 2009

Tak Henti Mendekati

Pernah berselisih dengan isteri? Alhamdulillah, saya pernah. Sebuah perselisihan yang membuat rumah berkurang keindahannya. Bukan karena terjadi pertengkaran besar, tetapi perselisihan “kecil” (adakah perselisihan yang bisa kita sebut kecil?) membuat apa yang indah dan menyenangkan, terasa hambar dan menegangkan. Penghujung malam yang seharusnya mengantarkan kita pada tidur yang tenang, kali ini menyisakan ganjalan perasaan yang membuat tidur kita seakan terjaga. Mata terpejam, tapi hati gelisah. Ingin memicingkan mata, tetapi daya tahan untuk terjaga sudah melemah.

Apa yang ingin saya ceritakan kepada Anda? Bukan perselisihan itu, tetapi pelajaran besar yang ada di baliknya. Ketika kita menginginkan rumah-tangga kembali dipenuhi kehangatan, maka kita berusaha untuk mendekatinya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Sebab tanpa ketulusan, api yang mulai tersulut tak akan bisa padam, meski api itu masih sangat kecil. Tanpa ketulusan saat mendekati, hati kita akan mudah gerah oleh percikan api perselisihan yang tak seberapa itu, sehingga bisa menyebabkan terjadinya konflik yang lebih besar. Awalnya cuma salah paham, atau ngambek karena tidak terpenuhinya keinginan, ujungnya bisa pertengkaran dan perpecahan yang besar.
Selain ketulusan, kita juga harus bersungguh-sungguh mengupayakan perbaikan. Kita berusaha keras agar gesekan tidak berubah menjadi benturan keras. Sebaliknya, melalui upaya yang sungguh-sungguh, hati kita akan luluh. Cair kembali dari kebekuan.
Agar ketulusan dan kesungguhan itu benar-benar membuahkan hasil yang baik dan kesudahan yang indah, perlu ilmu yang menuntun kita pada tindakan yang benar dan tepat. Kesungguhan tanpa ilmu bisa mengantarkan kita pada keinginan untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin, sehingga justru menyebabkan guncangan kecil itu justru membesar. Masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Tak ada waktu untuk berhenti sejenak, merenungi diri dan mengambil jarak dari masalah.
Alhasil, ada ketulusan, ada kesungguhan dan ada ilmu. Berkumpulnya tiga hal ini di atas niat yang mulia insya-Allah meringankan hati kita meneladani Rasulullah saw. dan para sahabat dalam meredam perselisihan rumah-tangga. Kita ikhlas mendengar omelan istri –meski sejauh ini saya tidak pernah dimarahi dengan omelan panjang lebar—karena kita tahu Rasulullah saw. maupun Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun pernah dimarahi istri, dan beliau berdua diam tidak membantah sembari mendengarkan. Dengan cara inilah api akan padam dan kesejukan hadir kembali dalam rumah-tangga.
Masih tentang mendekati istri. Ada pelajaran lain yang saya petik dari apa yang pernah saya alami serta beberapa kasus yang saya tangani. Konflik sebesar apa pun bisa terselesaikan ketika ada keinginan untuk saling mendekati secara tulus, sungguh-sungguh, disertai ilmu dan berpijak di atas niat yang mulia. Keinginan untuk saling mendekati membuat konflik besar yang seakan sudah diambang bubar, bisa terselesaikan dengan indah. Awalnya saling memendam api amarah, ujungnya hasrat untuk bercumbu mesra.
Ya, saling mendekati. Apa yang membuat masa pengantin baru begitu indah? Karena kita sama-sama saling mendekati. Dari tidak saling kenal, berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa memahaminya dengan benar. Kita berusaha melakukan yang terbaik, mendekati dengan penuh semangat sekaligus berusaha agar kita tidak melakukan kesalahan, menunjukkan perhatian dan menampakkan kerinduan serta hasrat yang menyala-nyala. Inilah yang membuat kita saling jatuh cinta. Inilah yang membuat pernikahan –dalam hal ini masa pengantin baru—terasa begitu hangat.
Agar pernikahan kita senantiasa memberi kehangatan dan membangkitkan semangat hidup yang menyala-nyala, kita perlu sering jatuh cinta. Kita jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama, yakni istri atau suami kita. Semakin sering kita jatuh cinta lagi kepada istri, semakin besar arti perkawinan itu bagi kita. Kecuali jika cinta kita bertepuk sebelah tangan. Suami jatuh cinta lagi kepada istrinya, tetapi istri masih berbekal cinta yang dulu, cinta di awal pengantin baru.
Jika suami-istri saling jatuh cinta berkali-berkali, dan berupaya agar masih akan ada peristiwa-peristiwa yang membuat mereka saling jatuh cinta, maka bertambahnya usia pernikahan berarti bertambahnya kekayaan cinta pada diri mereka. Bukan karena seringnya bercinta –sebab kadang orang bercinta tanpa cinta—tetapi karena keduanya terus-menerus berusaha untuk saling mendekati.

***
Ada beberapa hal yang kadang membuat kita lupa untuk saling mendekati. Pertama, merasa sudah banyak berbuat sehingga menuntut istri untuk lebih banyak bersikap pro-aktif. Boleh jadi yang kita rasakan benar, tetapi upaya untuk terus-menerus mendekati tak akan terhenti kalau kita menyadari bahwa upaya kita masih terlalu sedikit. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa kita perlu berusaha mengimbangi apa yang dilakukan oleh istri agar ia tidak sampai putus asa karena merasa sudah berbuat banyak tanpa hasil.
Kedua, ingin menjadi pemenang dalam perselisihan. Mungkin kita tidak menunjukkan kemarahan yang berlebihan, tetapi kadang muncul bentuk lain yang tidak kalah buruknya. Kita ingin membuktikan kepada istri bahwa kitalah yang benar. Keinginan ini menjadikan suasana damai yang sudah mulai tumbuh dalam rumah-tangga, kembali dipenuhi perasaan saling jengkel dan bahkan saling dendam. Padahal dalam rumah-tangga yang sehat, tak ada pemenang dan pecundang. Perselisihan harus diselesaikan sehingga membesarkan hati semua pihak, melegakan perasaan masing-masing dan membawa suami-istri pada keinginan untuk terus berbenah menata rumah-tangga.
Ketiga, berkurangnya keterikatan antara suami dan istri karena hadirnya fasilitas yang memudahkan kehidupan. Tanpa sadar, kerap adanya fasilitas membuat kita lupa bahwa ada yang tak bisa tergantikan. Secobek sambal sederhana buatan istri, rasanya mungkin tidak selezat bikinan koki restoran. Tetapi kesediaan untuk menyiapkan dan menghidangkan –atau setidaknya menemani makan—memberi arti yang lebih pada pernikahan.
Apa artinya?
Agar keterikatan hati antara suami dan istri senantiasa terjaga, perlu ada kesediaan untuk memberi sentuhan emosi pada peristiwa rumah-tangga yang bersifat rutin. Kita boleh memiliki beragam fasilitas dalam rumah –dan seharusnya demikian jika kita mampu—tetapi bertambahnya fasilitas harus diiringi dengan semakin eratnya ikatan hati antara suami dan istri.
Di antara fasilitas yang berpotensi merenggangkan ikatan emosi adalah televisi. Suami-istri yang sedang berdua menikmati tayangan televisi, ternyata lebih jarang melakukan komunikasi interpersonal yang hangat dibanding suami-istri yang sedang berada di dapur. Meningkatnya aktivitas menonton televisi, ternyata menurunkan kualitas komunikasi perkawinan (marital communication) antara keduanya, yakni komunikasi yang bermanfaat untuk menghangatkan hubungan dalam perkawinan.
Bertambahnya waktu untuk menonton TV juga membuat “kebutuhan” terhadap hiburan semakin meningkat. Sebaliknya daya tahan untuk melakukan aktivitas produktif menurun. Kita juga semakin cenderung untuk memperoleh hiburan yang bersifat instant. Tanpa usaha yang berarti.
Ini tampaknya sepele. Tetapi jika tidak disadari akan membuat ikatan emosi antara suami dan istri melemah. Tak ada lagi upaya untuk saling mendekati. Tak ada lagi kebutuhan untuk senantiasa bertemu dan bercanda. Kehadiran istri tak lagi menghibur dan menghadirkan kedamaian. Sementara istri juga tenggelam dengan dunianya sendiri.
Jika sudah tidak ada ikatan emosi yang kuat antaranya keduanya, apa lagi yang bisa membuat mereka punya alasan untuk mempertahankan, meningkatkan kehangatan dan membangkitkan kemesraan antar mereka berdua?
Tentu saja, hiburan tidak tabu bagi kita. Bukankah ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu pernah mengingatkan agar kita berhibur sekali waktu? Dengan berhibur, hati tidak akan beku. Tetapi berhibur yang bagaimana? Berhibur yang membuat kehadiran masing-masing semakin berarti. Misalnya, bepergian keluar kota dan makan bersama di atas hamparan tikar sembari menikmati terpaan angin yang sejuk. Atau berhibur yang menantang aktivitas fisik dan mental kita.
Wallahu a’lam bishawab. Semoga pernikahan Anda semakin mesra.

1 komentar:

kultsum mengatakan...

iya, harus ada ilmu untuk tetap terus berbenah, meraih apa yang disebut kebahagiaan. Saya dengar, kekuatan cinta antara suami istri akan mempertemukan mereka disurga kelak.Subhanallah.